Mengenakan dress selutut dengan motif bunga-bunga, gadis itu berjalan menyusuri jalan. Irama langkah yang riang didukung sneaker putih hasil ia mencari cari barang diskon midnight sale jelang pergantian tahun, membuat langkahnya semakin gesit dan ringan melewati genangan.
Besok adalah jatah Airin libur bekerja. Dalam satu bulan, Banyu memberikan 2 kali kesempatan untuk anak buahnya mengambil libur. Asal, harus sesuai jadwal dan saling bergantian.
Dan malam ini, sengaja ia mengambil jatah libur dua hari itu sekaligus untuk bisa lebih menikmati masa liburannya.
Selepas menyelesaikan tugasnya di shift pagi, gadis itu buru-buru berkemas. Menyiapkan segala keperluan untuk rencana yang sudah ia buat dari beberapa hari sebelumnya.
Rambut panjang yang di kuncir satu, membuatnya bergerak ke kanan kiri mengikuti langkah kaki.
"Ke Pemalang kan, Pak?" tanya Airin memastikan.
"Iya, Mbak. Naik aja naik. Ini bentar lagi juga berangkat."
"Yaudah, Pak. Berapa?" Airin mengacungkan selembar uang kertas warna merah kepada calo yang memang sudah menghadang para calon penumpang di tiap-tiap pintu bis.
"Masih kembalian, kok," katanya sambil mengembalikan selembar uang kertas warna ungu kepada Airin.
Tanpa banyak basa-basi, segera gadis itu menaiki bis dengan warna gradasi biru putih.
Mencari seat dua kursi dan memilih duduk di dekat jendela.
Sengaja Airin menaiki bis ekonomi bukannya yang ber AC, karena baginya menikmati udara segar di malam hari dari dalam bus, itu sesuatu yang menyenangkan.
Tanpa mengalihkan pandangan, tangan kanannya merogoh saku jaket yang ia kenakan. Mengambil sebuah headset, menyambungkannya dengan ipod model jadul, hadiah dari seseorang di masa lalunya tepat ketika ia hendak berangkat mengadu nasib di Ibukota.
Airin memejamkan mata. Menikmati alunan musik yang membuat perasannya tenang. Musik memang selalu menjadi obat paling ampuh untuk mengusir rasa bosan.
Terlalu larut dalam menikmati setiap melodi yang keluar dari benda mungil itu, Airin sampai tak menyadari ketika ada seseorang yang mengisi kursi kosong di sebelahnya.
Tanpa basa basi, lelaki itu menarik headset yang menyumbat telinga kiri Airin, dan dipasangkan pada telinganya sendiri.
Gadis itu terlonjak kaget, ketika seseorang itu menarik paksa headset miliknya.
Wajahnya merah padam menahan marah, seseorang yang telah lancang mengganggu orang lain.
Hampir saja sumpah serapah keluar dari mulut mungilnya itu, namun seketika mulutnya kehilangan fungsi bicara, dan hanya menganga begitu melihat siapa yang saat ini tengah duduk di sebelahnya.
"Selera musik lo kok begini banget, sih?" Ujar lelaki itu, tanpa rasa bersalah.
"Kamu?!" Tunjuk Airin menggunakan jari telunjuknya, setengah tak percaya.
"Iya ini aku! Nggak usah tunjuk tunjuk gitu. Nggak sopan!" Devan menyingkirkan telunjuk Airin yang masih bertengger tegak di udara.
Sejenak Airin masih belum bisa percaya apa yang saat ini tertangkap indra penglihatan nya. Hingga beberapa detik kemudian, secepat kilat Airin menjauhkan tubuhnya dari Devan. Memasang sikap defensifnya.
"Kenapa sampai kaget gitu? Biasa aja kali." Seloroh Devan cuek.
Lelaki itu kini mengangkat satu kaki jenjangnya, meskipun sulit karena jarak antara kursi yang ia duduki dengan kursi depannya, hanya berjarak tidak lebih dari empat puluh senti meter.
"Kamu ngapain sih, di sini?" tanya Airin memasang wajah tak suka.
