-Terbiasa hidup denganmu tidak berarti aku akan terbiasa mencintaimu.-
Seminggu sudah aku tidak pernah dihantui lagi oleh bayang-bayang dan suara-suara itu. Rumah keluarga itu membawa pengaruh aneh dalam diriku. Bayang-bayang dan suara itu hanya menghantuiku ketika aku berada di rumah keluarga Kevin, tapi setelah Kevin memutuskan untuk kembali ke apartemennya, tidak ada lagi hal aneh yang aku rasakan. Aku merasakan bahwa rumah itu memiliki ikatan yang sangat kuat. Ikatan yang tidak dapat aku mengerti. Aku tidak pernah menceritakan bayangan dan suara aneh itu pada Kevin. Aku takut ia akan menertawakanku sama seperti kakaknya, Revan.
"Ta..."
"Anggap saja hadiah kecil dariku," potongnya cepat. Kevin benar-benar keras kepala.
Aku lelah jika harus berdebat dengannya saat ini tapi dia memang menjengkelkan. Mobil Audy mewah dia bilang hadiah kecil? Jangan-jangan dia menganggap dunia ini juga kecil?! Aku tidak bisa menerima mobilnya, aku tidak ingin menjadi pusat perhatian di kampus di hari pertama aku masuk setelah sekian lama aku menghilang dari kampus. Mobil ini bukan hadiah tapi akan menjadi bencana bagiku. Kevin sudah memberiku hadiah yang berarti bagiku. Mengizinkanku untuk menyelesaikan pendidikanku dan dia menyuap pemilik universitas yang telah mengeluarkanku agar aku bisa melanjutkan kuliahku, itu kuanggap sebagai hadiah yang sangat berarti dari Kevin.
"Aku tidak punya SIM jadi aku tidak bisa menerima mobil ini. "Aku yakin Kevin tidak akan bisa membantah lagi karena aku mempunyai alasan yang kuat.
Kevin diam sesaat kemudian ia tersenyum simpul. "Besok SIM-mu akan jadi. Bereskan?"
Aku menghela nafas panjang. "Aku tetap tidak mau!"
"Jangan membantahku Luna," ujarnya tegas.
Entah sudah berapa lama kami berdiri di parkiran apartemen, berdebat seperti ini. Aku melirik jam yang melingkari pergelangan tangan kiriku. Jam 8.45 dan kelas pertamaku di mulai pada Jam 9.00. Jika aku terlambat maka habislah aku.
"Oke. Oke. Aku menerima hadiahmu. Terima kasih Tuan Kevin. Kau puas?!" ujarku berdecak frustasi. Kevin mengulum bibirnya melihat penyerahanku. "Aku harus pergi sekarang, aku sudah hampir telat gara-garamu."
"Gara-garamu," timpalnya. "kalau kau tidak membantah kau tidak akan terlambat."
Aku melototinya. Dia selalu balik melempar kesalahannya padahal jelas-jelas itu salahnya. Kalau dia tidak ngotot memberi mobil sialan itu, aku tidak akan terlambat.
"Masuk ke mobil. Hari ini aku yang mengantarmu," katanya dingin.
Kevin langsung masuk ke mobilnya, duduk di pengemudi tanpa membuka pintu mobil untukku terlebih dulu. Aku mendengus kesal lalu langsung masuk ke mobil dan membanting pintu mobilnya.
"Kau bisa merusak pintu mobilku Luna," geramnya.
Sejak kapan Kevin mempedulikan barangnya yang kurusak? "Kau bisa membeli mobil baru. Aku yakin itu tidak akan membuatmu bangkrut membeli mobil yang sama," ketusku.
Diam. Hanya ada suara alunan musik di radio yang Kevin nyalakan. Kebetulan lagu yang sedang di putar itu adalah lagu kesukaanku dulu, Coldplay - Hymn For The Weekend. Lagu itu mengingatkanku saat sedang berkumpul dengan teman-temanku di negara yang telah lama tak kupijak, aku merindukan mereka, aku merindukan hidup di negaraku.
