webnovel

Unfaithful From 2568 KM

Penampilan bukanlah tempat penilaian sikap seseorang, dan hati tidak bisa sepenuhnya dinilai melalui sikap. Terkadang seseorang terlihat biasa saja dalam menghadapi apa yang dia cintai, dan tidak ada yang mengetahui isi hatinya yang sebenarnya. Ibaratkan buah manggis yang nampak gelap dari cangkangnya namun begitu putih, bersih, dan lezat rasa buahnya. Dia sangat mencintaimu, hanya saja dia memiliki cara tersendiri untuk melakukannya. Lalu bagaimana jika di antaranya lupa akan janjinya untuk memeluk erat kembali jiwa yang telah jauh darinya … karena sudah terlanjur jatuh ke dalam pelukan jiwa yang lain? Entah itu teman mereka atau temannya sendiri, yang jelas dia harus benar-benar dilepaskan. Siapa mereka? Siapa yang harus melepaskan, dan siapa yang harus dilepaskan? Biarkan waktu yang mengungkapkan segalanya. “Gue selalu berusaha buat ngisi penuh botol itu. Tapi nyatanya gue gagal.” -Seseorang yang terkhianati

Indriani0903 · Others
Not enough ratings
63 Chs

UF2568KM|| 38

"… Rein, lo gak sembunyiin sesuatu dari gue, kan?" Mendengar itu Rein langsung menatap tak percaya ke arah Haris, bibirnya sedikit terbuka. Ia tidak percaya jika pria itu akan berkata demikian.

"L-lo nuduh gue? Lo gak percaya sama gue?" Rein masih belum mengalihkan tatapannya dari Haris. Haris yang melihat wajah Rein yang seketika nampak kecewa pun menjadi merasa bersalah.

"Rein gu-gue gak ada maks-"

"Lepas, Ris!" Rein menghempaskan tangan Haris yang memegangnya. Ia langsung berlari menaiki tangga untuk pergi ke kamarnya dan meninggalkan Haris yang masih terdiam di tempat itu.

Haris menghela napas berat, ia kembali memikirkan apa yang telah dikatakannya sehingga ia membuat gadis itu marah padanya.

"Sial, salah ngomong kan gue."

"Apa, sih?" Tiba-tiba Rendi muncul dari arah dapur dengan secangkir kopi yang ia bawa di tangannya. Pria yang lebih dewasa itu menepi ketika ia melihat Haris terdiam di sana dengan umpatannya. "Apanya yang salah ngomong?"

"Rein marah sama gue, Bang."

"Karena? Kalian bukannya baru balik, ya?" Melihat Haris tidak meresponnya sama sekali, Rendi menepuk bahu Haris dan ia berlalu begitu saja.

Setelah Rendi pergi, Haris melihat deretan anak tangga yang ada di hadapannya seraya memikirkan haruskah ia pergi menyusul gadis itu ke kamarnya?

Rein mengunci pintu kamarnya agar tidak ada seorangpun yang masuk ke dalam. Ia sedang tidak ingin diganggu saat ini, entah kenapa rasanya hari ini ia begitu emosional.

"Iya, Ris, gue nyembunyiin sesuatu dari lo. Walau gue sama Barra gak ada hubungan yang spesial sama sekali, tapi gue tetep takut kalau misalnya lo tau gue sedeket apa sama dia. Lo pergi terlalu lama, Ris, dan lo udah berhasil ngebuat gue nyaman dengan yang lain karena kepergian lo itu, lo yang jarang ngasih kabar ngebuat gue bosen nungguin lo lama-lama."

Saat gadis itu tengah kalut dengan pikirannya sendiri, tiba-tiba ponselnya yang ia letakan di atas nakas bergetar menandakan adanya panggilan yang masuk. Dengan segera ia meraih benda pipih miliknya itu untuk melihat siapa yang menghubunginya malam ini.

"Barra?" Ia bergumam kecil sebelum ia menggeser tombol hijau itu ke atas. "Hallo?"

"Rein, tadi gue ke rumah tapi lo gak ada." Rein terdiam ketika ia mendengarnya, seketika ia teringat akan ibunya. Seperti hal ini yang ingin disampaikan oleh ibunya tadi. "Rein, kok lo diem?"

