webnovel

Unfaithful From 2568 KM

Penampilan bukanlah tempat penilaian sikap seseorang, dan hati tidak bisa sepenuhnya dinilai melalui sikap. Terkadang seseorang terlihat biasa saja dalam menghadapi apa yang dia cintai, dan tidak ada yang mengetahui isi hatinya yang sebenarnya. Ibaratkan buah manggis yang nampak gelap dari cangkangnya namun begitu putih, bersih, dan lezat rasa buahnya. Dia sangat mencintaimu, hanya saja dia memiliki cara tersendiri untuk melakukannya. Lalu bagaimana jika di antaranya lupa akan janjinya untuk memeluk erat kembali jiwa yang telah jauh darinya … karena sudah terlanjur jatuh ke dalam pelukan jiwa yang lain? Entah itu teman mereka atau temannya sendiri, yang jelas dia harus benar-benar dilepaskan. Siapa mereka? Siapa yang harus melepaskan, dan siapa yang harus dilepaskan? Biarkan waktu yang mengungkapkan segalanya. “Gue selalu berusaha buat ngisi penuh botol itu. Tapi nyatanya gue gagal.” -Seseorang yang terkhianati

Indriani0903 · その他
レビュー数が足りません
63 Chs

UF2568KM || 39

Pagi ini Rein nampak duduk di depan rumahnya. Ya, dia tidak ada kelas hari ini, jadi ia hanya akan menghabiskan waktunya di rumah saja.

Saat gadis itu meminum sedikit demi sedikit susu hangat yang tengah ia nikmati itu, tiba-tiba telinganya menangkap sebuah suara seperti lonceng kecil yang semakin mendekat.

Tak lama dari itu nampaklah seekor kucing abu dari balik gerbang berlari menuju ke arahnya. Rein tersenyum senang saat ia mengetahui Arbi datang ke rumah pagi ini. Ia membawa kucing itu ke atas pangkuannya dan tangannya terurai untuk mengusap sayang bulu kucing yang terawat itu.

"Arbi makin gendut aja. Berapa hari gak dibolehin keluar sama Barra?" Ya, memang seperti itulah kenyataannya. Jika Arbi sama sekali tidak datang ke rumahnya, itu tandanya Barra tengah mengurung kucing itu di kandangnya.

Arbi menjilati tangan Rein yang tengah membelainya dengan sayang. Sepertinya kucing itu juga sangat merindukan gadis itu.

"Rein?" Haris keluar dari dalam rumah dan ia melihat Rein tengah memangku seekor kucing yang pernah ia temukan juga sebelumnya. "Nah iya, Rein. Ini nih kucing ini yang gue maksud itu. Dia keknya nyaman banget sama lo."

Gadis itu hanya tersenyum menanggapinya. Haris mengambil posisi duduk di samping Rein dan ia juga ikut membelai bulu Arbi. "Ini kucing tetangga?"

"Iya, dia emang suka main ke sini."

"Kucing bagus gini kenapa dibiarin berkeliaran? Gimana kalo misalnya ada orang yang ambil? Sayang pasti. Namanya beneran Arbi, kan? Ini ada tulisannya di kalung dia." Haris menunjuk pada kalung yang terlilit di leher Arbi.

"Iya, Ris. Dia namanya Arbi."

"Mau kucing, gak? Kalo mau, sore ini kita pergi ke pet shop, yu!" Rein menggeleng pelan untuk menolak ajakan dari Haris.

"Enggak, ah. Arbi sering main kok ke sini jadi gue berasa udah punya kucing," ucap Rein yang dibarengi dengan kekehannya di akhir.

"Dih, kucing tetangga padahal."

"Ih, gak papa dong." Saat mereka berdua tengah asik membahas soal kucing, tiba-tiba saja ponsel milik Haris berdering. Haris sempat melihatnya namun ia tidak mengangkatnya.

"Kok gak diangkat? Siapa, sih?" Tanya Rein heran lalu ia berusaha mengambil ponsel itu di tangan pemiliknya.

"Bukan siapa-siapa, kok." Haris menghindarkan ponselnya dari tangan Rein yang berusaha mengambilnya.

Rein memberikan tatapan mengintimidasinya terhadap Haris. Rein tidak akan semudah itu percaya apalagi melihat gelagat Haris yang aneh seperti itu. "Mau ngasih tahu atau enggak?"

"Ngasih tahu apa, sih? Itu bukan siapa-siapa." Setelah itu ponsel Haris kembali berdering dan Rein langsung mengambilnya secara paksa dari tangan Haris.

"Shuhua? Ini cewek yang waktu itu suaranya kedengeran pas kita ngobrol di telpon, kan?" Haris membuang napasnya kasar dan ia kembali merebut ponselnya dari tangan Rein. "Iya, cewek itu. Udahlah gak usah ditanggepin!"

"Ris, lo gak sembunyiin sesuatu dari gue, kan?" Raut wajah Rein mulai nampak serius ketika ia berbicara dengan pria itu.

"Kok gitu ngomongnya?"

"Nah, gak enak kan lo ditanya kek gitu?"

"Kok bales dendam? Ini nih alesannya kenapa gue gak mau angkat. Gue gak mau berantem sama lo karena lo pernah marah-marah sama gue karena cewek itu." Rein menurunkan Arbi yang saat itu berada di atas pangkuannya lalu ia berdiri tepat di depan Haris.

