webnovel

19. Penguntit

Adam mengerang. Dia merasakan Lauren makin mendesaknya di kursi. Gadis itu lebih liar dari yang Adam pikirkan.

Bagaimana bisa dia melakukan ini. Membuat Adam tersiksa. Gadis di depannya menyeringai di sela pagutan mereka.

Deru napas keduanya mendadak memburu. Lauren hanya berniat membuat Adam tersiksa dan merasakan betapa siksaan Lauren itu lebih menyakitkan daripada yang Adam lakukan.

Tapi lama kelamaan Lauren yang tak bisa mengendalikan diri. Jemari Adam yang sudah membelainya juga bagaimana tubuh Lauren bereaksi adalah hal di luar dugaannya.

Gadis itu mendongak. Namun dengan cepat menahan Adam. Dia menekan paha pria itu, dan menatap Adam seduktif.

"Lauren,  jangan membuatku lepas kendali. Aku sudah melihatnya, ak--" Adam melotot melihat Lauren kini mencondongkan tubuhnya.

Memaksa Adam untuk menekan desakannya kuat-kuat. "Astaga, Lauren. Hentikan!" kata Adam dengan suara seraknya.

Pria itu menatap ke arah sang gadis yang tertawa lepas. "Btw, makasih udah bantuin aku hari ini."

Lauren turun dan mengacak rambut Adam. Dia berlari keluar ruang kerja Adam. Belum sempat Adam mencerna apa yang terjadi, Lauren muncul dari ambang pintu.

"Btw, keknya kamu harus segera ke kamar mandi."

Lauren terbahak melihat Adam yang menutup mukanya. Malu setengah mati ketika melihat apa yang diperbuat Lauren.

"Gadis itu..., astaga!" kata Adam menahan senyum sambil menyentuh  bibirnya.

Dia mendesah sebal. Kakinya lemas sekarang dan rasanya terlalu menyakitkan jika dia turun ke bawah hanya untuk ke kamar mandi.

***

Lauren memasang apronnya. Melirik ke arah kawanannya yang sedari tadi memandangnya penuh rasa ingin tahu.

Mereka mengerubungi Lauren. Ada sekitar empat orang yang kini  berdiri di depannya.

"Sekarang katakan, siapa cowok kemarin? Lo manggil dia kakak deh perasaan."

Lauren mengangguk sambil mengikat kuncir rambutnya yang mulai memanjang.

"Jadi, dia pacar lo apa kakak lo?" tanya salah satu mereka lagi. Lauren mendesah sebal.

"Kenapa kalian kepo banget deh. Gak usah tahu, yang jelas kalian gak akan dapet nomornya!" kata Lauren membuat mereka menggerutu tak jelas sambil meninggalkan Lauren yang bersiap mencatat lagi pesanan para pengunjung kafe.

Lauren terkekeh. "Enak aja mau embat punya orang," gumam Lauren lalu bergegas bekerja.

***

Adam merapikan mejanya dan mendongak kaget melihat Dani berjalan ke arahnya dengan satu cup kopi pesanannya. "Ini Tuan pesanannya."

"Makasih. Lauren udah pergi kerja?" tanya Adam sambil menyeruput kopinya.

Dani mengangguk sambil melirik arlojinya. "Nona biasanya pergi jam 12 kurang lima belas menit."

"Dia naik apa ke kafe?"

"Bus atau kadang gojek." Adam menghela napas. Heran dengan tingkah Lauren. Dia mencoba hidup susah apa gimana? Pikir Adam.

"Dia sebentar lagi ulang tahun. Aku ingin memberinya kejutan. Mungkin sebuah kafe, tapi.... " Adam memandang Dani yang kini tengah menanti ucapannya.

"Tapi kenapa, Tuan?" tanya Dani penasaran.

"Aku tahu, dia gak akan mau nerimanya. Jadi, mungkin lebih baik aku beri dia motor atau sepeda?" tanya Adam minta pendapat Dani.

Pria itu tersenyum. "Lebih baik motor saja, Tuan. Nona pasti lebih perlu itu. Lagipula saya heran, Nona kenapa mesti kerja segala?"

"Dia bilang di rumah sepi. Dia bosan. Aku sudah menawarkan untuk membelikannya tempat biar dia membuka kafe seperti pekerjaannya sekarang. Tapi anak itu menolak." Dani menatap Adam yang terlihat kesal.

Baru kali ini dia melihat ekspresi beragam di wajah Adam selain muka seriusnya yang sedatar papan penggilasan.

"Jadi, Tuan mau kasih Nona apa?" tanya Dani penasaran.

Adam mengendikkan bahu, tak tahu. "Nanti aku akan kasih tahu padamu. Sekarang, tolong suruh seseorang mengawasi Lauren. Kemarin dia digoda habis-habisan oleh tiga pria sialan di kafe itu." Dani terkekeh sambil mengiyakan saja perintah Adam.

