webnovel

2. PANDANGAN YANG SAMA.

Pukul sepuluh malam, jemari Calista masih menari di permukaan keyboard laptop, wanita itu masih sibuk mengerjakan tugas kantornya sekalipun rasa kantuk mendesak agar Calista berhenti, selama pikirannya masih terpaut dengan urusan kantor, maka ia tak bisa tidur tenang. Sedangkan makhluk kecil nan tampan terlelap begitu nyenyak di belakang sang ibu beserta selimut yang membelit tubuhnya, Calista menyediakan kamar sendiri untuk Ardio, tapi bocah kecil itu memang lebih suka tidur dengan sang ibu setelah parno hanya karena teman di sekolahnya menakuti Ardio dengan sosok hantu kertas ala Spongebob yang suka muncul di jendela kamar.

Ponsel yang tergeletak di nakas terus menampilkan layar yang menyala saat sebuah panggilan masuk terjadi, tapi tak mengusik Calista sama sekali—setelah silent mode diaktifkan, ia tak tahu kalau nama Ardan tertera di layar ponselnya malam-malam begitu.

Calista kembali menguap lebar, ia menoleh pada gelas berisikan kopi yang sempat dibuatnya sebelum masuk kamar setengah jam lalu, pasti kopi yang tergeletak di laci sebelah kanan ranjang itu sudah dingin setelah dilupakan oleh pembuatnya.

Calista beranjak turun, ia meraih gelas kopi itu  dan meneguk isinya hingga sisa setengah, Calista mengusap sisa air kopi dengan ibu jarinya sebelum mengalihkan tatapan pada ponsel di nakas yang masih saja menyala terang.

"Kenapa itu?" Calista meraih ponselnya, saat ia hendak mengangkat panggilan itu, ternyata sudah lebih dulu diakhiri oleh nomor Ardan. "Kenapa dia malam-malam telepon?" Kali ini terdengar suara klakson mobil di luar rumah Calista, buru-buru wanita itu beranjak keluar kamar dan menghampiri pintu utama yang terkunci rapat, Calista sampai pontang-panting menyalakan lampu rumah hingga semuanya terang-benderang.

Calista memutar kunci hingga pintu utama dapat dibuka, wanita itu keluar dan mendapati mobil hitam menepi di dekat gerbang rumahnya. Calista familier dengan mobil itu—mobil sama yang sering ia tumpangi dulu—dua tahun lalu sebelum perpisahan mereka benar-benar terjadi.

Calista mengembuskan napas panjang seraya melangkah menghampiri gerbang, sosok Ardan tampak berdiri menunggu di balik gerbang.

"Buat apa Ardan malam-malam ke sini," gumam Calista yang hanya mengenakan piyama panjang serta hijab simple.

Wanita itu membuka gerbang dan mendorongnya sedikit hingga tubuh mungilnya bisa keluar. Ia bersidekap menatap Ardan yang kini tersenyum simpul.

"Maaf, hape saya silent, jadi nggak tahu kalau kamu telepon," ucap Calista membuka percakapan, sikapnya selalu biasa saja, dan Calista tak pernah menyimpan dendam sedikit pun pada Ardan meski sakit hati pernah begitu mengganggu hidupnya.

"Nggak apa-apa, saya juga yang salah malam-malam hubungi kamu, ganggu istirahat kamu."

"Oh, enggak kok. Saya lagi kerjakan tugas kantor, ada apa memangnya malam-malam ke sini? Istri kamu memang izinkan suaminya pergi selarut ini?" Calista melihat ke arah mobil dan tak menemukan siapa-siapa, Ardan memang sendirian.

"Saya belum pulang ke rumah kok, ini baru lembur juga di kantor. Saya mau ketemu Dio, udah tidur ya?"

Calista mengangguk. "Besok lagi aja, sekarang juga udah malam. Kalau ada tetangga tahu, nggak enak di saya, nanti mereka mikir macam-macam ada laki-laki masuk rumah saya malam begini."

