webnovel

47

Pesan suara itu kuputar berulang-ulang.

Suaranya menggunakan penyaring suara. Tidak jelas suara laki-laki atau perempuan. Bahkan tidak bisa dipastikan suara manusia atau bukan.

Siapa ini? Apakah orang yang sama dengan yang mengirimiku pesan tentang 9/11? Apa tujuannya menghubungiku?

Kuhubungi balik nomor tersebut.

"Nomor yang Anda tuju tidak terdaftar..." begitu suara yang kudengar.

Kubanting ponselku. Untung saja ia mendarat di kasur. Seketika aku menyesal karena mengabaikan telepon tersebut tadi. Jika saja kuangkat, mungkin aku bisa berbicara dengan orang ini.

Esok paginya pikiranku sedikit terganggu dengan telepon tadi malam. Aku menunggui petugas printer di gelap nyawang yang sedang mencetak laporan-laporan praktikumku sambil berpikir keras.

Apa sebutan untukku dan mereka ini?

Time Replayers?

Para Pengulang Waktu?

Ada berapa Replayer di luar sana?

Jangan-jangan di ITB pun ada sejumlah Replayer.

Aku ingin mencari tahu, tapi aku belum bisa mengenali ciri-ciri mereka. Ah, bukan, tapi ciri-ciri kami.

Setelah laporan-laporanku selesai dicetak, aku melangkah kembali ke dalam kampus. Saat hendak kuseberangi Jalan Ganesha, kulihat sebuah sepeda motor melaju dengan sangat kencang. Pada arah berlawanan, sebuah mobil melaju dengan tidak kalah kencangnya. Saat kukira mereka akan bertabrakan, motor yang kulihat membelokkan arah, sementara mobilnya hanya membunyikan klakson kencang.

Motor tersebut kehilangan kendali dan mengarah ke trotoar jalan. Aku bergerak cepat karena kulihat motor tersebut akan menghantam seseorang.

Aku melompat menerjang orang yang akan ditabrak tersebut.

Bedanya hanya sepersekian detik, tapi syukurlah aku bisa menghindarkannya dari hantaman sepeda motor.

Sepeda motornya sendiri menghantam trotoar dan orangnya terpental.

Aku memandangi kecelakaan tersebut.

Sementara orang-orang mulai berkerumun.

"Eh...Mas..." seseorang mencolekku.

"Uh, ya?" aku menoleh.

Ternyata orang yang kuselamatkan tadi adalah seorang gadis.

"M...makasih ya..."

"Iya, nggak apa-apa?"

"Nggak apa-apa. Makasih banget."

"Sudahlah," aku beranjak.

"Eh, Mas!"

"Ya?"

"Namanya siapa?"

"Ferre."

"Saya Nova, TL (Teknik Lingkungan) 2005,"

"FT 2004,"

"Wah berarti beneran harus manggil 'Mas' atau 'Kak'," Nova tersenyum.

"Ferre saja nggak apa-apa," aku membalas senyumnya.

"Oke, sekarang mau ke mana?"

"Mau ngumpulin laporan. Kamu mau ke mana?"

"Ke dalem, bareng?"

"Boleh,"

Kami pun memasuki gerbang Ganesha.

"Ferre, boleh minta nomer?" kata Nova saat kami berpisah di Plaza Widya Nusantara.

Aku terdiam sejenak.

"Oke, 08157..." jawabku akhirnya.

Nova memberikan nomornya juga.

Malamnya, Nova mengirimkan SMS

From: Nova

Ternyata tanganku agak sakit. Besok mau ke klinik Bina Medika.

Aku pun membalasnya.

Ok, kita periksakan saja.

Paginya kami telah berada di klinik yang melayani Mahasiswa ITB tersebut. Nova memasuki ruangan periksa dan aku menunggu di luar.

Setelah Nova masuk, teleponku berdering.

Starla

"Hai!" sapaku ceria.

"Hai, lagi nggak kuliah kan?"

"Enggak. Lagi santai."

"Gimana kabarmu?"

"Baik, aku lebih penasaran kabarmu di sana."

"Ya begitulah, nggak ada masalah."

Kami berbincang cukup lama. Hingga Nova ke luar. Nova menungguku selesai bicara dengan Starla.

"Ternyata nggak apa-apa, nggak ada kerusakan berarti. Cuma perlu dikasih balsem."

"Oh, syukurlah."

"Makasih udah mau nganterin."

"Nggak apa-apa. Sekarang mau kuliah?"

"Iya. Kamu?"

"Aku nanti siang."

"Baiklah. Aku ke kelas dulu ya."

"Oke."

Esok harinya, saat aku ke luar dari kelas, kudapati Nova menungguku di luar.

"Hai. Dari mana?" sapaku.

"Dari rumah, baru dateng." Jawabnya.

"Nggak ada kuliah?"

"Nggak, hari ini praktikum. Eh, aku bawain ini." Nova menyodorkan sebuah buku.

"Apa ini? Motorcycle Diaries?"