Dia undur diri dari hadapan pria itu dan menjalankan tugas yang Adam berikan.

Dani melajukan mobilnya menuju kafe tempat Lauren bekerja. Dia menyamar, memakai topi dan masker hitam ke dalam kafe tersebut.

Cukup ramai sampai Dani harus mencari kursi kosong untuk dia tempati. Tak jauh dari dia berdiri sekarang, Lauren tengah melayani pembeli. Menuliskan menu yang mereka pesan dengan cekatan.

Dani tersenyum dari balik maskernya.  Seraya menarik kursi yang kosong, Dani melihat sekitarnya. Mengamati para pengunjung kafe yang sedang penuh. "Hah, sepertinya Nona Lauren aman-aman saja."

Pandangan Dani teralihkan dengan kedatangan Lauren. Tampaknya dia tidak mengenali kalau itu adalah Dani, kaki tangan Adam.

"Pesan apa ya, Mas."

'Jadi muda banget kali ya pake masker.' Dani membatin sambil menahan tawa melihat Lauren menyodorkan buku menu ke depannya.

Dani menunjuk asal saja menu di buku itu dan melihat Lauren dengan cekatan menuliskannya kembali. "Silakan ditunggu, Mas."

Pria itu mengangguk. Namun tatapannya terhenti pada seorang gadis yang kini tengah memandanginya, penuh kecurigaan.

'Kenapa dia lihatin aku begitu?' tanya Dani dalam hati.

***

Lauren menggantungkan kertas di tangan ke hadapan para koki. "Pesanan!" teriak Lauren.

Lalu menyandarkan punggung di lemari loker. Dia melirik ke arah teman barunya--Donita.

"Hei, kamu dari tadi ditatap terus loh sama pria yang pake masker item di pojokan tadi." Lauren coba mengingat siapa yang Donita sebut.

"Ouh, kenapa? Maklum lah orang cantik banyak yang suka." Donita mencibir omongan Lauren yang kelewat pede itu. Tapi tak terbantahkan juga, karena memang pada dasarnya Lauren cantik.

"Hidih si najis! Maksudku, dia kek penguntit gituloh Ren! Paham dong!" kata Donita sambil menyikut pinggang  Lauren.

"Masa sih?" tanya Lauren.

"Coba kamu keluar lagi, dia pasti lagi merhatiin kamu."

Lauren mengangguk kemudian berjalan lagi keluar. Mencatat pesanan para pengunjung kafe yang baru saja datang. Benar apa yang dikatakan Donita.

Pria itu memperhatikannya. Tak melepas pandangan sedikitpun pada Lauren, sekalipun dia menangkap basah pria itu karena telah lancang memandanginya.

Lauren jadi urung untuk menuliskan pesanan. Dia jadi takut kalau pria itu, adalah lelaki yang beberapa hari lalu dimarahi oleh Adam.

"Hei, ada pengunjung baru tuh." Lauren menggenggam kuat pulpen di tangannya. Menatap Donita agar mau bertukar tempat sebentar.

Donita menghela napas. "Oke. Urus nih udang. Gatel tanganku kelamaan ngupasin kulit mereka."

"Manja banget emang, pake dikupasin segala," celetuk Lauren sambil menahan tawa melihat Donita mendelik. Gadis itu keluar, menyambut para pengunjung lain. 

Sedangkan Lauren dibuat ketakutan sendiri. "Gue pulang nanti pokoknya harus naik taksi atau ojol. Cepet-cepet pokoknya. Gue buat dia muter pokoknya!" kata Lauren sambil mengupas kulit udang di depannya.

Dia menatap sewadah besar berisi udang segar itu dengan muka sebal. "Argh, Donita! Bisa-bisanya dia kasih kerjaan begini! Mana banyak banget lagi!" hardik Lauren.

Kafe perlahan sepi. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan.

"Gue duluan ya," kata Donita.

"Iya!" jawab yang lain masih asik memegang ponsel sambil sesekali mengecek jam. Menunggu jemputan.

"Lauren hati-hati ya," teriak Donita. Lauren meliriknya sekilas lalu bersiap keluar.

Mata Lauren menyipit melihat sebuah mobil sedan hitam terparkir di depan kafe.

"Kek kenal tuh mobil. Tapi... Astaga! Orang gila itu masih ngikutin gue!" katanya lalu ambil langkah seribu ketika melihat pria itu turun dari mobil.

Dia berlari kencang di trotoar. Berharap taksi yang dia pesan segera datang. "Kampret, kenapa tuh orang ikut lari sih!" kata Lauren ketika menoleh ke belakang.

***

Bersambung