Di lain tempat, Nakula baru saja terbangun dari tidur nyenyak. Pria itu meraba sisi lain dari ranjangnya, mencari keberadaan Liffi. Merasa tak mendapati sosok kekasihnya, Nakula langsung terduduk.
"Aauch!! Kepalaku!" Nakula merasa kepalanya masih sedikit pening dan berat.
Nakula melirik ke arah jam dinding, pukul 10 pagi. Liffi pasti sudah bangun dari tadi, di mana gadis itu sekarang? Ia pasti merasa asing berada di rumah milik keluarga West ini. Tanpa menunggu lagi, pria itu bangkit dan menuruni ranjang. Mencari keberadaan Liffi.
"Anda sudah bangun, Tuan." Seorang maid terperangah saat tiba-tiba pintu kamar Nakula terbuka sebelum ia sempat mengetuknya. Pelayan itu membawakan air, makanan, dan juga pakaian bersih.
"Di mana Liffi? Di mana gadis yang bersamaku semalam?" tanya Nakula.
"Oh, Nona Liffi sudah kembali ke rumahnya, Tuan. Ia berpamitan karena ada kuliah pagi ini. Nona berpesan untuk tidak membangunkan Anda."
"Siapa? Siapa yang mengantarkannya pulang?" desak Nakula. Pelayan itu hanya menggelengkan kepalanya tanda tidak tahu.
"Aku, aku yang mengantarkannya pulang, Naku. Kau bisa tenang!" Emily tiba-tiba muncul. Ia mengarang alasan agar Nakula tidak curiga kalau Liffi tengah bersama dengan Sadewa saat ini.
"Ah, begitu." Rasa ingin tahu Nakula mereda.
"Beristirahatlah, Naku. Aku harus pergi, tuan Sadewa pasti sedang mencariku." Emily hendak pamit. "Oh, iya, aku sudah menyiapkan sopir bila kau ingin pulang ke apartemen."
"Aku akan menemui Daddy terlebih dahulu." Nakula menyahut pakaian bersih dari tangan maid dan bergegas kembali ke dalam kamar. Ia harus memastikan sesuatu.
Tak lama, setelah menikmati sarapan. Tubuh Nakula merasa lebih segar, semalam ia hanya sedikit bertukar jiwa dengan Liffi karena gadis itu tak punya cukup kekuatan untuk menyembuhkan dirinya.
"Dad!" Nakula masuk tanpa mengetuk pintu dan meloncat ke atas sofa.
Kaca mata Gin sedikit melorot saat pria paruh baya itu mengamati kelakuan anaknya. Nakula meringiskan bibir, menyuguhkan sebuah senyuman, mencoba membentuk situasi santai di tengah situasi tegang yang terjadi pada kaum mereka saat ini.
"Kau merasa sudah lebih baik?" tanya Gin.
"Sudah, hanya luka kecil." Nakula beralih untuk duduk di depan sang Ayah.
"Apa yang ingin kau tahu, Naku?" Gin sudah bisa membaca gelagat anaknya. Ia tak akan datang menemui Gin bila tak ada sesuatu yang mengganggu pikirinnya, sesuatu yang butuh untuk di jawab.
"Sadewa sudah berhasil berubah menjadi wujud serigala. Siapa matenya? Kenapa aku tak pernah melihat Sadewa bersama seorang wanita? Apa dia berubah tanpa mate?" cerca Nakula panjang lebar.
Gin melepaskan kaca matanya dan melipat tangan di depan dada. Ia menggaruk ringan dahinya padahal tidak gatal. Gin juga sedang memikirkan hal itu, mengapa Sadewa tak kunjung membawa matenya pulang ke mension keluarga.
"Sadewa sudah bertemu dengan matenya, Naku. Tapi dia memang belum membawanya pulang kemari." Gin menjawab ala kadarnya.
"Kau bilang mate tak terpisahkan?!"
"Memang benar, tapi entah kenapa Sadewa belum membawanya kemari. Kau sendiri bagaimana? Apa masih bersama dengan Pet mu?"
Nakula tak bisa menjawabnya. Ia hanya terdiam. Sampai detik ini Nakula masih merasa Liffi adalah matenya, bukan pet. Tapi Liffi benar-benar tak pernah memberinya kekutan. Nakula juga ingin berubah, sama seperti kembarannya Sadewa.
