webnovel

Veintiséis (Dua Puluh Enam)

Sebuah angka dan guratan takdir mempertemukan Catur dan Allea. Meski dalam keadaan yang tidak terlalu baik, ternyata keduanya pernah memiliki ikrar janji yang sama sama dilupakan.

SkylaMaryam · 若者
レビュー数が足りません
13 Chs

Enam

"Apa apaan sih, Om? Lupa kalau Catur ini pacar aku?!" bentak Allea. Tangannya otomatis melingkar pada lengan Catur.

"Tidak masuk akal. Bagaimana mungkin kamu bisa berpacaran dengan anak yang baru pindah satu minggu." Senyum sinis penuh kemenangan tersungging di bibir Om Andre.

Catur melirik lengannya yang merasakan tremor dari tangan Allea. Ia kemudian berinisiatif untuk merangkul pinggul Allea."Kami memang baru sebentar berpacaran tetapi kami sudah saling kenal sejak lama lewat Instagram."

"Anak bau kencur mau bohongin orang tua, huh?! Tidak ada bukti kalau kalian—"

Kalimat Om Andre terhenti karena gerakan spontan yang dilakukan oleh Catur kepada Allea. Mereka berdua bahkan tidak tahu wajah merah padam Om Andre kala itu. Setelah Catur selesai dengan tindakan gilanya, ia melongok ke sekitar dan tidak lagi ditemui batang hidung Om Andre.

"Yuk, pulang." Catur meraih tangan Allea berjalan ke arah rumah Teh Endah. Namun, didapatinya Allea masih mematung seolah kedua kakinya menempel dengan aspal. "Ayok, keburu papa tiri kamu balik lagi."

Pernyataan Catur menyadarkan pikirannya. Gadis itu pun berjalan gontai mendahului Catur.

"Salah arah," ujar Catur sambil menarik tas Allea.

Allea mengerutkan kening. "Kok ke kantin, sih?" protesnya. Namun, tetap saja ia mengikuti langkah Catur. "Kok, kita ke— wait, ini mobil kamu?"

-oOo-

Allea tidak tahu kalau bekerja sama dengan Catur bisa se-totalitas itu. Di hari pertama ia kembali ke sekolah, dalam benaknya, pertemuan dengan Catur akan se-sederhana menyapa cowok itu - meminta diantar pulang - sampai rumah dengan damai sentosa. Faktanya, Catur berhasil membuat ia dua kali terkejut. Sekali lagi, ia wajib meminta piring cantik. Fiuh.

"Sori soal tadi," ujar Catur memecah keheningan.

"Nggak apa-apa. Makasih malah, tapi kenapa harus—"

"Aku janji, itu nggak akan terulang lagi. Tadi aku cuma refleks, nggak ada maksud modus atau apapun, nggak ada maksud—"

"Kamu bawel ya kalau lagi panik." Catur pun terdiam mendengar komentar yang meluncur dari bibir Allea. "Di depan belok kiri." Catur memutar kemudinya setelah cewek itu memberikan komando.

"Itu rumahku. Thanks ya, Catur." Allea buru-buru turun sampai lupa melepaskan seat belt. Melihat keadaan itu, Catur menekan tombol di samping kanan Allea. Ketika ia mencoba menahan gespernya agar tidak terbentur pada tubuh Allea, ia tidak menyadari bahwa tangannya bersentuhan dengan permukaan dada Allea.

"Stop! Biar aku aja." Allea yang kembali berdebar kencang, hanya bisa menaikkan beberapa oktaf nada bicaranya agar Catur tidak membuat keadaan kikuk untuk ketiga kalinya.

Allea keluar dari mobil, lalu ia berbalik setelah berjalan beberapa langkah menjauhi kendaraan Catur.

You stole my first kiss Catur.

-oOo-

Mengunci pintu kamar sebelum jam 8 malam bukan lah hal yang biasa bagi Allea. Ia cukup beruntung karena bisa mematikan lampu kamarnya meski belum larut. Tidak ada tugas individu dari sekolah. Semua tugas kelompok sudah selesai hanya dengan mengirim chat via Whatsapp saja.

Ia sedang ingin sendiri. Bukan karena badmood atau kurang enak badan. Melainkan karena jemarinya terus saja menyentuh bibirnya dan otaknya memutar ulang kejadian sepulang sekolah tadi.

Allea tidak terlalu serius dengan ingin menjadikan Catur pacar. Catur hanyalah sosok cowok yang dirasa bisa menolongnya dan mampu membuat Om Andre tidak berkutik. Namun, ia tidak tahu akan ada kejadian ekstrim yang di luar dugaan Allea. Bahkan, kejadian itu jauh dari bayangannya selama ini.

Entah harus bagaimana agar kejadian tadi tidak terngiang terus di kepalanya. Allea masih ingat ketika Catur menarik tubuhnya, sentuhan bibir Catur membuat ia membelalakan mata. Sadar bahwa itu bukan reaksi yang bagus untuk sebuah drama di hadapan Om Andre, Allea pun perlahan menutup matanya.

"STOP ALLEA!" serunya pada diri sendiri. Ia lantas membenamkan kepala pada bantal. Namun, tidak membantu apapun. Debar jantungnya masih mendominasi keadaan dirinya.

"Ingat, Allea. That's just a game," ujar Allea seolah bisa berhasil memantrai dirinya untuk tidak berpikir yang aneh-aneh terhadap ciuman pertamanya.

Wait, what? First kiss?