Saat kaki Kevin menginjak rem mobilnya aku segera membuka pintu mobil mengingat aku tidak punya banyak waktu lagi, tapi tangan Kevin dengan sigap menarikku kembali duduk di dalam mobil. Mataku melotot kesal padanya. Sekarang apa lagi?!
"Kau masih punya waktu 5 menit," ujarnya sambil memperlihatkan jam tangan mewahnya lalu tangannya masuk ke saku jasnya mencari-cari sesuatu. "ini agar aku bisa menghubungimu," Kevin menyodorkan ponsel yang ia ambil dari sakunya.
Semenjak kejadian di mana aku hampir diculik, aku kehilangan ponselku dan kebetulan Kevin memberikan ponsel baru untukku. Aku memang membutuhkannya.
Kuambil ponselnya lalu meletakkannya di tasku. "Terima kasih. Tapi kau tidak menyadap ponsel baruku kan?" tanyaku asal dengan seringaian jahil di bibirku. Kevin hanya membalasnya dengan senyuman simpul.
"Aku masuk dulu," kataku pergi dari mobilnya tanpa menoleh ke belakang lagi. Aku tergesa-gesa.
5 detik setelah aku duduk, sang dosen datang. Dosen yang bernama Mrs. Victoria menatapku sinis saat ia baru duduk di kursi dosennya. Aku tahu mengapa ia menatapku seperti itu, ia tidak suka aku kembali ke kampus ini karena dulu aku pernah memakinya, salah memaki orang tepatnya.
Tak terasa jam kuliah pun berakhir. 10 menit sebelum Mrs. Victoria keluar dari kelas, ia rutin mengabsen. Setelah kelas Mrs. Victoria ada dua kelas lagi yang harus kuikuti.
Aku menghela lega setelah selesai dengan semua kelasku hari ini.
"Selamat telah berhasil menyuap ayahku!"
Suara itu datang dari sampingku. Aku langsung menoleh. Itu Kanya. Aku sedikit merasa malu dengannya karena terang-terangan kemarin Kevin menyuap ayahnya Kanya di depan Kanya sendiri. Sebenarnya bukan menyuap dengan memberikan sejumlah uang, menyuap dengan kata-kata tajam Kevin.
Aku tertawa kecil, "Setidaknya kemarin kau juga menggoda ayahmu demiku."
Kanya ikut tertawa. "Aku tahu kau sangat ingin menuntaskan pendidikanmu. Mau berbagi cerita tentang kemana saja kau selama lebih dari 3 bulan tidak menampakkan diri? Aku mengkhawatirkanmu. Kau menghilang begitu saja!"
Aku disekap oleh teman masa kecilmu, kataku dalam hati.
"Umm, ada masalah yang harus ku beresken," aku mengedipkan sebelah mataku.
"Dan bagaimana bulan madumu? Apakah suamimu romantis?"
"Bulan maduku?" Aku berpikir, mengingat-ingat kejadian yang terjadi padaku dan Kevin. Lumba-lumba, lampion, acara keluarga, balon udara. Ia hampir romantis.
Aku hendak membuka mulutku tapi suara dering ponselku membuatku kembali menutup mulut lalu mengambil ponselku, menatap layar.
'Suamiku' nama itu terpampang di layar ponsel. Aku setengah menganga tidak percaya dan setelah itu aku ingin tertawa. Kevin memberi kontaknya dengan nama 'suamiku'? Yang benar saja! Kevin sedang mengerjaiku atau apa sampai-sampai ia melakukan itu. Kugeser layarnya ke kanan, menerima telponnya.
"Mengapa lama sekali?!" bentaknya.
Aku menjauhkan ponselku dari telingaku. Bahkan saat dia menelpon, ia masih bisa membentakku.
"Ada apa?"
"Kau masih di kampus? Jika ya, bisa kau temui Christ dan minta dokumen yang telah dijanjikan lalu bawa dokumen itu ke kantorku. Zak asistenku akan menjemputmu. Jadi segeralah. Aku memerlukan dokumen itu segera," nadanya di telpon terdengar sedikit gusar. Christ adalah ayahnya Kanya.