"Bebas lah! Memangnya cuma kamu doang yang boleh pergi pergi naik bis?"
"Ya, enggak. Tapi kenapa juga harus di sini? Lagipula, ini bis kelas ekonomi, kenapa pebisnis sukses kaya raya seperti kamu nggak memilih naik pesawat buat ngejar waktu?"
"Ini hidupku, pilihan ku. Ngapain juga kamu yang repot? Aneh!"
Gadis itu menggaruk tengkuk. Merasa tak berkutik lagi.
Pada akhirnya, Airin memilih untuk mengabaikan Devan di sampingnya. Merapatkan resleting jaket hingga menutupi hampir seluruh wajahnya, memasang kembali headset dan mengeraskan volume musik. Matanya terpejam dan berusaha masa bodo dengan sosok di sampingnya.
Belum genap sepuluh menit Airin merilekskan pikiran, Devan dengan segala keributannya kembali mengganggu ketenangan gadis itu.
Satu dua kali Airin masih cuek ketika Devan lagi lagi menarik pakaiannya. Tapi hingga keempat kali, jengah juga dengan sikap Devan yang kekanak-kanakan, akhirnya Airin membuka mata. Menurunkan resleting jaketnya dan bersiap mengomeli Devan.
"Apa lagi sih, Dev!" gerutu Airin tak suka.
"Rin." sahut Devan lemas yang seketika membuat Airin merasa iba.
Devan kini tengah tertunduk dengan kepala menempel pada punggung kursi penumpang di hadapannya. Kedua tangannya bersedekap memegangi perut.
Wajahnya pucat pasi dengan tatapan sayu.
"Devan, kamu kenapa?"
Alih alih menjawab, lelaki itu justru memejamkan mata sambil mengangkat tangan. Menyerah.
***
Sejengkel jengkelnya Airin pada lelaki itu, tapi tidak tega juga ketika melihat Devan tak berdaya seperti sekarang ini.
Sekali lagi, diusapnya tengkuk Devan sambil memijat pelan.
Setengah hati ingin sekali tertawa, tapi etikanya mengatakan tak pantas juga menertawai orang yang sedang kesusahan.
"Makanya, kalau nggak terbiasa naik kendaraan umum terutama bis, nggak usah sok sok-an naik. Apalagi ini bis ekonomi, ya jelas lah kamu nggak akan kuat." Seloroh Airin sambil menahan tawa.
Mata Devan memicing.
Kalau saja keadaannya lebih baik dari sekarang, Airin pasti sudah habis dengan omelan dan sumpah serapah dari mulut Devan. Sayangnya, jangankan mengumpat, bergerak banyak untuk membenarkan posisi duduknya saja Devan tak kuasa.
Takut kalau perutnya kembali bergejolak dan memuntahkan segala yang ada dalam isinya.
"Bis sialan!" Umpatnya lirih di tengah keadaannya yang mual parah.
Di tengah perjalanan saat sang sopir memarkirkan kendaraannya pada pos peristirahatan, meski segan Airin coba membangunkan Devan yang terlelap dengan pundaknya yang ia jadikan sandaran, setelah mengkonsumsi obat anti mabuk kendaraan yang selalu Airin bawa ketika bepergian.
"Dev, bangun! Devan!" Airin menyentil hidung mancung milik Devan. Yang membuat lelaki itu justru semakin membenamkan wajahnya pada bahu Airin.
"Devan!"
Dipercikkan air yang ia tuang dari botol mineral miliknya agar lelaki itu segera bangun. Pundaknya mulai terasa pegal setelah hampir tiga jam Devan bersandar di sana.
"Mmm..." Akhirnya Devan bereaksi.
"Bangun, Dev!"
"Udah sampai, ya?" Masih dengan mata tertutup, Devan menggeliat. Wajahnya nampak lebih segar dari pada beberapa jam lalu yang seperti tak dialiri darah. Pucat pasi.
"Belum. Kita baru sampai di pos peristirahatan. Kamu mau turun, nggak?"