"Tapikan saya—"

"Bukan siapa-siapa lagi sekalipun kamu ayahnya Ardio, paham?" Calista memperingatkan posisi Ardan sekarang, yang jelas bukan di sampingnya lagi, tapi sangat jauh di belakang dan tak mungkin dijangkau Calista.

Ardan menghela napas panjang, ia kembali dihadapkan pada kenyataan kalau mereka hanyalah sebatas mantan suami istri, bukan lagi sepasang, apalagi sekarang Ardan sudah memiliki istri baru sesuai keinginan Maya, sesuai skenario yang Maya siapkan sejak lama.

"Iya, saya paham. Maaf kalau ganggu malam kamu, kalau begitu ... saya langsung pulang sekarang."

"Silakan." Calista menatap keadaan sekitar, komplek tempat tinggalnya memang sudah sepi jika menemui jam-jam tersebut, sebab kebanyakan dari mereka yang tinggal di tempat ini adalah pekerja kantoran seperti Calista, jika sudah pulang—maka istirahat adalah sesuatu yang paling diutamakan. Hanya saja, Calista memang bukan wanita yang suka meninggalkan tugasnya, apalagi besok deadline.

"Oh ya, lain kali jangan mengandalkan satpam komplek yang cuma keliling sebentar. Kamu cuma berdua sama Ardio, mending sewa satpam khusus buat di rumah," ujar Ardan tampak tenang, tapi tak mengurangi rasa khawatirnya.

"Iya, nanti saya pikirkan lagi."

Mantan suaminya itu bergerak masuk ke mobil dan duduk di balik kemudi, setelahnya lampu sen menyala sebelum kendaraan roda empat tersebut melaju meninggalkan kediaman Calista.

***

Calista turun dari mobilnya tepat di parkiran kantor tempatnya bekerja, Calista adalah wanita karier di bidang public relation yang mengurus segala hal terkait komunikasi, baik dalam atau luar perusahaan. Tugas seorang public relation adalah memastikan kalau citra perusahaan di mata masyarakat tidak buruk.

Wanita itu menghampiri beranda kantor, Pak Bagas—satpam kantor yang bertugas shift pagi membukakan pintu kaca tebal untuk Calista.

"Selamat pagi, Bu Calista," sapa Pak Bagas seraya menyungging senyum, melihat Calista yang selalu berhijab membuat arah pandang Pak Bagas enggan beralih dari wanita itu, look dari seorang Calista memang begitu meneduhkan, siapa pun yang melihatnya—selalu merasa tenang, inner beauty yang muncul dari diri Calista memang cukup kuat.

"Pagi, Pak Bagas. Teman-teman saya udah datang semua belum ya?" Wanita itu mengedarkan pandang ke area lobi, beberapa orang berlalu-lalang, tapi tak ada teman-temannya di antara mereka.

Pak Bagas menerawang. "Kalau Mbak Aulia sih udah masuk tadi, Bu. Mungkin udah di kubikelnya."

"Oh gitu, saya permisi dulu."

"Silakan."

Calista melangkah menghampiri lift, ruang kerjanya ada di lantai tujuh, tapi kali ini ia menekan tombol nomor lima—lantai tempat kubikel Aulia berada. Wanita itu membawa dua tote bag berisikan bekal yang dibuatnya sendiri saat di rumah, Calista memang jarang sekali memesan makanan siap saji atau di kafetaria kantor.

Tepat setelah keluar dari lift, tatapannya bertemu sejenak dengan sosok yang pernah ditemuinya beberapa waktu lalu ketika berbelanja dengan Ardio, sosok sama yang sempat ditubruk Ardio saat bocah itu berlarian sendiri sampai membuat Calista kesal.

Calista melangkah melewati pintu lift, tatapan mereka masih sama-sama menghunjam, pria berjas abu-abu tersebut mengamati Calista dari ujung kaki hingga kepala, apa yang menempel di tubuh Calista beserta inner beauty wanita itu terpancar jelas, membuat orang lain piawai terpaku dan enggan mengalihkan pandang.