Aku mengangguk.
"Luna? Kau dengar aku?"
Bodoh. Kevin tidak akan melihatku sedang mengangguk. Ini di telpon, bukan sedang bertatap muka. "Eh ia baiklah."
"Cepat."
Kevin langsung menutup telponnya.
Kanya menatapku.
"Bisakah kau mengantarku pada ayahmu? Tadi Kevin menelpon. Dia meminta dokumen yang ada di ayahmu. Segera," kataku pada Kanya.
Kanya tersenyum dan mengangguk tanpa banyak komentar.
***
Kejadian di kantor Kevin tadi siang cukup membuatku tercengang. Aku melihat Kevin sedang membentak staff-staffnya. Ternyata Kevin memang suka membentak, aku kira hanya aku yang suka dibentaknya. Tapi bentakkan Kevin tidak biasa seperti bentakkannya padaku, ia lebih terlihat menyeramkan sampai-sampai para staffnya tidak berani melihat wajahnya. Aku saja yang berada di situ tidak berani.
Dan ternyata dokumen yang kubawa adalah daftar nama-nama orang yang mengkhianati Kevin, seperti korupsi, membocorkan rahasia perusahaan dan semacamnya. Wajar saja ia semarah itu.
Kevin pulang tepat saat aku selesai menata meja untuk makan malam. Tampangnya sedikit berantakan dan wajah marahnya di kantor tadi masih lekat di wajah tampannya.
Setelah selesai aku langsung membereskan piring-piring kotor. Kevin pergi mandi dan setelah itu ia ke ruang kerjanya. Aku menyusul ke ruang kerjanya sambil membawa secangkir teh hangat dan bermaksud meminjam laptopnya untuk mengerjakan beberapa tugas kuliahku.
"Ini," Aku meletakkan tehnya di mejanya. Matanya beralih padaku yang sejak tadi sibuk dengan layar laptopnya. "Aku sengaja tidak memberikanmu kopi karena aku tidak mau melihatmu begadang dan aku juga tidak mau saat aku sedang tertidur pulas kau menggangguku," ujarku sambil tersenyum mungil.
Setiap ia bekerja di ruang kerja apartemennya, aku selalu memberikannya kopi dan saat dia selesai dengan kerjaannya, tengah malam saat aku tertidur pulas dia selalu menggangguku dengan sentuhannya. Ia bilang sulit tidur lalu ia menelanjangiku dan setelah ia puas ia baru bisa tidur. Tetapi kemarin aku membuatkan teh untuknya dan hasilnya semalam dia tidak menggangguku sama sekali. Dia sudah mengantuk duluan. Kopi di malam hari memang membuatnya terjaga.
"Aku curiga semalam kau mencampurkan obat tidur ke dalam tehku," tuduhnya.
"Aku tidak berpikir sampai ke situ tapi terima kasih atas sarannya," kataku, memuji sarannya.
"Lain kali aku yang akan membuatkanmu minuman lalu mencampurkannya dengan obat perangsang. Mungkin akan menjadi hal yang panas," godanya.
Mata dan mulutku melebar. Yang ada di otaknya tidak pernah jauh dari seks. Tapi aku bersyukur wajahnya yang mengerikan kini lenyap tergantikan oleh wajah sensualnya. Sebenernya aku tidak suka ekspresi keduanya tapi wajah sensualnya lebih baik dari pada melihat wajahnya yang sedang marah seperti tadi.
"Jauhkan otak mesummu itu Mr. Sanders," desisku.
Kevin menyeringai.
"Oh ya aku ingin pinjam laptopmu yang nganggur. Banyak tugas yang harus aku kejar," ujarku mengalihkan pembicaraan sensualnya.
Kevin langsung menunjuk ke arah sofa panjang yang terdapat laptop putihnya. Aku mengambilnya lalu pergi dari ruangannya.