"Oh, ya Naku. Ada yang ingin Daddy tanyakan padamu."
"Apa?"
Gin mengeluarkan sebuah selongsong peluru dari dalam laci meja. Inisial huruf 'Y' terukir indah pada permukaannya. Terbuat dari perak, benda kecil itu bungkus dengan plastik case. Tangan Gin mendorong plastik itu ke depan Nakula.
"Kau tahu sesuatu tentang hal ini?" tanya Gin.
"Peluru perak? Siapa yang tidak tahu tentang peluru perak?" Nakula mengamati peluru itu, bukankah semua werewolves tahu bahwa perak adalah kelemahan mereka?
"Maksudku, apa kau tahu siapa orang yang menggunakan peluru itu? Di mana orang itu saat ini?"
"Wogh wogh ...! Easy Dad!! Satu-satu," sahut Nakula.
"Aku tak tahu siapa yang menggunakan peluru ini." Nakula menggeleng.
"Tidak mungkin, peluru ditemukan pada kepala serigala wanita dari pack Laka. Bersarang tepat di tengah otaknya." Gin memberikan petunjuk, bukankah Nakula yang melawan keduanya saat itu.
Inisil Y? Mungkinkah? pikir Nakula dalam hatinya, ia teringat Yoris membunuh sendiri aliansinya demi melindungi Liffi. Hei, apa hubungan paman Yoris dengan Liffi!! Nakula mendadak sadar akan sesuatu. Pria tua itu sepertinya mengenal Liffi.
"Naku, katakan padaku!! Apa kau mengenalnya? Namanya Yoris." Gin tampak gusar.
"No, Dad. Aku hanya membunuh salah satunya." Nakula bergeleng lagi. Mencoba lebih menghayati kebohongannya.
"Shit!! Padahal sudah sedekat ini." Gin menggebrak mejanya, retakkan besar muncul.
"Kenapa kau masih ingin mencarinya, Dad? Nera meninggal puluhan tahun yang lalu."
"Aku tak akan beristirahat dengan tenang bila tidak membunuh pria itu dengan tanganku sendiri, Naku. Sudah bertahun-tahun aku mencari keberadaannya. Regina sempat membuatku kehilangan jejak Yoris karena ia mengandung kalian dan terus menghalangiku pergi mencari Kakaknya." Gin menerawang kosong, memikirkan masa lalunya membuat Gin kembali kesal.
"Apa kau membenci Mom karena Kakaknya membunuh matemu?" tanya Nakula.
"Yah, begitulah."
"Jadi kau mengusir Mom bukan karena dia punya dua orang anakkan?" Nakula mendera Ayahnya dengan pertanyaan. Regina selalu menganggap kelahiran Nakula adalah alasan Gin mengusirnya dari pack West.
"Tentu tidak, Naku. Untuk apa aku membencinya karena memberiku dua orang anak. Aku hanya tak bisa melihat wajahnya karena aku selalu teringat pada Kakaknya dan dendamku terus membara. Mana mungkin aku membiarkan anak-anakku tumbuh dengan melihat ayahnya menolak ibunya karena dendam. Padahal saat itu aku tahu, semua bukan salah Regina, namun tetap saja, hatiku terluka karena kehilangan Nera." Gin mengusap rambutnya yang mulai memutih.
Nakula menatap nanar pada sang ayah, hatinya bagaikan teriris-iris dengan pisau yang tajam. Regina selalu menghajarnya, munuduh Nakula yang telah membuatnya terbuang. Andai saja Gin bisa lebih jujur pada Regina. Atau andai saja Gin bisa menerima keberadaan Regina, mungkin Nakula tak akan pernah merasakan neraka hidup itu. Dan mungkin Regina tak akan terbaring diantah berantah, membujur kaku dengan beribu penyesalan dan rasa kesepian.
"Aku akan membawa kepala Yoris untukmu, sebagai gantinya kau harus memberikan penguburan yang layak pada ibuku!" Nakula menggenggam tangannya menahan amarah.
"Regina sudah mati?" Gin terperangah.
Nakula tidak menjawab, dia pergi begitu saja dari ruang kerja ayahnya. Nakula ingin mengembalikan kehormatan ibunya, setidaknya Nakula bisa memberikan sedikit cinta yang tak pernah bisa diberikan oleh sang ayah.
ooooOoooo