webnovel

Upon The Small Hill

Mengisahkan mengenai seorang penulis terkenal ibu kota yang melarikan diri dari hingar bingar kota dengan pergi ke sebuah desa kecil. Pada desa tersebut ia bertemu dengan seorang gadis desa yang dapat menggerakkan hatinya. Namun, perang besar pecah pada benua Eurisia. Dua negara besar yaitu Kekaisaran Adlerburg dan Republik Ascarte bertempur memperjuangkan alasannya masing-masing. Sebuah negara kecil nan netral berusaha mempertahankan perdamaiannya di tengah peperangan, hingga invasi dari Kekaisaran Adlerburg membawa mereka dalam peperangan. Sang pemuda pun pergi ke peperangan demi mempertahankan negara mereka dan meninggalkan sang gadis yang menunggunya kembali.

SpringField · War
Not enough ratings
11 Chs

1.1

Kereta api melintasi stasiun demi stasiun, terus bergerak dengan mantapnya menuju bagian timur Liberios. Pemandangan kota yang penuh oleh bangunan tinggi kita telah lama berlalu, berganti oleh ladang gandum luas dan hutan lebat di sepanjang rel kereta api. Eldrich menulis setiap pemandangan yang ia lewati dari dataran rendah ke dataran tinggi penuh tebing terjal hingga terowongan yang gelap, pengap, dan menakutkan.

Banyak banyak kenangan lama datang pada Eldrich ketika ia melihat pemandangan tersebut. Saat ia masih kanak-kanak bermain di timbunan jerami, mencari ikan di sungai kecil, atau berlarian di dekat rel kereta api meski orang bilang hal itu berbahaya. Dia dulu gampang sekali penasaran akan hal baru... dan tidak berubah sama sekali.

Sekali lagi, kereta mulai melambat. Eldrich mengintip melalui jendela yang menampakkan stasiun terakhir berada di depan.

'Akhir dari perjalanan, ternyata.' Ia berkata lirih.

Kereta pun terhenti, penumpang yang tersisa di kereta mulai menurunkan barang bawaannya dan berjalan menuju ke pintu keluar. Eldrich menunggu di belakang mereka, berjalan perlahan mengikuti antrean.

Sesampainya di luar, matanya terbutakan oleh sinar mentari yang bersinar begitu terang. Ia duduk terlalu lama di dalam kereta yang tertutup sehingga matanya belum bisa menyesuaikan diri serta... pantatnya pun terasa amat sakit.

"Mungkin... aku akan mencari makanan terlebih dahulu, makan makanan kereta tidak cukup bagiku."

Berjalan keluar dari stasiun, sebuah papan panjang penuh warna bertuliskan 'Selamat Datang di Friedeland' terpasang tepat di depan stasiun. Di balik papan tersebut, terdapat sebuah taman penuh bunga dengan bangku-bangku yang dipenuhi muda-mudi. Saat matanya mengawasi kota ketika berjalan, jalan raya dipenuhi oleh banyak kereta kuda yang membawa hasil panen.

Friedeland merupakan kota kecil di antara Vleggel dan Agraxia di timur. Kota ini dikenal dengan produk panennya, karena memiliki banyak dataran rendah dengan peternakan serta perkebunan. Setiap hari dari desa di dekat kota, petani membawa hasil panennya ke Friedeland dan produknya dikirimkan ke kota besar dengan kereta api. Hampir 30% produk sayur dan buah Liberios berasal dari Friedeland.

"Makanannya luar biasa, tidak pernah aku mengira bisa memakan Knolkruser seenak ini..."

Eldrich terkaget-kaget sewaktu ia memakan sebuah masakan pada restoran yang ada di dekat stasiun. Padahal ia baru memakan sesuap saja, tapi rasanya sudah cukup membuatnya ketagihan. Apa yang tengah ia makan saat ini merupakan hidangan khas dari Liberios, Knolkruser. Makanannya sendiri terbuat dari kentang yang dikukus kemudian ditumbuk bersamaan dengan sayuran lain seperti lobak, bawang merah, wortel, krim dan rempah lain. Tidak hanya sayur, disini, bahkan ia mendapatkan dua sosis besar, berbeda dengan ibu kota yang tak memasukkan sosis.

"Nah, sekarang sedikit lebih baik. Masalah selanjutnya ialah..." setelah ia selesai menghabiskan makanannya, Eldrich mengambil amplop dari balik sakunya.

"Bagaimana caranya pergi ke kampung halamanku ? Sudah lama sekali aku tidak kesana, aku tak ingat jalannya..."

Dari amplop tersebut terdapat surat yang ditulis oleh ayah Eldrich. Ayahnya tahu mengenai niatnya untuk melarikan diri dari ibu kota, dia pun tidak memaksa Eldrich untuk masuk ke perekrutan karena tahu ia berharga baginya. Bukan sebagai anaknya... namun karena ia penulis terkenal.

"Aku masih tidak menyukai orang tua itu... tapi dia membantuku kali ini." Eldrich menggerutu saat ia berjalan ke kota, tengah mencari tahu lokasi tempat yang dimaksud dalam suratnya.