Mendengar pernyataan Airin, segera Devan beranjak. Mengamati sekeliling. Di dalam bis kini yang tersisa hanya dirinya dan Airin saja. Sementara di luar sana, ramai orang berlalu lalang.
Ternyata benar, dia masih berada di tempat keramaian. Terminal khusus armada yang ia naiki.
Seketika rasa sumringah yang sempat singgah, berganti ekspresi lesu di wajah Devan.
"Berapa lama lagi aku harus tersiksa di dalam kendaraan ini, Tuhan?" keluhnya tak sabar.
Di sampingnya, Airin hanya tersenyum geli melihat raut wajah Devan yang seperti anak kecil.
"Ayo kita turun. Kita cari makan di bawah. Aku lapar," ajak Airin tak sabar.
Di belakangnya, Devan mengikuti langkah Airin menuju salah satu kios penjajah makanan instan di sekitar terminal.
Angin segar berembus, memulihkan kesadaran Devan dari mabok berat yang baru saja ia alami.
Devan melihat sekitar. Rupanya benar, saat ini di sekelilingnya adalah laut.
"Ini." Airin mengacungkan salah satu cup mie instan yang ia beli dari warung.
"Apa ini?" Devan menatap dengan tatapan sangsi.
"Mie instan."
"Higienis?"
"Udah, makan aja. Aku udah puluhan kali makan makanan ini. Nyatanya, masih hidup kan sampai sekarang?
"Itu kan perutmu. Apa saja bisa masuk, persis tong sampah. Beda dengan perutku yang sensitif dan tidak bisa sembarangan konsumsi makanan."
Airin berdecak sebal. Lelaki ini benar benar seperti anak kecil. Posturnya saja yang besar, tapi tingkah dan sifatnya persis seperti bayi.
Dia harus menyiapkan stok sabar yang ekstra untuk menghadapinya.
Kalau saja Airin tidak mengingat muka nelangsa Devan ketika sedang mabok perjalanan tadi, mungkin sekarang sebuah bogem mentah sudah melayang di wajah lelaki itu. Ganjaran yang pas untuk mulutnya yang tak pernah dijaga.
"Udah, deh! Nggak usah kebanyakan ngomong. Kita makan di sana aja, gimana?"
"Terserah."
Tanpa banyak bicara, Devan mengekori langkah Airin yang sudah lebih dulu berlalu.
"Mm... Sejuknya."
Airin memejamkan mata. Menikmati embusan angin yang menerpa kulit. Menerbangkan helai-helai rambut yang lepas dari ikatannya.
Devan terpana akan pesona yang kini ada di hadapannya.
Bukan, bukan riak air laut yang membuatnya terpesona. Melainkan sesosok gadis cantik yang kini duduk di sampingnya. Yang tengah asik menutup mata, dengan dua pipi yang merona, senyumnya mengembang begitu indah.
"Ayo, di makan sebelum dingin," ucap Airin menginterupsi lamunan Devan.
Setelahnya, keduanya larut menikmati santapan nya masing masing. Devan yang baru kali pertama itu mencicipi mie cup instan, nampak begitu menikmati mie miliknya hingga seruputan terakhir.
"Boleh nambah, nggak?" pintanya pada Airin. Membuat gadis itu memasang ekspresi aneh.
"Kok diem? Boleh, nggak?" tanya Devan sekali lagi.
Seolah kehabisan kosa kata, Airin hanya menganggukkan kepala sambil menunjuk ke arah penjajah makanan di dekatnya.
"Ah, disitu rupanya. Aku ke sana dulu. Kamu mau?" Devan menawarkan, dan hanya di jawab dengan gelengan. Mie cup di tangannya saja masih belum habis separuh.
Baru setelah Devan berjarak cukup jauh darinya, kesadaran Airin kembali, kemudian berteriak.
"Jangan lama lama! Sebentar lagi bis kita mau berangkat!"
Tanpa menoleh, Devan hanya mengangkat tangan. Menempelkan ujung telunjuk dengan ibu jari, membentuk huruf 'O'.