Pada tahun 1800, negara-negara digdaya saling berusaha menguasai wilayah satu sama lain. Selama bertahun-tahun mereka berusaha bertempur pada benua Eurisia yang berada di barat dunia, bertempur demi supremasi, tanpa henti. Konflik terus terjadi antara negara timur dengan barat, sampai pada tahun 1815 negara-negara timur memutuskan untuk menyatukan diri mereka dibawah satu pimpinan kuat.
Di timur benua, matahari terbit di atas kekuatan baru yang lahir. Otokrasi Adlerburg yang dikenal sebagai Kekaisaran Adlerburg menunjukkan kedigdayaannya dalam pemerintahan mutlak yang memiliki pimpinan tertinggi, Kaisar Reinard de Leopo I. Melanjutkan ambisi keluarga Leopo, sebagai penerusnya ia berniat mengembalikan semua tanah yang telah diambil oleh negara barat. Membangun militer dalam jumlah yang besar secara rahasia, bersekutu dengan negara tetangga di timur, mereka tengah merencanakan suatu gerakan besar pada benua Eurisia.
Sementara di sisi barat benua, Republik Ascarte yang berdaulat semakin khawatir akan pergerakan Kekaisaran Adlerburg. Didesak oleh Kekaisaran Adlerburg yang menginginkan sebagian tanahnya di sebelah tenggara Eurisia untuk dikembalikan, Republik Ascarte pun menginginkan wilayah yang dicakup Kekaisaran Adlerburg pada peperangan sebelumnya. Kedua negara saling berseteru untuk masing-masing wilayah mereka yang ada di perbatasan selama 15 tahun, bertempur dalam skala kecil pada perbatasan.
Selama 15 tahun tidak menemukan titik temu dan dikhawatirkan memicu pertikaian yang lebih besar, Federasi Negara-Negara Dunia mengadakan perundingan antar kedua negara digdaya di benua Eurisia tersebut. Pada Apreel 1830, perundingan dari setiap perwakilan Republik Ascarte dan Kekaisaran Adlerburg mengadakan rapat pada kota kecil Truce yang berada pada negara netral, Kerajaan Helgania. Meski begitu kedua negara masih menyimpan sesuatu di belakang , sampai suatu saat percikan-percikan kecil itu dapat menyulut sesuatu yang lebih besar.
Sementara kedua negara digdaya tengah menuntut kekuasaan mereka masing-masing, sebuah negara kecil di sebelah utara benua Eurisia mempertahankan netralitas mereka di antara bayangan akan perang yang dapat terjadi kapan saja. Sebuah negara kecil dengan gerbang belakang berupa Selat Derflinger, negara yang terbentuk dari para rakyat yang tertindas oleh negara-negara besar dan lelah akan peperangan, berdiri mempertahankan perdamaiannya. Sebuah negara yang ditempa dalam konflik keras, bertempur melawan tirani, dan dibebaskan oleh setiap rakyatnya... negara tersebut adalah Negara Persatuan Liberios. Meski dihantui oleh kekuatan masif di perbatasannya, Libeniards akan mempertahankan setiap jengkal wilayahnya dan memperjuangkan kedaulatannya hingga akhir.
12 Yanuar 1830, Vleggel, Ibu Kota dari Negara Persatuan Liberios.
Pada siang hari yang cerah berawan, hiruk-pikuk dari orang-orang yang berlalu lalang melakukan pekerjaannya masuk melewati jendela yang terbuka. Seorang pemuda terlihat begitu tergesa-gesa memasukkan beberapa barang pada koper coklatnya. Ia berusaha menjejalkan alat-alat tulisnya berupa pena berwarna perak, pensil, serta buku catatan kosong di antara baju setelan yang ia bawa.
"Pakaian dan barang pribadi saja cukup kan ? Jika membawa terlalu banyak barang akan terlihat jelas."
Mengangguk setuju pada pemikirannya sendiri, ia menutup rapat koper kotak yang terbuat dari kayu keras. Setelahnya ia berjalan ke arah jendela untuk menutup tirainya. Mengulurkan tangan pada jendela, pandangannya melintas pada meja yang berada di dekat jendela. Di atas permukaan meja tergeletak banyak kertas putih yang berserakan, serta buku-buku yang bertumpuk layaknya pegunungan Frenus.
