Catur melemparkan tubuhnya di atas ranjang. Ia merogoh benda pipih yang ada di saku celananya. Membaca berita terbaru di media sosial. Lagi-lagi perceraian artis di posisi teratas. Ia bergidik ngeri. Pernikahan sekarang seperti permainan. Kenapa juga banyak media menyoroti public figure yang memberi contoh tidak benar. Karena berita seperti itu lebih berpotensi dibaca oleh banyak masyarakat, mungkin.
Ada-ada saja. Orang senang melihat rumah tangga orang lain hancur.
"Dari mana saja kamu baru pulang jam segini, Nak?" tanya Ratni yang entah sejak kapan berdiri di daun pintu kamarnya. Semoga saja tidak mendengar gumaman Catur tentang artis tanah air tadi.
"Tadi masih sempat jenguk teman masuk rumah sakit, Bu," jawab Catur tanpa merubah posisi tidurnya.
"Halah. Teman apa pacar?" sahut Sindy di balik punggung Ratni. "Anak Tante sekarang udah berani pacaran, loh," imbuhnya.
Meski sudah menjadi anak, Sindy masih tidak mau mengakui Ratni sebagai ibu. Ia nyaman memanggil ibu tirinya itu dengan panggilan 'Tante' daripada 'Ibu' atau 'Mama'.
"Apa benar begitu, Nak?" tanya Ratni.
Catur mendesis sebelum mendudukkan tubuhnya. "Dia cuma teman satu kelas sama Catur."
Sindy tertawa miris mendengar klarifikasi dari Catur. "Allea itu kelas XI IPA 4, sedangkan elo XI IPA 1. Satu kelas dari Hongkong, hah?"
Sialnya, kebiasaan Catur yang tidak kerap berbohong kembali terbongkar. Terlebih juga ia lupa bahwa Sindy juga satu sekolah dengannya. Hanya saja, adik tirinya itu masih kelas X. Meskipun begitu tetap saja terbongkar kebohongannya. Apalagi Allea adalah gadis paling populer seantero SMA Satu Bangsa. Sudah jelas Sindy tahu tentang hubungan mereka berdua.
Tapi jujur saja, Catur memang hanya berteman dengan Allea, tidak lebih. Apalagi sebagai seorang pacar.
"Kamu sekarang berani bohong sama ibu, Nak," ujar Ratni sambil bersedekap.
"Kami memang enggak satu kelas, benar kata Sindy, Bu. Tapi kami enggak pacaran, cuma sekadar teman." Catur mencoba untuk menjelaskan. "Apa salahnya menjenguk teman yang sakit di rumah sakit?"
"Tapi setidaknya kamu kasih kabar kalau pulang malam. Jangan buat orang rumah khawatir."
"I-iya. Maaf, Bu."
Ratni mulai mendekati anak sulungnya itu dan mengelus rambutnya. "Besok ibu mau ke Australia sama Ayah. Ngurus bisnisnya Ayah di sana. Kamu jaga diri baik-baik, ya. Yang akur sama adik tiri kamu. Jangan pulang malam lagi," desisnya di telinga Catur.
Catur mendongakkan kepalanya. "Ibu pulang kapan?"
Ratni menggeleng, "Belum tahu pasti, Nak. Kalau di sana sudah stabil kembali, baru bisa pulang ke Indonesia."
"Ibu juga jaga diri baik-baik di sana."
"Pasti, Nak." Senyum Ratni mengembang. "Kamu minta dibawakan oleh-oleh apa?"
Catur menggeleng sebelum tersenyum. "Enggak perlu. Catur cuma pengin ibu sama ayah pulang dengan selamat. Meluangkan waktu buat kumpul bersama di atas meja makan," titahnya.
Ratni mengangguk berkali-kali. "Iya sudah, baik-baik di sini, ya." Lantas kembali keluar dari kamar Catur.
"Oh, iya. Tadi Mbok Sum masakin sayur sop kesukaan kamu, loh. Makan ya, nanti," ujar Ratni sebelum menutup pintu kamar sang anak.
"Kenapa bukan Ibu yang masak?"
"Ibu tadi lagi ke luar kota sama Ayah, Nak. Enggak ada waktu buat masak."
Dada Catur kembali berdecak. Hampir setiap hari keluarga ini seperti orang asing yang berpenghuni satu atap. Hanya untuk pulang istirahat tanpa ada perbincangan ringan bersama.
-OoO-
"Pagi Dinasti Catur." Senyum mengembang seperti mentari terbit di pagi ini membuat Catur hampir terjengkang di depan kelas XI IPA 4. Gigi putihnya mengintip manis di sela bibir yang kemerahan.
"Kok," tunjuk Catur. "Kamu udah masuk sekolah?"
"Why?" Allea menyengir. "Heran ya."
Pandangan Catur teralih pada pergelangan tangan Allea. Gadis itu masih mengenakan perban krep pada persendian tangan sebelah kiri.
"Oh, ini." Allea turut melihat tangan kirinya. "Udah enggak apa-apa, kok. Kamu senang, kan, aku udah masuk sekolah sekarang?"
Catur kembali memandang wajah cewek itu. Buru-buru kepalanya menggeleng. "E-enggak, B aja."
"Masa?" Allea semakin mendekatkan wajahnya ke arah Catur. Menyelidiki kata-kata cowok itu dengan gerak tubuhnya yang semakin gelisah.