"Maaf, apakah Anda bisa membawa saya ke Canibya ?"

"Canibya ? Maafkan saya, pak. Belum pernah saya dengar nama tempat tersebut sebelumnya."

Eldrich mulai bertanya pada seorang kusir kuda. Karena lokasinya jauh dari kota, transportasi yang dapat ia pakai adalah kereta kuda. Terkadang di kota-kota terdapat perusahaan transportasi kereta kuda yang dapat mengantarkan orang ke tujuannya. Seperti yang tengah Eldrich tanyai sekarang.

"Di sini tertulis tempatnya ada di tenggara Friedeland."

"Satu-satunya tempat yang ada di tenggara Friedeland adalah ladang bunga, pak. Tak ada tempat seperti desa di sana. Tapi jika tetap ingin saya antar, saya akan antarkan Anda."

Mendengar dari kusir bahwa ia tidak terlalu mengetahui lokasi sebenarnya tempat tersebut, Eldrich ragu untuk menerima tawarannya. Dia tak ingin diantarkan oleh seseorang yang tak tahu jalan, banyak hal buruk dapat terjadi karenanya.

"Tidak perlu, pak. Saya akan mencari yang lain saja."

Pergi dari kusir tersebut, Eldrich kecewa dirinya tidak dapat menemukan cara untuk pergi ke tempat tersebut. Ia hendak menanyai kusir yang lainnya, namun tiba-tiba saja seorang pak tua mendatangi dirinya. Dirinya mengenakan kemeja putih yang kotor oleh tanah, serta topi jerami yang lebar. Eldrich agak kaget ketika didatangi pak tua tersebut.

"Kudengar kamu tengah mencari tempat bernama Canibya."

Bahkan si pak tua ini tidak menggunakan bahasa yang sopan di hadapannya. Tidak enak kupingnya mendengarkan bahasa seperti itu digunakan saat berbicara dengan orang kota, namun, Eldrich menjawabnya karena ia sepertinya tahu tentang tempat yang tengah ia cari.

"Ya, saya tengah mencari tempat bernama Canibya."

"Kalau begitu kebetulan, apa Anda ingin pergi bersama saya ?"

"Maaf ?" tanya Eldrich yang kebingungan mengenai perkataan si pak tua.

"Aku berasal dari Canibya, seorang petani di sana. Aku bisa mengantarkanmu dengan gerobakku."

Eldrich sangat ragu pada orang tersebut karena pakaiannya yang lusuh, tapi ia bilang tahu tempatnya. Bahkan sampai repot-repot mengajaknya untuk pergi ke gerobak si pak tua. Mau tak mau, karena hari sudah mulai sore dia pun mengikuti pak tua tersebut.

"Agak sempit memang, apa kamu tidak apa-apa ?"

"Y-Ya. Kalau begitu, berapa biaya yang Anda minta untuk perjalanannya ?"

"Biaya ? Hah, tak perlu. Naik saja, aku akan membawamu dengan gratis."

"Benarkah ? Terima kasih banyak, sungguh."

Pak tua tersebut hanya tersenyum padanya, lalu menaiki kudanya. Eldrich pun telah menaiki gerobak, berdesakan dengan beberapa barang-barang yang ia beli di kota. Dilihat dari pakaian serta gerobaknya, ia sepertinya seorang petani sayur yang baru saja mengirimkan hasil panennya ke kota. Kini ia kembali lagi ke desa setelah menyelesaikan urusannya dan membeli persediaan lain.

Kereta kuda pun mulai berjalan pergi meninggalkan kota Friedeland. Pada perjalanannya, bisa dibilang Eldrich melewati perjalanan yang jauh lebih buruk dibandingkan saat ia menaiki kereta. Jalannya sangatlah tidak rata, banyak bebatuan di jalan sehingga kereta sering tergoyang. Dirinya yang baru saja makan merasa mual karena perutnya naik turun terus menerus. Namun ia dapat merasa baikan, berkat pemandangan yang dilihatnya. Perut yang mual serta pantatnya yang sakit dapat disembuhkan oleh keindahan padang rumput yang begitu luasnya.

"Darimana kamu tahu tentang Canibya, nak muda ?" Pak tua membukakan mulutnya sewaktu ia tengah mengemudikan kereta.

"Saya... saya dulu tinggal disana sewaktu masih kecil."

"Benarkah ? Hampir separuh orang Friedeland tidak tahu tempat itu kau tahu, karena letaknya berada di belakang bukit."

"Benar... kah."

"Ya. Sungguh mengejutkan menemukan pemuda sepertimu mengenal tempat tinggal kami. Darimana asalmu ?"

"Saya dari..."

BRAK

Kereta kuda terbentur sebuah batu dan melemparkan tubuh Eldrich ke udara, lalu ia jatuh kembali menghantam kayu keras kembali. Semuanya terjadi sangat singkat sehingga Eldrich dibuat kaget, ia merasakan rasa sakit yang tajam dari benturan tadi, menepuk-nepuk pantatnya.