"Iya, sebagai tanda terima kasih aku karena kamu menyelamatkan aku waktu itu. Juga untuk nganterin aku ke klinik kemarin."

"Oh, wah nggak usah repot-repot kalik."

"Nggak repot kok. Sekarang ada kuliah lagi?"

"Nggak, kosong."

Kami berjalan beriringan.

"Tumben anak TL suka Che Guevara." Kataku sambil melihat buku pemberian Nova.

"Ah, di mana anehnya?"

"Nggak aneh sih, baru sekarang aja aku lihat."

"Aku suka Che karena dia seorang traveler."

"Berarti kamu juga penggemar traveling?"

"Iya. Tapi bukan untuk pelesir."

"Jadi?"

"Aku ingin keliling dunia. Menetap di daerah-daerah negara lain, membaur dengan penduduknya, sampai aku bisa fasih berbahasa ibu mereka."

"Setelah itu?"

"Ya aku pindah ke daerah lain, negara lain, tinggal di sana lagi."

"Berarti setelah lulus mau jadi traveler?"

"Kalau diizinkan. Nggak tahu orangtuaku bakal bolehin apa enggak."

"Kenapa enggak memangnya?"

"Hmmm, mungkin harapan orangtua atas lulusan ITB nggak seperti cita-citaku ya."

"Cobalah, raih saja mimpimu."

"Menurut kamu harus demikian?"

"Ya hidup kan cuma sekali. Masak harus jalanin hidup yang bukan keinginan kita."

"Kamu bener, yang penting aku lulus dulu. Setelahnya terserah aku."

"Nah gitu dong!"

Nova tersenyum.

Hidupmu mungkin yang cuma sekali. Hidupku sih berkali-kali, batinku.

Esoknya, aku yang menunggu Nova di depan ruang kelasnya. Ia tampak terkejut mendapatiku duduk di depan kelas Liga Film Mahasiswa yang memang biasa dipakai kuliah.

"Hai." Sapaku.

"Eh, hai."

"Aku nemu ini di internet." Kataku menyodorkan beberapa lembar kertas.

"Apa ini? Wah, lomba jurnalistik?"

"Ya, tentang travel writing."

"Dari NG!"

"Menarik, kan?"

"Bangeet!"

"Mau dicoba?"

"Mau dong! Gimana caranya?"

"Ayo kita buat tulisannya."

"Kamu mau bantuin?"

"Iya dong. Masak aku yang ngasih tahu tapi nggak ikut bikin, jadi setengah-setengah nanti."

Nova tertawa.

Segera setelah itu, kami pergi ke Computer Labs (ComLabs) untuk googling tentang contoh-contoh artikel yang dimuat di NG. Aku mengajari Nova bahwa untuk memenangkan lomba dari suatu majalah, kita harus mempelajari artikel-artikel di majalah tersebut untuk dapat mengetahui selera redaksinya.

Sejumlah artikel tentang traveling telah kami unduh. Kami lalu mencetaknya dan membacanya satu demi satu. Dari artikel-artikel tersebut, kami bisa menemukan suatu pola yang menunjukkan selera dari redaksi NG.

Setelahnya kami putuskan untuk mengangkat tema Yogyakarta sebagai obyek tulisan kami.

"Tapi aku belum pernah ke Yogya." Kata Nova.

"Aku sering." Jawabku.

"Jadi?"

"Weekend ini kita ke sana gimana?"

"Serius?"

"Iya, ayo?"

"Nginep dong?"

"Kita cari aja hotel murah, banyak kok hotel untuk traveler. Harganya cuma seratus ribu semalam dan sudah termasuk sarapan."

"Hah? Aku nggak tahu itu!"

"Jadi, ayo?"

"Ayo!"

Kami berpisah hari itu. Aku kembali ke gedung jurusanku. Saat sedang menaiki tangga, aku melihat sekelompok anak Teknik Kelautan yang sedang belajar. Mataku tertumbuk pada seorang mahasiswi. Ia belum pernah kulihat sebelumnya.

Aneh, empat tahun lamanya aku kuliah di sini dulu. Jurusanku berbagi gedung dengan Teknik Kelautan, sehingga hampir setiap hari aku pasti bertemu mereka yang berada di jurusan ini. Tapi baru sekarang kulihat gadis berwajah oriental ini.

Tak kusangka ia melirik ke arahku. Tatapan kami beradu. Gadis itu tersenyum ke arahku. Jelas ia anak Kelautan, tidak seorang pun bisa memakai jaket himpunan jurusan apa pun di ITB jika bukan anggota jurusan tersebut.

Dan gadis itu mengenakan jaket himpunan Teknik Kelautan, bersama teman-temannya.

Cukup lama aku terpana melihatnya, sebelum ia mengalihkan pandangannya, menyibakkan rambut panjangnya yang lurus, lalu melirikku kembali.

Aku buru-buru pergi.

Mungkinkah dulu aku tidak mengenalnya?

Ah, mana mungkin?

Setidaknya kalau anak Kelautan, aku pasti pernah bertemu dengannya.