"Lo mau apa ke rumah?" Barra tersenyum di seberang sana.

"Kok nanya? Bukannya gue udah biasa datang ke rumah lo, ya? Bahkan tanpa gue kabarin juga lo biasanya fine fine aja." Rein menghela napas panjang seraya ia memijat pelipisnya.

"Masih ada Haris, lo jangan ke sini dulu!"

"Haha, berasa lagi nyembunyiin selingkuhan ya. Keknya gak papa deh kalo misalnya gue ketemu terus kenalan sama dia." Lagi-lagi gadis itu memutar bola matanya jengah. Tentu saja ia tidak setuju jika harus seperti itu.

"Gak bisa Barra, gak boleh! Entar dia pasti bakal nanya-nanya banyak sama gue. Entar gue jelasin ke dianya gimana? Lo sendiri juga tau kan gue orangnya kek gimana? Gue pasti bakalan keliatan gugup banget kalo misalnya gue lagi boong. Lagian ngapain lo mau ke sini? Bukannya lo sendiri yang bilang kita harus jaga jarak dulu, ya?"

'Tok Tok Tok'

Rein langsung memutuskan sepihak sambungan teleponnya bersama Barra ketika ia mendengar pintu kamarnya diketuk oleh seseorang dari luar sana.

"Siapa?"

"Ini gue." Rein nampak berpikir dulu untuk membukakannya atau tidak. Dia sedang tidak ingin bertemu dengan Haris karena masalah tadi Haris yang mengungkapkan rasa kecurigaanya terhadapnya. Walau memang ada benarnya, tapi Rein merasa kesal pada Haris karena ia berpikir bisa-bisanya pria itu berpikir sampai ke sana. "Rein buka dulu dong, Sayang. Udahan ngambeknya ayo!"

"GAK! PERGI SANA!!!" Teriak Rein dari dalam sana.

"Jangan gitu dong, ayo keluar dulu! Kalo enggak, gue dobrak nih pintunya." Haris belum menyerah sampai sana, ia masih berbicara dengan sabarnya pada Rein.

"DOBRAK AJA! ENTAR KALO PAPIH NGAMUK GUE ANGKAT TANGAN." Haris membuang napasnya kasar. Ia sedikit memundurkan posisinya dan menatap pintu bercat putih yang kini ada di hadapannya itu.

"Gue itung sampe sepuluh. Kalo lo gak bukain juga, besok pagi gue bakal balik lagi ke Hong Kong. Satu …,"

Mata Rein membola. Harus seperti itu ya ancaman yang diberikannya? Gadis itu menghela napas panjang dan ia mengacak rambutnya frustasi. "Enam …,"

"Masa iya banget dari 5 hari jadi cuma 2 hari? Haris bener-bener, ya." Mau tak mau Rein langsung berjalan mendekati pintu kamarnya dan ia pun membukannya. "Udah kebuka. Puas?!"

"Galaknya gak pernah ilang. Sini dong sini, jangan nunjukin muka marah lo itu! Lo ngerasa diri lo kek singa tapi lo di mata gue itu kek kucing tau gak? Mending sini dulu duduk sama gue!" Haris menarik Rein menuju sofa yang tak jauh dari tempat mereka berdiri. Rein masih enggan untuk bertatapan dengan pria itu, wajahnya masih terlihat kesal. "Gue percaya kok sama lo, gue minta maaf ya, maaf udah ngomong kek gitu tadi."

Rein terus menyingkirkan tangan Haris yang berusaha untuk menggapai tangan cantiknya. "Udah dong marahnya, kan udah minta maaf."

"Dih, masalahnya udah gue maafin apa belum? Gak usah percaya diri dulu deh!"

"Ya harus dimaafin dong, Rein kan sayang sama Haris."

"Bodo!" Haris terkekeh lalu kedua tangannya menangkup kedua pipi Rein dan membuat gadis itu berhadapan wajah dengannya. "Tau kok udah dimaafin," ucapnya dengan sedikit berbisik.