Aku lebih memilih duduk di lantai beralaskan tikar menyender di kaki sofa sambil mengetik tugas kuliahku di meja kecil di ruangan TV. TV menyala hanya untuk menemani kesunyianku yang sibuk mengetik dari tadi.
2 jam berlalu. Jari dan otakku lelah untuk mengerjakan lebih jauh. Kuputuskan untuk melanjutkannya besok.
Aku melirik ponselku yang tergeletak di atas tumpukkan bukuku. Aku ingin melihat apa saja isi dari ponsel baruku. Kutekan tombol power untuk membuka kunci ponsel. Mataku terbuka lebar saat melihat wallpaper kunci layar ponselku. Foto Kevin memakai kacamata hitam, kaos oblong putih dengan celana selutut dan rambutnya ditutupi oleh topi. Gayanya bak seorang artis yang di foto oleh paparazi secara diam-diam.
Bibirku tersenyum, kugeser sembarang layar ponselku, kali ini wallpaper beranda ponselku adalah gambarku ketika berenang dengan lumba-lumba. Aku sama sekali tidak menyadari dia mengambil gambarku saat itu. Aku semakin penasaran dengan foto-foto yang ada di galeri. Segera kuklik galeriku. Hanya ada beberapa foto. Gambar yang dijadikan kunci layar dan wallpaper beranda, ada foto lampion-lampion, lalu ada fotoku dengan Kevin yang sedang berciuman. Astaga, siapa yang mengambil foto ini? Ciuman saat itu dipergoki Mia. Apa mungkin Mia yang mengambil gambar ini lalu memberikannya pada Kevin? Pipiku merona memikirkan itu. Dan yang terakhir ada foto kami berdua yang sedang menaiki balon udara dan aku tidak tahu siapa yang mengambil foto ini. Di foto itu aku terlihat senang dan Kevin sedang tersenyum memandangiku. Kevin terlihat lebih tampan. Ada rasa hangat yang kurasakan saat melihat foto itu.
Aku jadi memikirkan awal pertemuanku dengan Kevin. Ekspresi pertama kali yang kulihat adalah ekspresi terkejutnya ketika melihatku lalu esoknya ia menciumku dengan tiba-tiba dan aku menamparnya kemudian esoknya lagi ia memintaku untuk menikah dengannya. Awalnya aku kira Kevin adalah pria yang kasar, dingin, dan datar karena pertama kali sampai ia mengurungku aku selalu melihat betapa dingin, datar, dan kasarnya dia tapi semenjak menikah aku lebih sering melihatnya dengan cara berbeda, ia agak bersikap baik meskipun terkadang sikap dinginnya muncul. Dan terkadang aku merasakan sisi kelembutannya.
Aku memang sudah mulai menerima Kevin memasuki kehidupanku tapi aku hanyalah menganggapnya sebatas teman dalam pernikahan kami, teman untuk memenuhi nafsunya yang memberikanku kenikmatan. Dulu aku bukanlah wanita yang mendambakan setiap sentuhan tapi kini Kevin masuk ke dalam hidupku dan membuatku kecanduan akan sentuhannya.
Tidak ada cinta diantara kami berdua, hanya ada nafsu dan sampai detik ini aku masih belum mengerti mengapa ia memaksaku untuk menikah dengannya. Jika Kevin menikahiku hanya untuk memenuhi nafsunya rasanya tidak mungkin. Kevin bisa membayar mahal wanita yang sangat cantik untuk memenuhi nafsunya tanpa harus ada ikatan pernikahan. Lalu sebenarnya mengapa ia begitu memaksa?
Sudahlah. Bertanya juga tak akan dijawabnya.
"Besok-besok buatkan aku kopi saja. Teh tidak bisa membuatku terjaga," ujar Kevin sambil berbaring di ranjang dengan mata mengantuk.
Aku sedang mengikat rambutku di depan cermin, menggulung rambutku biar agak terlihat rapih dan tidak menganggu saat tidur. Aku menoleh padanya dan menghampirinya.