"Aku tak punya waktu untuk membersihkannya, mungkin nanti akan dibereskan para pembantu."
Setelahnya berjalan kembali untuk mengambil koper coklatnya. Berjalan menuju ke pintu apartemennya, ia mengambil topi bowler hitamnya pada tiang gantungan. Berbalik ke arah apartemen yang telah ditinggalinya sejak lama, ia membungkuk memberikan penghormatan lalu menutup pintunya dengan rapat.
Apartemen yang ia tinggali tersebut adalah apartemen kelas menengah yang berada di lantai ke-4 bisa terbilang adalah tempat tinggal impian bagi setiap orang di Ibu Kota. Karena kebanyakan hanya orang penting atau berpenghasilan besar saja yang dapat menetap di tempat semewah itu.
Memiliki dinding kokoh yang dihias dengan ornamen indah, tempat tidur yang lembut lengkap dengan selimut hangatnya... kamar mandi dengan bak mandi yang bisa menyediakan air panas dan yang paling penting, disambut oleh pemandangan Vleggel di pagi hari dari balik jendela. Setiap orang di kota berjuang demi memiliki hidup seperti itu. Namun bagi sang pemuda, dia tidaklah berpikiran dirinya hidup dalam keberkahan.
Apartemen indah yang ia tinggali merupakan tempat kerja dan seperti penjara baginya.
"Kenapa ?" mungkin terlintas di benakmu.
"Selamat pagi, Tuan Williem. Apakah Anda hendak pergi ke luar ?"
"Ya, ada sedikit keperluan."
"Kalau begitu, berhati-hatilah. Saya menyarankan untuk memakai sarung tangan karena masih begitu dingin."
"Terimakasih banyak sarannya."
Pria tua berumur 40an tadi yang tengah berbicara dengan si pemuda ialah petugas pembersih yang biasa membersihkan apartemen. Terkadang ia bertemu dengannya yang tengah menyapu lorong berkarpet merah.
"Tuan Eldrich !" ia memanggilnya kembali.
"Ya ?"
"Mungkin saya lancang menanyakan hal ini, tapi saya ingin menanyakannya. Apakah Anda memiliki rencana untuk menulis buku lagi ?"
Pemuda tersebut, Williem Eldrich, berdiri dengan sempurna tanpa menggerakkan sejengkal pun jari di tubuhnya. Meski nama marganya adalah Williem, dia jauh lebih suka bila dipanggil Eldrich. Ia dan si pak tua pun telah kenal untuk waktu yang cukup lama sehingga mereka bisa terbilang akrab. Ia menanyakan sesuatu yang Eldrich sendiri tidak dapat menjawabnya. Jadi, saat ia tengah menatap mata berkilauan penuh harapan dari pria 40an itu, dengan ragu-ragu ia berkata.
"Mungkin..." lantas menurunkan topinya dan berbalik, mempercepat langkahnya menuju ke tangga.
Berjalan keluar dari pintu apartemennya, ia melangkahkan kaki pada trotoar yang masih terdapat salju di beberapa sudut. Meski jam menunjukkan pukul 8 pagi, suasana kota telah mulai ramai. Pria-pria dengan jas rapi serta topi saling menyapa satu sama lain, beberapa dari mereka tengah menyedot cerutu sembari mengepulkan asapnya ke atas. Jalan raya bahkan lebih ramai dibandingkan trotoar. Sepanjang matanya melihat, kereta-kereta kayu ditarik oleh kuda dari satu tempat ke tempat lainnya, bunyi derap tuk tak tuk tak terngiang-ngiang di telinga Eldrich.
Tentu saja kota tengah ramai, hari ini adalah hari kerja, di pagi hari mereka perlu bergegas menuju ke tempat kerja. Berlainan dengan pria pekerja keras, Eldrich justru tidaklah pergi untuk bekerja.
"Jadwal keberangkatannya jam 8.45, sekarang sudah jam 8.10... apakah aku bisa sampai tepat waktu ke stasiunnya ?!" melihat jam tangannya ia mempercepat langkah kaki.
Melewati sebuah restoran, pada balik kaca Eldrich melirik ke dalamnya. Pria wanita tengah makan bersama, dilayani oleh beberapa pelayan wanita membawa pesanan mereka. Harum dari masakan tersebut terbawa keluar, tercium oleh perut Eldrich. Dia baru sadar kalau sama sekali belum sarapan, tetapi untuk makan sekarang akan memakan waktu lama, dan ia pun menghiraukan perutnya.