"Jelaslah gue marah! Itu cewek siapa sih sebenernya?"

"Kan udah pernah gue bilang, itu anak dari temennya bokap gue di sana."

"Oh. Terus, keknya kalian deket banget, deh. Pernah ngapain aja sih kalian? Kepo gue tuh. Atau jangan-jangan … sebenernya lo pergi liburan ke Korea waktu juga itu bareng dia?" Haris ikut berdiri dari duduknya dan ia memegang kedua bahu gadis itu.

"Udah ya, Cantik? Gue balik ke Indonesia cuma buat nemuin lo dan bikin kita kembali ngerasain bahagia bareng-bareng. Gue gak mau kita berantem cuma karena hal ini. Gue gak ada hubungan yang spesial sama dia, gue dan dia cuma temenan gak lebih dari itu. Lo harus paham, ya?" Rein sedikit menjauhkan posisinya dari Haris yang kini masih menatapnya.

Mereka berdua sama-sama terdiam dengan posisi yang belum berubah. Keduanya sama-sama kalut dengan pikirannya masing-masing hingga sampai akhirnya Rein kembali mendekat ke arah Haris dan langsung memeluknya erat. Ia menenggelamkan wajahnya pada dada bidang itu dan perlahan demi perlahan isak tangisnya mulai terdengar.

"Gue sayang sama lo, Ris. Gue cinta sama lo. Lo bisa gak sih turutin permintaan gue? Lo jangan pergi jauh lagi dari gue! Gue takut, gue gak mau kalau misalnya di antara kita bakalan ada yang berubah menjadi berbahaya nantinya. Gue gak mau! Gue khawatir sama lo dan gue khawatir sama diri gue sendiri. Jangan pergi lagi ya, Ris? Gue mohon. Gue yakin lo pasti ngerti ini semua emang berat buat kita, terutama buat gue."

Haris terdiam, apa yang harus ia katakan padanya? Ia tahu ia tidak dapat mengabulkan permintaan dari gadis itu karena misinya belum bisa ia selesaikan untuk kembali dan menetap di negara ini.

"Rein … maaf, ya. Semua permintaan lo bakal gue lakuin, tapi maaf gue gak bisa untuk yang satu ini. Gue pergi jauh juga buat lo, karena lo, demi lo. Lo yang sabar aja, duduk manis, dan tunggu gue! Itu aja. Lo gak perlu mikirin yang enggak-enggak tentang kita, kita masih tetep bisa bahagia walau kita berjauhan."

"Buat gue apanya, Ris? Apa yang lo lakuin di sana buat gue? Gue gak mau gini konsepnya, gue nolak buat kita jauhan kek gitu lagi gue gak mau." Rein menatap Haris dengan air matanya yang semakin berurai.

"Rein, gue yakin lo pasti bakal ngerti nanti." Mendengar itu Rein langsung kembali menjauhkan dirinya dari Haris.

"Haris … kok lo jahat banget, sih? Suka banget bikin gue nangis. Lo gak tau aja gimana keadaan gue selagi lo gak ada."

Setelah mengatakan itu Rein langsung masuk ke dalam rumah dan pergi menuju kamarnya. Haris sengaja tidak mengikutinya, ia hanya akan memberikan waktu untuk Rein merenungkan semuanya. Ia tahu, jika ia menyusul gadis itu ke kamarnya mereka pasti akan bertengkar lebih panjang lagi nantinya dan semuanya akan terasa semakin rumit.

• • •

"Rein …?" Haris mengetuk-ngetuk pintu kamar Rein. Gadis itu belum keluar dari kamarnya setelah insiden tadi pagi dan otomatis dia telah melewatkan makan siangnya. "Rein buka pintunya dong, Sayang!"

Haris sama sekali tidak mendapatkan responan darinya. Ia tidak akan pergi sebelum gadis itu mau keluar dari dalam kamarnya. Ia khawatir gadis itu akan sakit nantinya karena dia telah melewatkan jam makannya. "Rein ayo dong udahan ngambeknya! Jangan bikin Haris khawatir kek gini, ayo buka dulu pintunya! Iya deh Haris yang salah, Haris minta maaf."

"GAK! LO PERGI AJA SANA! PERGI JAUH-JAUH DAN GAK USAH BALIK BUAT NEMUIN GUE LAGI!" Haris sedikit tersentak ketika ia mendengar teriakan Rein dari dalam sana.

"Ok gue pergi, jaga diri lo baik-baik, ya? Gue sayang sama lo, Rein. Besok pagi jangan nyari gue kalo misalnya gue gak ada lagi di sini karena lo yang minta gue buat pergi. Sekarang juga gue bakal urus semuanya buat keberangkatan gue besok pagi."

Suasana seketika hening, tidak ada lagi suara Haris, tidak ada lagi ketukan terhadap pintu kamarnya. Rein semakin menenggelamkan wajahnya pada bantal yang telah basah dengan air matanya.

"Jahat lo, Ris. Lo jahat …! Lo emang gak bisa ngertiin perasaan gue. Kadang gue pengen nyerah aja sama semua ini, gue beneran capek sama ketidakpekaan lo itu yang gak bisa sama sekali lo rubah dari dulu."

•To be Continued•