"Kau akan kurang tidur jika setiap malam meminum kopi," kataku sambil mematikan lampu kamar lalu berbaring membelakanginya. Aku selalu tidur membelakanginya dengan memeluk guling.
"Jangan tidur membelakangiku sambil memeluk guling seperti itu!" omelnya.
Sebelumnya Kevin tidak pernah protes akan kebiasaan tidurku tapi sekarang ia mulai protes?
"Ini kebiasaanku," jawabku dengan nada pura-pura mengantuk. Jika aku tidur menghadapnya, aku merasa terlalu intim dengannya.
Kevin bergerak dan aku sudah menemukannya di hadapanku membuatku sesak karena merasa sempit. Ia menarik gulingku dengan paksa dan melemparnya jauh-jauh dari diriku. Jangan bilang malam ini akan ada adu mulut lagi.
"Kasur ini sangat besar. Menyingkirlah dari situ," desisku.
"Kasur ini memang terlalu besar, besok akan kuganti kasur ukuran kecil dan dari pada kau memeluk guling sialan itu, lebih baik kau memelukku," ada seringaian kecilnya dalam kegelapan.
Aku tahu apa yang ada di pikiran Kevin. Tidak jauh tentang seks. Aku diam tidak menanggapi serius ucapannya.
Kevin tidur di tepi ranjang hampir terjatuh ke bawah lalu aku menggeser tubuhku sedikit menjauh, memberikan akses bergerak untuk Kevin. Khawatir saat ia tidur ia akan jatuh. Tapi ia tidak bergerak. Kevin membiarkan dirinya berbaring di tepi ranjang dan kurasa ia sudah tidur pulas. Dua hari ini ia lebih cepat tidur dibandingkan biasanya. Aku pun memejamkan berusaha untuk tidur. Dalam hatiku, aku masih bertanya-tanya apa tujuan Kevin menikahiku.
Aku terbangun di tengah malam dan tidak menemukan Kevin di sebelahku. Hanya ada aku di ranjang ini. Mungkin dia sedang di kamar mandi.
20 menit berlalu ia tidak juga datang. Aku mengernyit, dimana dia?
Aku duduk di tepi ranjang menginjak marmer yang dingin. Mencarinya. Pintu balkon kamar sedikit terbuka. Aku melihat Kevin sedang duduk bersandar memejamkan matanya sambil memijat-mijat kecil pelipisnya dengan jari kanannya. Sesekali ia menggeram kesal. Dia masih tidak menyadari kehadiranku. Aku merasakan ia sedang merasa sedih, kecewa, dan marah.
Aku pun menghampirinya perlahan lalu duduk di sebelahnya. Ia menoleh saat merasakan ada gerakan di sebelahnya. Kevin yang menyadari kehadiranku ia langsung berbaring di sofa beralaskan pahaku sebagai bantal di kepalanya. Aku hanya diam tidak bergerak, menatapnya seperti biasa walaupun sedikit merasa aneh dengan Kevin. Ingatanku terngiang pada Adam, dulu kami juga seperti ini. Andai saja yang berbaring di pahaku adalah Adam pasti aku akan membelai rambutnya penuh sayang. Andai saja.
"Kau belum tidur juga," kataku memperhatikan raut wajahnya.
Kevin memandangiku, menatap bola mataku seakan mencari sesuatu yang hilang. "Sulit tidur," ujarnya singkat masih menatapku.
Aku membalas tatapannya. "Apa yang kau lihat?"
"Kau."
"Anak kecil juga tahu kau sedang melihatku. Maksudku apa yang kau lihat di mataku?"
"Aku sedang mencari," jawabnya aneh.
Aku mengernyit dengan sebelah alisku yang terangkat. "Cari apa?"
"Diriku. Tapi aku tidak melihatnya." Kevin tersenyum tipis.
Aku merasakan keanehan dalam dirinya. Tidak seperti biasanya dia seperti ini. "Kau mulai aneh," cibirku. "By the way siapa yang mengambil foto kita berdua saat di balon udara?" tanyaku, mencoba topik baru.