Vleggel, merupakan salah satu kota terkenal di benua Eurisia. Merupakan ibu kota dari Liberios, arsitektur dari setiap bangunannya masih mempertahankan gaya pertengahan. Karena mereka merupakan negara yang muda dan terlahir memisahkan diri dari kerajaan besar, maka arsitektur lamanya tidak tersentuh begitu banyak oleh pembaruan. Kastil Putih yang merupakan tempat tinggal pemimpinnya yaitu Raja Edward II adalah destinasi utama para turis.
Tahun 1800 adalah masa penemuan besar-besaran di Eurisia. Berakhirnya era monarki Kerajaan membawakan hak individu pada setiap rakyat yang memudahkan mereka mendapatkan hak-hak yang dahulu dikekang, seperti mendapatkan pendidikan. Rakyat yang tak pernah mengenal apa yang dinamakan 'sekolah' kini dapat merasakannya. Perguruan tinggi dibangun gencar-gencarnya, sehingga banyak para cendekiawan lahir membawa perubahan begitu pesat dari sebelumnya.
Teng, teng, teng !
Suara dari lonceng yang berdenting keras menghentikan Eldrich dari lajunya. Dia dan orang lain yang hendak menyeberang jalan terhenti setelah mendengar suara lonceng tersebut. Dari barat sebuah kendaraan panjang melewati mereka. Terdapat banyak orang yang duduk di kendaraan tersebut, bergerak di atas pelat baja yang disebut rel di tengah jalan. Kendaraan panjang itu dinamakan 'kereta trem', salah satu penemuan transportasi yang ditemukan tahun 1800an, digunakan untuk bepergian di dalam kota.
Tidak hanya itu, hal-hal lain seperti kereta kayu dengan mesin uap yang dapat membawamu bepergian lebih cepat daripada kuda bernama mobil, radio yaitu alat komunikasi jarak jauh yang cepat dan mudah, kereta besi dengan mesin berisiknya, serta banyak hal lain.
"Permisi, permisi izin lewat."
Mempercepat langkah demi langkahnya, Eldrich berdesakan dengan sekumpulan orang yang ramai tengah mendengar orasi dari seseorang di pinggir jalan. Di kota, selalu ada sekelompok aktivis politik yang berusaha menggalang dukungan dengan melakukan hal seperti ini. Mereka memberitahu orang-orang mengenai keburukan lawan politiknya dan menjanjikan kemakmuran. Bagi Eldrich sendiri, menemui ini kembali sangat melelahkan. Hampir setiap minggu ada, bahkan semakin bertambah belakangan ini. Situasi tengah memanas di benua Eurisia, yang mana memberikan mereka kesempatan.
BUK
"Ap—" Sesuatu menghantam wajah Eldrich ketika melangkah maju.
Mengambil sesuatu yang menutupi pandangannya, rupanya adalah selembar kertas. Di kertas buram tersebut tertulis sesuatu seperti.
'Jangan biarkan otokrasi masuk. Karena mereka musuh di dalam selimut.' Lengkap dengan ilustrasi dari seekor manusia serigala memakai seragam gelap khas negara timur, yang tengah mengancam benua Eurisia dengan cakarnya.
"Ini bahkan menjadi lebih liar daripada sebelumnya..." meremas-remas kertas tersebut Eldrich membuangnya ke tempat sampah yang ia temui.
Menemukan propaganda semacam ini adalah hal biasa. Ketegangan dunia justru seperti menumpahkan minyak ke kayu bakar. Di tiang lampu, di dinding toko... bahkan di pohon pun dipenuhi poster seperti ini. Pemerintah kota berusaha menghapusnya setiap hari tapi tidak berkurang.
Lantas Eldrich teringat, di koran yang ia baca kemarin, pada bulan depan terdapat perundingan besar di Kerajaan Helgania. Ia tidak ingat kapan tanggalnya, namun perundingan ini akan menentukan akhir dari konflik berkepanjangan antara Kekaisaran Adlerburg dan Republik Ascarte yang berbatasan dengan negaranya.
"Padahal Liberios netral. Untuk apa memikirkan kedua negara tersebut, orang-orang yang begitu bodoh." Gumamnya ketika ia tengah memasuki stasiun kereta.