Catur menelan ludahnya berat. "Aku masuk kelas dulu, ya."
"Eh ... tunggu," cegah Allea. "May I ask for help?"
"Apa?"
"Nanti antarin aku pulang, ya .... Aku enggak mau dijemput Om Andre."
Senyap mengambil alih tepat setelah ucapan Allea selesai.
Jika Catur menerima permintaan Allea, maka sama saja dengan mengangkat bendera perang melawan om-om mata keranjang itu. Namun jika menolak, bagaimana nasib cewek itu nanti? Entah kenapa tiba-tiba Catur memiliki kekhawatiran yang berlebih terhadap Allea begitu mendengar orang bernama Andre itu.
Apakah Catur salah melindungi Allea? Apakah ia terlalu turut mencampuri perkara orang lain? Padahal masalah keluarganya sendiri saja belum tentu bisa diselesaikan.
Sentuhan hangat di kening Catur menyadarkannya kembali ke realita.
"Gimana?" tanya Allea.
"Aku masih waras!"
Allea terkekeh. Kini bibirnya semakin mendekati telinga Catur. "Aku hanya cerita soal ini ke kamu doang," desisnya.
Ucapan yang ditiupkan di balik gendang telinga Catur menjadi sebuah pembakar asa dalam hatinya.
"Are u serious?" tanya Catur menyangsikan.
Bibir Allea berkedut menahan tawa. "Tentu saja bohong. Aku juga cerita ini ke Jingga, sih."
"Maksudnya, kamu hanya cerita ini ke aku sama Jingga doang?"
Allea mengangguk.
"Kenapa kamu mau cerita soal keluarga kamu ke aku?"
"Karena kamu manusia polos. Kayak tembok," ledek Allea.
"Jadi kamu mau manfaatin aku, begitu?" tuduh Catur. "Sorry. Enggak semudah itu kamu bisa manfaatin aku." Lantas ia menganju memutar arah menuju ruang guru untuk menuju kelasnya. Sama seperti kejadian pertama kali masuk sekolah ini saat bertemu Allea.
"Bukan itu sebenarnya." Allea menarik lengan Catur. "I think, you're the right person for me to tell all about."
Kini Catur menghentikan langkahnya dan berubah menjadi pendengar yang baik.
"Entah kenapa, aku yakin aja kalau kamu orang yang baik dan enggak akan menceritakan masalah ini kepada siapapun." Allea semakin mengeraskan genggamannya. "Kamu mau, kan, antar aku pulang?"
"Sure," jawab Catur spontan. Bahkan beberapa kali ia mengutuk dirinya sendiri saat tidak sengaja mengucapkan kata itu.
"Hah? Serius?" decak Allea dengan senyum mengembang.
Catur menggigit bibirnya. Kini tirai sudah di lepas, mau tidak mau ia harus bertanggung jawab atas ucapannya tadi.
"Tapi dengan satu syarat," ujar Catur pada akhirnya. "Kita harus pulang paling akhir."
Dahi Allea berkerut. "Kenapa harus begitu?"
"Biar enggak ada yang lihat kita nantinya."
"Hah?!"
"Ssst ... jangan kencang-kencang," desis Catur. Suara Allea begitu melengking sampai membuat pusat atensi para murid yang ada di depan kelas.
"Ups ... sorry."
"Aku enggak mau ketahuan adikku lagi nantinya," desis Catur. "Dia itu tukang ngadu ke orang tua aku."
"Oooh .... Adik kamu juga sekolah di Sabang?" Allea mengangguk paham. Ternyata Catur memiliki adik yang juga sekolah di SMA Satu Bangsa.
"Ruang berapa?" imbuh Allea.
"Enggak perlu kamu tahu. Udah, aku mau masuk kelas dulu," kilah Catur lantas kembali berjalan menuju kelas XI IPA 1.
-OoO-
Bel sekolah sudah berbunyi sejak 1 jam yang lalu, tapi kenapa masih banyak murid yang berkeliaran di sekitar halaman sekolah. Bahkan dengan asiknya berghibah ria di dalam ruang kelas. Bahas apa lagi kalau tidak tentang dunia per-Kpop-an. Termasuk kelas Catur. Kini masih banyak para siswi di dalamnya.
Beberapa kali pesan masuk dari Allea, tapi Catur tak kunjung membalas. Ia berharap cewek itu bisa sedikit lebih sabar.
Sejurus kemudian, Catur berjingkat kaget begitu membaca pesan Allea yang ke terakhir. Ia menyebut nama pria yang sedikit mengusik pikirannya.
Allea: Buruan samperin aku sekarang, Om Andre mau menuju kelas kalau aku enggak keluar sekarang juga!
Decihan langsung muncul di bibir Catur di selingi dengan bangkitnya dari tempat duduk. Dengan cepat ia menuju kelas Allea. Dalam benaknya, semoga adik tirinya itu sudah pulang ke rumah.
Catur menoleh kanan-kiri. Sepertinya aman. Sindy pasti sudah pulang. Tidak lama kemudian Allea muncul dari hadapannya. Perasaan was-was Catur kini terbenam ketika melihat senyum cewek itu kembali terbit.
Mereka berdua mulai menuju tempat parkir.
"Berhenti!" cegah seseorang di balik punggungnya. "Jangan berani-beraninya bawa anak saya!"