"Maaf, maaf, aku tak melihat batu itu tadi. Jadi, darimana kamu berasal ?"

"Saya datang dari ibu kota, Vleggel." Ucapnya sembari meringis kesakitan.

"Dari ibu kota ?! Sungguh ?!" Pak tua tersebut tiba-tiba saja berbalik padanya, yang membuat Eldrich kaget.

"Ya, saya benar-benar dari ibu kota."

"Sungguh... orang ibu kota sungguhan ! Ini akan jadi berita besar di desa !"

Ia lantas memacu kudanya jauh lebih cepat dari sebelumnya, Eldrich yang tak siap dengan hal tersebut tersentak ke belakang hampir jatuh dari kereta.

'Ia memang orang tua yang sangat ceria.' pikir Eldrich. Tapi dia berharap perlakuan dirinya dapat lebih baik lagi.

Begitu lama mereka menaiki kereta kuda, kini mereka sudah semakin dekat menuju ke Canibya. Sepanjang jalan Eldrich sering menjumpai petani lainnya yang menyapa si pak tua. Kebanyakan dari para petani memiliki rumah tersendiri dengan peternakan sapi dan domba di sampingnya. Bagi orang ibu kota sepertinya yang jarang pergi ke luar, melihat sapi-sapi dalam jumlah banyak sangat menarik perhatian Eldrich. Dia bahkan kagum ketika melihat tanaman jagung yang tumbuh begitu tingginya, sampai-sampai dia tak dapat melihat apapun kecuali tangkainya yang tinggi, berpikiran dirinya tengah berada dalam labirin.

"Maaf membebanimu lagi, nak. Bisakah kamu membantuku mendorong keretanya ? Barangnya mungkin terlalu berat, kita tak bisa menaiki bukitnya."

Seperti kata si pak tua barusan, kudanya terhenti dari lajunya. Seberapa keras ia mencoba untuk naik ke atas, keretanya tak melaju. Sehingga Eldrich pun menaruh kopernya, menuruni kereta. Saat ia menjejakkan kakinya, tanah yang ia pijak berlumpur, mengotori sepatu hitam yang ia kenakan.

'Sialan, padahal ini sepatu terbaruku !' Ia kesal.

"Sekarang, dorong ! Dorong !"

Pak tua yang telah penuh oleh uban tersebut ikut turun dari kuda, ia membantu Eldrich untuk mendorong keretanya di belakang. Mereka berusaha dengan kerasnya, mendorong sekuat tenaga agar kereta dapat terus naik ke bukit. Karena tanah berlumpur setelah musim dingin, rodanya tersangkut pada kubangan.

"Sedikit lagi ! Berjuanglah !"

Terus disemangati oleh pak tua, Eldrich tak mau kalah dengannya. Ia ingin segera sampai di tujuannya, setelahnya merebahkan tubuhnya pada kasur yang empuk. Lengannya gemetaran sebab ia tak pernah melatih fisiknya, mendorong terus kereta kuda sampai akhirnya keluar dari kubangan dan perlahan naik ke atas bukit.

"Kita berhasil, bagi orang ibu kota kau cukup kuat juga."

"Te-Terima... kasih... untuk itu."

Sementara Eldrich masih tersengal-sengal karena capai mendorong kereta, pak tua tersebut kembali lagi untuk menaiki kudanya. Eldrich berjalan di belakang kereta kuda tersebut karena jalannya masih sulit untuk ia tunggangi. Ia melangkahkan kakinya melewati kubangan, tangannya kini telah kotor oleh lumpur sewaktu ia mendorong kereta.

"Baiklah, kita telah sampai nak, di sanalah Canibya berada."

Eldrich berdiri di jalan, matanya terbuka lebar melihat apa yang ada di depannya. Di belakang bukit kecil tersebut, sebuah taman bunga tersembunyi. Setelah musim dingin, datanglah musim semi yang lembut, dimana bunga-bunga bermekaran. Dia tak pernah melihat hal seindah ini dalam hidupnya, bahkan ungkapan kata-kata tak dapat menggambarkannya, ia hanya berdiri di sana... dengan rahang yang terngaga.

Dari jauh ia dapat melihat sebuah desa kecil dengan rumah-rumah kayunya. Dia mengingat betul susunan dari rumah-rumah yang ada di sana, ia mengingat pernah melihatnya. Itu adalah tempat dimana dulu ia pernah berada, saat ibunya masih bersamanya. Dia akhirnya tiba, pada tujuannya.

"Kenapa kau berdiam saja, nak ? Naiklah !"

Dia menggelengkan kepalanya untuk melepaskan kenangan tersebut pergi, melompat kembali ke kereta kuda. Dengan senyum lebar nampak dari mulutnya, ia tak sabar dengan kehidupan baru yang akan ia mulai pada desa tersebut. Mengambil pensil, dia mulai menuliskan sesuatu pada kertas putih bukunya.

Sebuah awal, dari kisahnya.