Memasuki stasiun, bunyi peluit kereta yang membisingkan terdengar. Pada peron pertama, terdapat sebuah lokomotif hitam dengan cerobong asapnya. Panik melihat lokomotif tersebut telah berbunyi, ia bertanya dengan kondektur berpakaian biru di dekat pintu gerbong.
"Permisi, apa benar ini kereta menuju ke Friedeland ?"
"Benar, pak. Apakah saya boleh melihat tiket Anda ?"
"Ah ya, tunggu sebentar."
Eldrich meraihkan tangannya pada saku kemeja yang ia kenakan, mengeluarkan selembar tiket kepadanya. Kondektur tersebut mengambil tiket dari tangannya dan mengamati tiket tersebut.
"Gerbong ke 3 ada di sebelah kanan, pak. Selamat menikmati perjalanan Anda."
"Terimakasih terimakasih." Ucap Eldrich menggangguk kepadanya.
Mengikuti arahan sang kondektur, ia berjalan kembali ke kanan peron sampai menemukan gerbong dengan nomor 3 terpasang di gerbong. Memasuki gerbangnya setiap kursi penumpang telah hampir diisi oleh orang.
"Permisi, permisi sebentar."
Menerobos melewati kumpulan orang yang tengah mencari tempat duduknya, ia akhirnya sampai pada nomor kursinya. Tetapi seorang pria telah menduduki kursinya yang berada di dekat jendela. Pria tersebut memakai kemeja coklat dengan topi boatler berwarna sama.
"Maafkan saya, pak, saya pikir itu adalah tempat duduk saya."
"Maaf ?"
"Itu kursi saya, nomor 15."
"Benarkah ?! Maaf soal itu. Saya pikir tidak ada yang menempatinya."
"Tidak apa-apa, pak."
Jika ini perjalanan yang dekat, Eldrich akan membiarkannya dan membiarkan ia menempati kursinya. Namun, perjalanan yang akan ia lalui cukup jauh. Juga, dia sudah memesan tempat duduk di dekat jendela karena ia suka melihat pemandangan dari balik jendela kereta.
Setelah meletakkan barangnya pada tempat bagasi di atas tempat duduknya, ia pun duduk. Bunyi peluit keras dari kereta terdengar begitu kencangnya, menandakan kereta hendak berangkat.
Sekitar 3 menit setelahnya, mesin mulai menderu, membawa kereta berangkat dari Stasiun Shrike. Bepergian menggunakan kereta lokomotif merupakan pengalaman yang menyenangkan, sebab melakukan perjalanan menggunakan kereta lokomotif tidaklah murah. Harganya lebih tinggi dibandingkan trem, namun bisa melakukan perjalanan ke stasiun di kota lain, daerah lainnya... dan bahkan ke luar negeri.
Gerbong bergetar saat kereta mulai menambah kecepatannya, bergerak melewati tembok pembatas di samping rel menuju ke daerah luar perkotaan. Mata Eldrich sepenuhnya tertuju ke luar jendela, memandangi pohon-pohon tinggi berjejer, sementara suasana di dalam gerbong ramai oleh pembicaraan penumpang lain. Ia terkadang mengeluarkan buku catatan kecil dari balik kemejanya, menuliskan apa yang ia lihat pada kertas putih.
"Tuan, tolong tiket Anda."
"Tuan—"
Seseorang menepuk pundak Eldrich saat ia tengah sibuk menulis. Pandangannya mengarah ke samping kiri, terdapat petugas kereta yang semenjak tadi berdiri di sana dengan wajahnya yang kaku.
"Ya ?" ucap Eldrich.
"Tolong tiket Anda."
"Tiket ? Baik, baik. Silahkan."
Petugas mengambil tiket dari tangannya, lalu menyobek bagian dari tiket tersebut dan memberikannya kembali.
"Silahkan nikmati perjalanannya." Lantas petugas berjalan pergi ke gerbong lainnya.
"Maaf mengganggu Anda sebelumnya, pak."
"Tidak apa-apa, saya seharusnya berterimakasih karena isyarat tadi."
"Tidak perlu, tidak perlu haha.."
Pria di sampingnya tertawa. Dia nampak seperti pria berusia 30an dengan kumis coklat tebal dan janggut tipis di pinggiran wajahnya, seorang pria dewasa, Eldrich menuturkannya.
