webnovel

46

Beberapa waktu lalu telah kubeli sebidang tanah luas di Sidoarjo. Lalu kudirikan perumahan di atasnya. Dengan demikian tidak akan ada lagi tempat untuk semburan lumpur.

Malam ini Starla akan pergi ke Banjarmasin untuk melaksanakan kuliah kerja praktik. Kubawa ia ke The Valley untuk makan malam. Dari restoran ini, terlihat jelas pemandangan kota Bandung di malam hari.

Starla meneguk minumannya. Tatapan mata kami bertumbukan. Ini kencan pertama kami di luar kota.

Ponselku bergetar. Kujauhkan benda itu dariku. Bahkan kulirik pun tidak.

"Nggak diangkat?" tanyanya.

"Nggak, aku nggak mau waktu bersamamu terganggu,"

"Kamu memang pintar bikin orang merasa istimewa,"

"Kamu memang istimewa,"

"Apa cuma aku?"

"Maksudmu?"

"Orang dengan kualitas kayak kamu, pasti nggak cuma satu cewek yang naksir, temenku aja ada beberapa yang nanyain,"

"Nggak ada yang menarikku selain kamu,"

"Kenapa?"

"Sudah pernah kujawab kan?"

"Masih sama sampai sekarang?"

"Nggak ada yang berubah,"

"Udah jam delapan."

"Ayo, nanti telat."

Ponselku bergetar lagi.

"Nomor yang tadi?" tanya Starla.

"Nggak, sekarang unknown number."

"Orang yang nelepon pake unknown number itu nggak gentle." Timpalnya.

"Makanya nggak kuangkat. Yuk jalan ah."

Segera kuantar Starla ke bandara. Di sini kulepas ia untuk beberapa bulan lamanya.

"Take care," kataku saat panggilan untuknya menaiki pesawat sudah terdengar untuk kedua kalinya.

"Kamu juga."

Kami berpelukan.

"Nanti kutelpon begitu sampai sana," kata Starla.

"Kapanpun," jawabku.

Starla memberikan tiketnya kepada petugas. Kusaksikan sosoknya berlalu, hingga memasuki pesawat. Kupandangi pesawatnya hingga tinggal landas. Lalu aku segera memeriksa teleponku.

Nomor yang meneleponku tadi tidak ada dalam daftar nomor yang kusimpan. Ternyata ia meninggalkan pesan suara.

Tanpa curiga kubuka pesan suara tersebut, dan pada akhirnya aku hanya menyesali kenapa harus kubuka.

"Tidak tertarik untuk jadi tim sukses Obama 2008?"