"Photographer amatiran. Kau suka?"
"Tentu. Kau terlihat lebih tampan," ceplosku. Aku segera menutup mulutku rapat-rapat.
"Kau bilang apa tadi?" seulas senyum muncul lalu ia bangkit duduk di sebelahku menatapku lebih intens.
"Kau mendengarnya."
"Aku tidak mendengarnya. Tadi kau bilang apa?" godanya.
Aku menangkup pipiku yang merona merah. Sial dia membuatku malu. Kevin menjauhkan tanganku dari pipiku lalu ia menggenggam tanganku.
"Katakan," godanya lagi.
"Kau terlihat lebih tampan," kataku pelan dan malu-malu.
"Aku tahu." Ia terkekeh lalu mendekatkan wajahnya padaku.
"Kau cantik kalau sedang merona seperti ini." Kemudian ia mencium bibirku lembut. Menyesapnya seperti permen.
Lidahnya membuka celah mulutku lalu sesuatu yang basah dan kenyal itu bertemu dengan lidahku. Lidahnya sibuk bermain di dalam, begitu menggoda. Aku mendorongnya sedikit menjauh.
"Kevin.." panggilku sambil mengatur deru nafasku sehabis berciuman. Kevin menatapku menunggu ucapanku. "bolehkah aku bertanya?"
Aku rasa ini adalah waktu yang tepat untuk menanyakannya.
Kevin mengangguk.
"Mengapa kau memaksaku menikah denganmu?" tanyaku hati-hati.
"Aku ingin kau menyadari sesuatu," ucapnya lirih.
"Menyadari apa?" tanyaku heran mencoba mengartikan ekspresinya.
"Bahwa sejak awal kau milikku. Milikku. Aku hanya ingin kau menyadari itu," jawabnya tegas dengan ekspresi yang tak terbaca.
Aku menelan salivaku. Aku semakin bingung dan tidak mengerti ucapan Kevin. Aku hanya diam tidak bicara. Otakku sedang menelaah ucapannya mencoba mengerti. Sejak awal aku miliknya? Sejak awal kapan? Dan ucapannya benar-benar sulit dimengerti.
Aku tidak tahu lagi harus membawa pembicaraan ini kemana. Aku bingung bagaimana harus bicara sedangkan aku sendiri sulit berkata-kata. Kami berdua masih diam.
Perlahan kedua tangannya menangkup wajahku. Aku melihat ada kilauan air yang tertahan di matanya. Hatiku seperti terkena duri kecil ketika melihat matanya berkilau tetapi kemudian kilauan air yang tertahan pudar begitu saja saat rahangnya mulai mengeras. Kevin menggeram. Aku tambah dibuatnya bingung. Tadi dia hampir menangis dan sekarang ia terlihat kesal?
"Suka atau tidak terima saja kalau kau memang milikku. Jangan bertanya lagi kenapa," ujarnya dingin dengan rahangnya yang mengeras.
"Kau memang pemaksa," ucapku, menjauhkan kedua tangannya yang sedang menangkup wajahku sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Memang," balasnya cuek. "Ayo ke kamar. Aku tidak ingin menelanjangimu disini. Kau akan kedinginan."
Kevin menggendongku di pundaknya lalu menghempaskan tubuhku ke ranjang. Seringaian sensual muncul dari bibirnya. Dengan tidak sabar ia menanggalkan pakaianku dan memuaskan nafsunya pada tubuhku. Aku hanya mendesah nikmat.
***
Kevin's POV
"Kevin.." panggilnya sambil mengatur deru nafasnya karena ciumanku yang tidak memberikannya ruang untuk bernafas. Aku tidak bisa mengontrol diriku jika tentang bibirnya. Bibir mungilnya sangat menggairahkan dimulutku.
"Bolehkah aku bertanya?"