"Jadi, Anda hendak bepergian kemana, pak ?
"Friedeland."
"Friedeland ? Agak jauh di timur bukan. Saya pernah melewatinya, namun belum pernah berhenti di sana. Pulang ke kampung halaman atau ?"
"Erm... bisa dibilang hendak mengunjungi kerabat lama." Eldrich menjawabnya dengan ragu-ragu.
"Itu bagus, itu bagus."
"Dan Anda, pak, kemanakah tujuan Anda ?"
"Sekali perjalanan ke stasiun berikutnya. Mungkin Anda berpikir kenapa sampai payah-payah menggunakan kereta yang mahal ke sisi lain kota bukan ?" dia bertanya, tapi Eldrich tidak menjawab, malahan menggelengkan kepalanya karena ketidaktahuan.
"Saya bekerja sebagai fotografer. Dan kantor saya ada di sektor lain. Saya perlu mengirimkan dokumen serta foto penting dan tak mungkin mengirimkannya lewat kereta kuda bukan ? Sangat sulit mempercayakan dokumen dan foto berharga ini pada mereka."
"Sepertinya pekerjaan yang berat, pak."
"Ya benar, tapi saya menyukainya. Beberapa hari lalu saya telah mengambil beberapa foto unjuk rasa, untuk itulah saya dikirimkan ke ibu kota."
'Rupanya ada pula yang mengambil foto unjuk rasa.' Eldrich berpikir.
"Situasi bertambah tegang hari ke hari hingga perundingan. Saya bahkan mendengar Liberios menyediakan pasukannya di dekat Agraxia dan Grenberg, jikalau terjadi sesuatu."
"Benarkah..."
"Ya, pak, saya bekerja di kantor berita sehingga Anda dapat percaya kata-kata saya. Eurisia tengah seperti tong mesiu, setiap negara mulai menunjukkan kekuatan mereka di sana-sini. Suatu saat api kecil dapat memantik dan meledakkan seluruh benua."
Pria tersebut membicarakannya dengan wajah yang sangat serius, mungkin ia telah mendengar dan melihat banyak hal semasa menjadi fotografer jurnalis. Dan Eldrich sama sekali tidak meragukan perkataannya, dia pun tahu. Mengetahui perang mungkin terjadi, Angkatan Bersenjata Liberios memulai perekrutan sukarela secara besar-besaran. Berlawan dengan ideologi mereka yang tidak mengintervensi, politisi mengatakan bahwa ini hanya untuk tindakan pencegahan.
Banyak pemuda yang dikirim untuk wajib militer pada usia 20-30 tahun. Dia pun mendapatkan surat draf untuk masuk, tapi tidak ikut. Bukan karena Eldrich tidak mencintai dan tidak ingin ingin membela negaranya, namun karena ia tak ingin terlibat dengan hal serumit peperangan. Jadi, ia melarikan diri menuju Friedeland.
"Anda nampak sangat terfokus menulis pada buku Anda barusan, pak."
"Ah ya ? Saya... tengah menulis sesuatu untuk menghilangkan kebosanan, haha."
"Apakah Anda suka membaca buku, pak ? Karena saya adalah seorang kutu buku juga."
"Tidak terlalu banyak, tapi ya, saya suka membaca buku." Eldrich menjawabnya.
'Tentu saja aku membaca buku, aku menyukainya, aku hampir memiliki tiga rak yang penuh oleh buku di apartemen !' Eldrich menjerit di dalam hatinya namun menekan suara tersebut.
"Benarkah begitu ? Saya suka membaca kisah petualangan seperti karya Roland Halberd. Biasanya saya menyukai buku dari penulis Helgania, tapi sekitar beberapa bulan yang lalu saya mencoba membaca 'Terbangnya Burung yang Tekurung' dan menjadi buku kesukaan saya !"
"Su-sungguh ? Saya pun menyukainya."
"Anda benar-benar pria yang berbudaya, pak. Penulisnya sendiri masih muda, saya dengar. Mengisahkan mengenai seorang gadis bangsawan kecil yang mencoba mendapatkan kebebasannya, benar-benar menyentuh."
"Benar, benar. Apa Anda membaca buku keduanya pula ?'