Kembali Allea membenamkan wajah ke bantal diikuti dengan memukul kasur di sekitarnya.

-oOo-

Sebuah klakson mobil terdengar di depan pintu pagar besi rumah Allea. Dia yang sedang menyantap sarapan bersama dengan mamanya dan Om Andre, sontak menoleh. Setelah seketika tersadar, ia pun bangkit dari kursi lalu mengintip dan memamerkan senyum ceria.

"Berangkat dulu ya, Ma, Om. Pacar aku udah jemput." Allea meraih tas yang diletakkan di kursi sampingnya. "Sesuai perjanjian kita ya, Ma. Aku udah punya pacar. So', no Om Andre anymore"

Sengaja Allea tidak mencium tangan mamanya karena takut Om Andre meminta jatah dan menggerayangi telapak tangannya. Segera ia berlari ke luar pintu gerbang.

"Sayaaang!" seru Allea ketika jendela mobil Catur dibuka perlahan.

Seolah sudah hafal dengan skrip, Catur turun dari mobil lalu membukakan pintu untuk Allea. Sempat Catur berniat untuk pamit kepada orang tua Allea. Hanya saja, mereka tidak keluar rumah. Namun, Catur bisa melihat bayangan 2 orang yang tengah mengintip dari balik jendela. Bayangan mamanya Allea dan Om Andre.

"Aku kaget kamu jemput. Kenapa nggak kasih kabar dulu? Seenggaknya, aku kan bisa akting lebih baik," protes Allea.

"Aku kirim chat," jawab Catur datar.

Allea buru-buru mengaduk isi tasnya untuk memastikan apa yang sudah dikatakan oleh Catur. "Ternyata Robin mati," celetuk Allea.

"Robin siapa?" Catur sempat melirik ke arah Allea yang tengah mengerucutkan bibirnya.

"Nama iPhone aku."

Mendengar jawaban itu, Catur memutar bola matanya. Sejurus kemudian, ia mengeluarkan kabel konektor. "Isi dulu. Lumayan selama 20 menit perjalanan."

"Eh, bentar. Nanti di sekolah, apa kita harus terlihat pacaran? Enggak usah kali ya." Allea berkata setelah menghubungkan ponselnya untuk diisi daya. "Eh, tapi, nanti si pedofil itu malah nggak percaya kalau kita pacaran. Kalau dia tanya ke anak-anak di sekolah, terus mereka jawab enggak, mati lah kita."

Catur membiarkan Allea bertanya dan menjawabnya sendiri. Ia pun memang tidak tahu harus seperti apa selama di sekolah.

"Gimana, dong?" Allea menggoyang-goyangkan lengan Catur yang sedang memegang persneling.

"Ya udah, deklarasi aja kalau kita pacaran," jawab Catur setenang Sungai Gangga.

"Tapi nanti kalau Kak Rey tahu, aku nggak bisa pedekate sama dia lagi dong."

Ucapan Allea membuat Catur menginjak pedal rem seketika. Selain karena mereka sudah sampai di sekolah, cowok itu cukup terkejut dengan pernyataan Allea.

"Kamu turun di sini," perintah Catur. Allea menengok ke arah jendela.

"Aku nyebrang sendiri? Nggak kamu sebrangin?" protes Allea.

"Tuh, ada Pak Marno." Catur menunjuk ke arah pria paruh baya yang tengah berdiri di pinggir jalan ber-zebra cross dengan memegang peluit.

"Hmmm, OK."

"Seat belt," tegur Catur saat mendapati Allea langsung membuka pintu tanpa melepas seat belt

Allea berjalan menghampiri Pak Marno tanpa menoleh ke arah Catur. Begitu pun sebaliknya, Catur melajukan mobilnya menuju belakang sekolah.

"Allea! Astagaaa, dipanggil sampai suara aku habis, nggak noleh juga. Kamu lagi cosplay jadi hantu budek?"

"Ish, Jingga. Jangan ngomong ngaco deh," sanggah Allea.

"Ya habis. Aku panggil dari pintu gerbang loh!" Jingga tak lupa menunjuk ke arah pagar tinggi berwarna abu. "Kamu baru nengok pas udah di depan ruang piket. Haduh." Ia menepuk pelipisnya.

"Sori."

"Sori-nya kamu nggak ikhlas," protes Jingga. Allea hanya mengerucutkan bibir.

"Allea! Ikut saya ke ruang guru." Tiba-tiba saja Bu Anjar memanggil dengan nada yang paling ditakuti semua murid.

Allea sempat menoleh ke arah Jingga. Sahabatnya itu hanya mengangguk ragu meski perlahan mengikuti dengan jarak yang cukup jauh.

"Catur! Pas sekali. Kamu ikut saya juga," ujarnya kepada Catur yang baru saja muncul dari arah kantin.

Mereka berdua sempat saling bertukar pandang dengan raut wajah yang sama-sama gusar. Setelah keduanya diminta untuk duduk, Bu Anjar memberikan selembar kertas formulir ke hadapan mereka.

"Isi dengan rapi. Dikumpulkan saat ini juga," ujar Bu Anjar.

"Apa ini, Bu?" tanya Allea tanpa berniat membaca kop formulir tersebut. Karena kebodohannya, Bu Anjar pun berlalu dari hadapannya tanpa menjawab.

"Formulir data peserta olimpiade sains." Catur menjawab dengan tanpa menoleh ke arah Allea.

"What? Olimpiade?!" Kaki Allea melemas.