Aku mengangguk membaca reaksinya. Dia terkadang menjadi perusak suasana, saat nafsuku akan tubuhnya meningkat ia malah bertanya dengan wajah serius. Terkadang aku ingin membentaknya karena merusak gairahku, saat ini pun aku ingin membentaknya tapi kutahan. Istriku terlihat serius.
"Mengapa kau memaksaku menikah denganmu?" tanyanya. Suaranya sangat hati-hati.
Mendengarnya bertanya seperti itu perasaanku jadi tidak karuan. Sampai sekarang pun kau tidak menyadarinya.
"Aku ingin kau menyadari sesuatu," lirihku dengan hati terluka namun aku tidak menampakan ekspresiku yang terluka.
"Menyadari apa?" dia mulai bingung.
"Bahwa sejak awal kau milikku. Milikku. Aku hanya ingin kau menyadari itu," jawabku tegas. Dalam ketegasanku sebenarnya aku marah, kecewa, dan terluka karenanya. Dia semakin membuatku marah ketika ia memperlihatkan kebingungannya. Aku mencoba menahan amarahku. Aku tidak ingin membuatnya takut.
Perlahan aku menangkup wajahnya. Kuperhatikan setiap inci dari wajahnya terutama matanya. Aku mencari diriku di matanya tapi yang kutemukan hanyalah kebingungan di matanya. Hal itu membuatku ingin menangis. Aku tahu aku lelaki tapi semua ini membuatku terluka ditambah saat melihat matanya tidak ada diriku di sana. Ada, tapi dia menganggapku orang asing di matanya. Aku sadar ia melihat air mataku yang tertahan, segera aku tutupi itu dengan ekspresi kesalku.
"Suka atau tidak terima saja kalau kau memang milikku. Jangan bertanya lagi kenapa," ujarku sedingin mungkin.
"Kau memang pemaksa,"" ucapnya.
"Memang," balasku pura-pura cuek. Aku akan memaksamu sampai kau menyadarinya, sumpahku. "Ayo ke kamar. Aku tidak ingin menelanjangimu di sini. Kau akan kedinginan."
Dia tidak terlalu berat jadi sangat mudah untuk mengangkat tubuhnya. Kuhempas tubuhnya ke ranjang. Ah, dia selalu menggairahkan.
Aku bergerak berada di atasnya. Mencium, melumat, menyesap, menggigit bibirnya dengan penuh gairah. Aku tidak pernah puas dengan bibirnya, setiap saat aku selalu ingin merasakan bibir mungil miliknya.
Aku bergerak turun ke payudaranya. Menggodanya membuatnya lebih terangsang lagi. Sebenarnya aku yang lebih terangsang dibandingkan dia.
Malam ini aku meluapkan lukaku dengan menyentuhnya. Aku terus menggodanya dengan sentuhan-sentuhan sensualku. Luna terus mendesah terkadang ia menggigit bibirnya untuk menahan desahannya.
Aku kembali menciumnya dengan nafas kami yang masih tersenggal-senggal.
"Punyamu selalu pas," bisikku menggoda, lalu mengecup bibirnya kemudian berbaring di sebelahnya sambil memeluknya. Payudaranya menempel di dadaku.
Luna hanya tersenyum. Matanya terpejam. Aku memandanginya, senang tidak ada penolakan di saat aku menginginkan tubuhku masuk dalam dirinya meskipun Luna tidak pernah benar-benar menyentuhku. Dia hanya sekali dua kali mengecup bibirku. Luna tidak pernah membalas ciuman panasku ataupun memanjakan tubuhku. Dia hanya menerima setiap sentuhan yang kuberikan. Tapi tak mengapa. Yang terpenting ia tidak menolakku saat aku menginginkannya. Dan yang terpenting ia juga menikmatinya.
******
Luna POV
Aku bangun lebih awal karena aku harus memasak sarapan untuk diriku dan Kevin. Ally sedang cuti karena anaknya sakit dan maid yang lain dipecat Kevin tanpa alasan. Jadi aku yang harus memasak dan memenuhi kebutuhan Kevin. Well, itu memang sudah menjadi kewajibanku sebagai istri. Setelah makan, aku langsung merapikan diri bersiap pergi ke kampus.