"Buku kedua ? Tentu saja ! Yang pertama memang bagus, tapi yang kedua... luar biasa hebat ! Saya menyukai kisah petani miskin yang mencoba menjadi ksatria terhormat pada perang di abad pertengahan. 'Legenda si Zeros' benar-benar yang terbaik. Yang mengejutkan adalah, penulis kedua buku tersebut dari Liberios ! Tidak percaya kita memiliki penulis yang hebat."
Eldrich memperhatikan ekspresi sang pria yang berubah begitu drastis. Dia serius sebelumnya, namun sekarang matanya melebar dan dari mulutnya ia bisa melihat senyum lebar ketika tengah membicarakan tentang buku yang ia baca. Itu memberikan Eldrich perasaan yang menenangkan, ia bahagia, layaknya mawar yang mekar di musim semi.
Tidak lama setelah percakapan tersebut, kereta melambat dari jalurnya saat mendekati stasiun. Kemudian terdengar lengkingan keras dari peluit, akhirnya mereka sampai pada stasiun pertama.
"Membicarakan tentang buku memang menghabiskan waktu lama. Senang rasanya dapat saling berbicara dengan sesama penggemar buku. Terimakasih atas waktunya, pak."
"Sama-sama pak. Saya juga senang dapat berbincang-bincang dengan Anda."
"Ngomong-ngomong, saya belum memperkenalkan diri saya sejak tadi."
Pria tersebut mengulurkan tangannya ke depan, bermaksud untuk memperkenalkan dirinya. Eldrich buru-buru melepaskan sarung tangan kulitnya, lalu menggapai tangan sang pria.
"Perkenalkan, nama saya Karel Dirksen. Senang bertemu dengan seorang penggemar buku dengan Anda."
"Ya, perkenalkan saya—"
Di tengah kalimat Eldrich berhenti, ia ragu saat hendak mengatakan namanya kepada si pria. Ia teringat bahwa dirinya adalah seorang fotografer jurnalis, seseorang yang memiliki hubungan dengan kantor berita. Jika ia mengatakan namanya, ada kemungkinan ia membocorkan tujuannya dan ia tak dapat melarikan diri.
Namun meski begitu, itu adalah pengalaman yang menyenangkan menurut Eldrich karena dia dapat mendengar pendapat dari pembacanya melalui telinganya sendiri. Melihat kebahagiaan dari wajah penggemarnya, sudah cukup membuatnya melupakan konsekuensi yang ia dapat nantinya.
"Nama saya... Williem Eldrich. Senang bertemu dengan Anda, tuan..."
"Karel saja tidak apa-apa."
"Ah ya, senang bertemu dengan Anda, tuan Karel."
Bunyi lengkingan peluit kereta terdengar kembali, menandakan kereta hendak berangkat kembali menuju tujuannya. Karel telah menurunkan barang bawaannya yang berupa kotak-kotak besar berisikan perlengkapan memfotonya. Menganggukkan kepala pada Eldrich, ia pun berjalan keluar ke pintu.
"Pemuda yang baik." Dia bergumam sambil tersenyum.
Melangkah turun pada gerbong kereta, ia meletakkan koper-kopernya yang berat untuk sekali lagi melihat kereta yang hendak berangkat. Lantas, ia mengingat nama pemuda itu kembali.
"Dia bilang... namanya Williem... Eldrich, bukan ?"
Sebuah gelembung pecah di dalam pikirannya, ia membuka salah satu koper dan mencari sesuatu di dalamnya. Akhirnya, ia menemukan sebuah buku novel dengan sampul biru tua bertuliskan.
'Terbangnya Burung yang Terkurung.' Karya Williem Eldrich.
Dia berdiri tercengang saat kereta mulai bergerak. Pria yang ditemuinya di kereta adalah penulis muda yang tengah naik daun di Eurisia, si Williem Eldrich dari Liberios. Pria yang menulis dua buku yang diiimpor bahkan ke mancanegara. Semakin kereta menjauh dari stasiun, jiwa Karel perlahan tertiup oleh angin... sedikit demi sedikit terbang jauh bagai benih dandelion.
<div id="gtx-trans" style="position: absolute; left: 200px; top: 2884px;"><div class="gtx-trans-icon"></div></div>
<div id="gtx-trans" style="position: absolute; left: 613px; top: 3148px;"><div class="gtx-trans-icon"></div></div>