"Pagi, Pak Anton," sapa Calista pada atasannya yang berdiri di sisi pria berjas abu-abu tadi.

"Pagi, Calista. Mau ke tempat siapa? Kok di lantai lima?" tanya Anton basa-basi, sejujurnya ia juga menaruh rasa pada Calista meski memiliki seorang istri sekalipun, mata laki-laki memang tak bisa menipu, sekali lihat yang bening-bening langsung terhanyut seolah serangga yang masuk kantong semar dan terus terjebak di sana.

Calista mengangkat tote bag di tangannya. "Ini, saya mau antar satu bekal saya buat Aulia, dia tadi pagi whatsapp minta dibawakan bekal buatan saya, Pak. Kalau begitu, permisi ...." Calista melenggang pergi seraya tersenyum tipis, ia tak memedulikan sosok yang masih bergeming menatapnya tanpa kedip.

"Woy! Kesurupan lo!" Anton terkekeh setelah menepuk bahu Dylan yang sejak tadi masih menatap kepergian Calista, aroma parfum lembut wanita itu terus membaui indra penciuman Dylan.

"Dia siapa? Kerja di sini?" tanya Dylan to the point.

"Yang tadi? Calista, iya dia public relation perusahaan ini. Mantap, kan? Langsung naksir ya."

Dylan menoyor kepala Anton. "Biasa aja, cuma ... pernah ketemu beberapa hari lalu, pas dia sama anaknya keluar supermarket."

"Oh gitu, dia janda, Bro."

"Jan-da?" Dylan mengulang dialog Anton tadi.

"Iya, janda paling cantik di kantor ini, udah dua tahun jadi janda sejak cerai sama Ardan. Kalau si Ardan dulu rekan bisnis gue juga, cuma udah pindah kantor."

"Oh gitu, tapi ... menarik juga sih." Dylan tersenyum sendiri mengingat tatapan Calista tadi yang teramat meneduhkan.

"Naksir ya, nggak cocok lo sama dia, kalian beda banget, Bro." Mestinya Dylan memahami maksud perkataan Anton tentang apa itu 'perbedaan'.

Dylan mengangguk, ia tahu ke mana arah percakapan Anton barusan. "Gue langsung pergi ya sekarang." Dylan menekan tombol lift hingga pintu terbuka, laki-laki itu masuk dan meninggalkan Anton yang melambai tangan padanya.

Siapa tadi? Calista, Calista, Calista. Dylan sibuk merapal nama Calista dalam benaknya, ia kembali tersenyum penuh arti.

Melihat wanita itu lagi membuat memori Dylan tentang pertemuan pertama kali mereka di area parkir supermarket tempo hari bak ombak nan bergulung cepat menghampiri, tak disangka pertemuan singkat mereka ternyata belum berakhir, dan hari pertamanya datang ke kantor sang ayah justru mendapat reward nan begitu menarik.

Pintu lift terbuka di lantai utama, langkah kaki Dylan membawa raganya keluar dari sana, pintu tertutup otomatis. Namun, baru beberapa langkah ia maju—tubuhnya kembali memutar menatap pintu lift, ia seperti kebingungan. "Gue mau ngapain ya?"

Ia berpikir sejenak, tapi setelahnya mendesah karena merasa isi pikirannya mulai kacau hanya karena mengingat nama seseorang tiada henti. "Itu si Calista kenapa sih, kok gue jadi bingung." Senyum kecilnya terbit, ia mendesah merasa konyol atas sikap semrawutnya saat ini. Dylan berusaha menekannya pergi.

Hanya saja sikap anehnya kembali muncul saat Dylan hendak keluar dari lobi, tanpa ia pikir lebih dulu laki-laki 28 tahun tersebut memutar tubuh dan bergerak menghampiri lift kembali seraya mengarahkan ponsel ke telinga usai mendial nomor Anton, padahal mereka sudah bertemu tadi. "Oh ya, gue ada yang kelupaan, boleh gue ke ruangan lo lagi kan?"

***