"Ini SIM-mu dan kunci mobilnya." Kevin memberikan kedua benda itu padaku.
Dengan sangat terpaksa aku menerimanya. "Terima kasih." Aku tersenyum kecut.
Dan inilah. Untuk pertama kalinya aku pergi ke kampus dengan mobil. Aku melajukan mobilku pelan dan mobil Kevin mengekori di belakangku. Sampai di perempatan jalan kami berpisah. Kevin belok ke kiri sedangkan aku tetap lurus.
"Wow Luna!!" teriakan itu membuat telingaku sakit. "mobil baru? Kevin membelikannya?!"
Aku baru saja 5 langkah menjauh dari mobil itu dan Kanya sudah meneriaki mobil sialan itu. Aku langsung membekap mulut Kanya, "Sssst! Pelankan suaramu," keluhku.
Kanya mendorong tanganku menjauh dari mulutnya. "Kevin membelikanmu mobil?" tanyanya kegirangan.
"Hadiah pemaksaan."
"Yasudah berikan saja mobil barumu padaku."
Aku terbelalak. "Kevin bisa membunuhku jika pemberiannya kuberikan padamu secara cuma-cuma. Lagipula kau bisa memintanya pada Austin."
Kanya tertawa. "Austin tidak akan mau dan Kevin tidak mungkin membunuh istrinya sendiri. Omong-omong kau sudah menyelesaikan tugasnya?"
"Sedikit lagi selesai. Aku masih harus mengejar materi 3 bulanku yang tertinggal dengan mengikuti beberapa kelas lebih banyak. Aku bisa gila," keluhku.
"Aku yakin kau bisa mengejar semua materimu yang tertinggal dalam kurun waktu yang singkat."
"Kau sudah mendengar berita tentang magang?" Kemarin aku sempat mendengar kabar bahwa kampus ini baru bekerja sama dengan beberapa perusahaan dan dari pihak kampus akan mengirim beberapa mahasiswa ke perusahaan untuk persyaratan mengikuti ujian.
"Kau menghinaku ya? Tentu saja aku sudah mendengarnya. Aku tidak pernah ketinggalan berita sekecil apapun," celotehnya. "aku punya daftar di mana kita akan di tempatkan."
"Dimana?" tanyaku penasaran.
"Aku di tempatkan di perusahaan di mana Austin bekerja," ujarnya penuh semangat.
"Mungkin kau menyuap ayahmu agar bisa di tempatkan di sana."
"Tidak. Kali ini adalah kebetulan."
"Lalu aku dimana?"
"Kau di perusahaan manufaktur agak jauh dari sini tapi cukup dekat dengan perusahaan suamimu."
"Kedengarannya tidak buruk dan aku harap kau bisa fokus di sana dengan adanya keberadaan Austin," kataku terkekeh.
"Aku ragu. Austin termasuk orang yang pandai menggodaku," katanya pura-pura menampakan wajah menyedihkan.
"Kau harus kuat dengan godaannya Kanya. Di sana kita harus fokus bukan bermesraan. Untungnya aku tidak di tempatkan di perusahaan Kevin. Aku akan lebih gila jika seperti itu."
"Ya ya ya. Aku tahu. Jangan menceramahiku lagipula aku hanya bercanda. Austin termasuk orang yang profesional jadi dia pasti mengenyampingkan hubungan kami jika sedang bekerja," ujar Kanya dengan nada naik turun. "gila bagaimana?"
"Ya gila saja. Bisa-bisa Kevin mengerjaiku bukan membantuku," jawabku sambil membayangkannya.
"Aku iri denganmu. Kapan Austin akan melamarku?" bibirnya merengut.
"Tanyakan dia jangan tanyakan aku. Mungkin saja dia menunggu waktu yang tepat. Bersabarlah Kanya. Jangan terburu-buru," aku menepuk-nepuk pundak Kanya.