Took you like a shot
Thought that I could chase you with a cold evening
Let a couple years water down how I'm feeling about you
(Feeling about you)
Lagu dari Selena Gomez menemani perjalanan William yang entah mau kemana. Suara lembut penyanyi berkebangsaan Amerika Serikat itu mengalun indah menyapa indra pendengaran William.
Sudah tiga hari sejak Teesha meminta maaf pada William dan mereka berdua masih saja merasa canggung satu sama lain. Baik Teesha apalagi William masih enggan memulai percakapan meskipun mereka sedang berdua. Ya seperti yang kita tahu, William memang bukan orang yang banyak bicara. Tetapi kali ini Teesha juga tidak memulai pembicaraan seperti biasanya.
William lihat, semakin hari Teesha semakin dekat dengan Rey. Mereka sering terlihat bersama di jam istirahat atau saat pulang sekolah. William semakin penasaran apa hubungan mereka berdua sekarang ini tapi yang jelas ia tahu, Rey berada satu langkah di depannya.
And every time we talk
Every single word builds up to this moment
And I gotta convince myself I don't want it
Even though I do (even though I do)
Dan William merasa jika ia dan Teesha kini benar-benar jauh. Karena egonya yang tinggi membiarkannya untuk diam, tidak melakukan apapun, hanya bisa terdiam memperhatikannya dari jauh seperti orang bodoh.
Teesha terasa semakin jauh, sangat jauh dibanding sebelumnya. Tetapi menurutku bukan Teesha yang menjauh, tapi kau yang menjauh William. Teesha sudah berusaha untuk memperbaiki hubungan kalian. Ia dengan besar hati meminta maaf padamu lebih dahulu, selalu tersenyum dan menyapamu jika kalian bertemu. Tetapi kau, kau yang tidak memberikan respon apapun padanya. Kau yang membiarkan dia menjauh.
You could break my heart in two
But when it heals, it beats for you
I know it's forward, but it's true
Apa kau akan tetap seperti ini? Menuruti egomu yang tinggi itu dan membiarkannya semakin menjauh dan kemudian menghilang?
Sementara itu disisi lain, Teesha masih terduduk malas di depan laptop, memperhatikan kakaknya di sebrang sana yang sedari tadi mondar-mandir tidak jelas sambil berbicara dengan seseorang via telpon. Entah apa yang sedang dibicarakan pengusaha muda itu tetapi sepertinya itu hal yang penting.
Baru saja tadi pagi Gavin kembali pergi keluar kota untuk urusan kantor, meninggalkan Teesha sendirian lagi di rumah yang sangat besar ini.
Teesha menyambar remote TV di sampingnya ketika Gavin tidak juga selesai dengan urusannya. Gadis itu menyalakan layar ajaib itu dan mencari chanel musik kesukaannya.
I wanna hold you when i'm not supposed to
When i'm lying close to someone else
You're stuck in my head and i cant get you out of it
If i could do it all again
I know i'd go back to you
Lagu yang menjadi soundtrack film 13 Reasons Why itu secara kebetulan juga di putar saat Teesha baru saja menyalakan televisinya.
"Tolong di koordinasikan lagi dengan divisi marketing kalau begitu." Gavin mengakhiri pembicaraannya. Pria itu menghela nafas panjang dengan wajah yang terlihat begitu lelah. Ia kembali memusatkan perhatiannya pada layar laptopnya, memperhatikan adiknya yang kini tengah asyik bernyayi sebuah lagu.
"You could break my heart in two. But when it heals, it beats for you. I know it's forward, but it's true..." Teesha menyanyikan salah satu penggalan lagu tersebut yang langsung mendapat respon dari kakak tersayangnya.
"Beats for who?" Sang adik melirik layar laptopnya, menyadari Gavin yang telah selesai dengan urusannya kini menatapnya dengan wajah serius.
"Ga usah kepo." Kata Teesha sambil menjulurkan lidahnya meledek kakaknya.
Gavin memutar mata, "Si William?" Tanya Gavin yang langsung mendapatkan delikan dari adik perempuan kesayangannya.
"Apa sih, Kak. Buat siapa aja kan terserah aku."