Rein hanya mampu menatap manik hitam pria itu dengan jarak yang sangat dekat. Tak lama dari itu ia dapat merasakan sesuatu telah mendorong tengkuknya yang memberikan jarak di antara wajah mereka semakin dekat hingga sampai pada akhirnya …,

"Heh! Dosa bego! Gue aduin papih nih biar langsung dinikahin aja sekalian. Nakal bener ya bocah zaman sekarang, heran." Rein dan Haris saling memberikan jarak terhadap posisi mereka setelah terdengar ada sebuah suara yang menginterupsi mereka berdua.

Di sana Rendi berdiri di depan pintu kamarnya seraya berkacak pinggang menatap ke arah mereka berdua. "Kalo mau, di kamar aja sono!"

"Beneran, Bang?" Rein menyikut lengan Haris dan memberikan tatapan seakan ia menyuruhnya untuk diam. Ya, Haris hanya bercanda saja maksudnya.

'Fiks, Haris begonya gak sembuh-sembuh.'

"Iya boleh. Tapi, entar lo pulang pulang ke Hong Kong dengan keadaan lo yang udah gue mutilasi. Mendingan lo berdua tidur sono! Dah malem, bukannya istirahat malah mau macem-macem. Awas aja ya lo berdua berbuat aneh-aneh! Gue pisahin lo berdua, gak bakal lagi gue kasih restu ma lo berdua. Paham?! Gak boleh nakal kalo gak mau gue pisahin!" Rendi masih dengan ancamannya terhadap mereka berdua.

"Iya Kak/Bang." Setelah itu Rendi langsung turun ke bawah untuk mengambil air putih. Ya, itulah alasan yang sebenarnya mengapa Rendi tiba-tiba keluar dari kamarnya dan ia tidak sengaja melihat mereka.

"Lo, sih!" Rein memukul paha Haris yang ada di sampingnya.

"Iya deh iya deh salah gue, gue khilaf soalnya bibir lo ngegoda banget. Sekarang lo tidur, ya? Istirahat." Rein mengangguk mengiyakan ucapan Haris dan ia pun langsung berdiri dari duduknya.

"Selamat malam, Haris."

"Selamat malam."

Gadis itu mulai berjalan untuk kembali masuk ke dalam kamarnya. Setelah ia sampai, ia menutup pintunya terlebih dahulu dan ia mematung sejenak di baliknya dengan tangannya yang ia letakan di dadanya.

"Gue deg-degan banget. Kirain kak Rendi bakalan marah banget, hhh … segitu juga udah serem sih. Tapi gak papa deh, kak Rendi emang sayang banget sama gue makanya dia kek gitu. Haris sih ah, gila banget. Bisa-bisanya dia kek gitu, nikahin dulu sini kalo berani! Biar bisa bebaskan, ya."

Rein merinding baru memikirkanya saja. Ia segera menepis semua yang ada di dalam pikirannya dan ia pun langsung menuju kasurnya untuk beristirahat malam ini.

Sedangkan di luar sana, Rendi nampak baru kembali dari bawah dengan segelas air putih di tangannya. Haris yang belum turun ke bawah langsung menghampiri pria yang lebih dewasa darinya itu.

"Bang, gue tidur bareng lo, ya? Semalem gue gak bisa tidur di bawah."

"Kenapa? lo takut ya? Kamar itukan emang udah lama banget dikosongin." Rendi menyeringai ke arah Haris yang membuat pria yang lebih muda darinya itu bergidik ngeri.

"Pantes aja hawanya beda anjir. Gue tidur ma lo ya, Bang."

"Terserah lo, dah." Rendi masuk terlebih dahulu dan disusul oleh Haris di belakangnya.  Rendi meletakan terlebih dahulu air minumnya kemudian ia menghampiri Haris yang kala itu sedang terduduk di atas tempat tidur.

"Bro, lo pengen sampe nikah sama adek gue, kan? Jaga dia baik-baik dan jangan sampe lo rusak karena dia adalah satu-satunya berlian di keluarga ini."

•To be Continued•

Gak bisa tidur jadi yaudah deh daripada bengong mending lanjutin aja. Udah pukul 02:55 nih, masih ada yang melek? Cerita ini gimana sih menurut kalian? Keknya selama ini sepi banget ;)

Aku masih pemula, kalo ada kesalahan tolong kasih tau, ya? Asli, itu bermanfaat banget buat aku :)

Ok deh, enjoy semuanya.

Babayyyyy

Indriani0903creators' thoughts