"Iya emang terserah kamu. Tapi kamu juga harus lebih hati hati, Teesha. Jangan sampai kamu nangis-nangis lagi kayak kemarin."
Teesha mengendikan bahunya, malas mendengarkan kakaknya yang terus mengoceh disebrang sana.
Lagipula, kenapa kakaknya masih mengungkit-ungkit soal William sih? Teesha kan jadi kembali kepikiran soal hubungannya dengan William yang masih belum mencair itu. Padahal Teesha sudah berusaha untuk berteman baik lagi dengan William, tetapi sama sekali tidak ada respon dari pria dingin itu.
"—kak lebih suka sama laki-laki yang terakhir kali kamu kenalin. Kayaknya dia orang baik."
Ucapan Gavin kali ini membuat Teesha memandang kakaknya heran, "Apa sih, Kak? Sejak kapan juga kakak jadi kepo soal kisah cinta aku?"
"Sejak kamu bohong dan nangis-nangis depan kakak."
Gavin tidak mengada-ada. Dulu ia memang tidak begitu ingin tahu tentang siapa yang dekat dengan Teesha. Karena kisah cinta monyet seperti itu kan memang sudah biasa terjadi dikalangan remaja seperti Teesha.
Gavin juga tidak terlalu ambil pusing ketika Teesha mengatakan ia sedang berpacaran dengan William, salah seorang pria yang menyandang nama Jaya di belakang namanya, menandakan bahwa pria itu bukan orang biasa. Dan lagipula mereka berdua terlihat baik-baik saja.
Tetapi ketika Gavin melihat Teesha menangis, ia kesal luar biasa. Bagaimana tidak, adiknya yang biasanya terlihat ceria saat itu malah terlihat sangat rapuh. Apalagi ketika Teesha mengatakan bahwa ia sudah berbohong selama ini.
Mau memarahi pun Gavin tidak tega rasanya. Apalagi ketika melihat adiknya yang berubah menjadi lebih pendiam dari biasanya.
Tetapi tak lama, Teesha mengenalkan seseorang kepadanya. Awalnya Gavin sangsi juga terhadap pria itu. Tetapi ketika ia melihat Teesha mulai kembali menunjukan sinarnya, melihat adiknya sudah bisa kembali tersenyum, mengomel, dan tertawa seperti sebelumnya, ia tahu jika pria yang satu ini adalah orang baik.
Teesha memutar mata, "Kan itu dulu. Aku udah gak akan kayak gitu lagi."
Teesha beranjak dari tempat duduknya, berjalan menuju kulkas yang terletak di ujung ruangan mengabaikan sang kakak yang masih mengoceh di sebrang sana. Entah apa yang Gavin ucapkan, Teesha tidak terlalu mendengarkan. Hanya 'jauhin' dan 'jangan lagi' yang tertangkap indra pendengarannya.
Teesha menghela nafas panjang ketika tak menemukan apapun di dalam kulkasnya. Cokelat ataupun ice cream yang biasa memenuhi freezer kini tak tersisa satu pun.
Gadis itu kembali ke tempat duduknya semula, berniat untuk mengakhiri obrolannya dengan sang kakak.
"Kak, udah dulu ya. Aku mau beli cemilan. Di kulkas ga ada apa-apa."
Gavin menghentikan ocehannya, "Beli kemana?"
Teesha kembali memutar mata, "Ya ke supermarket lah, Kak. Masa aku beli ke toko bangunan sih?"
"Sama siapa?" Tanya Gavin penuh selidik.
"Sendirian. Udah ya. Bye kakak ku sayang."
PIP
Panggilan pun terputus dengan Gavin yang masih menatap layar laptopnya datar.
.
.
To be continued
Seperti biasanya, jangan lupa tinggalkan jejak ya. Kasih ulasan dan komentar guys~
Dan mau minta maaf lagi nih, buat cerita ini alurnya lambat. Jadi sabar aja ya hehehe
Terima kasih banyak yang udah baca. Kalau berkenan bisa mampir juga ke ceritaku yang judulnya "Higheels Cinta Sang Cinderella" ya~
See you!