webnovel

Pak Parmin Sang Sopir

Tak kuat menanggung malu, Pak Edi akhirnya keluar sendiri dari universitas. Tinggallah Pak Denis dan Bu Alia yang menjalani kisah kasih yang sempat tertunda.

Tapi Bu Alia telah berpulang dengan damai, meninggalkan Pak Denis dengan seribu kenangan manis. Takkan tergantikan.

Mereka hanya memiliki satu anak perempuan yang kini tinggal bersama Pak Denis. Anak itu telah menikah dan memiliki tiga orang anak.

"Aku enggak mau Cuma punya satu anak, Pi, sepi rasanya kayak aku dulu," ucap Safia, anak Pak Denis.

Pak Denis hanya mengangguk, malah bersyukur karena memiliki banyak cucu. Dulu, istrinya mengalami pendarahan hebat sampai harus operasi pengangkatan rahim. Makanya Pak Denis hanya memiliki satu anak.

Pak Denis mengakhiri ceritanya, Pak Ferdi menyimak cerita itu dengan seksama. Banyak hal yang dapat dipetik dari kisah hidup guru besar universitas ternama itu.

Wajah sepuhnya terlihat begitu bersahaja, keriput yang ada di wajahnya tak mengurangi gurat ketampanannya di masa lalu.

"Terima kasih banyak, Pak. Saya banyak belajar dari pengalaman hidup, Bapak," ucap Pak Ferdi, ia menatap guru yang berada di hadapannya itu dengan sendu.

Semua yang dikatakan gurunya itu benar. Tak ada hal menjadi cacat dari semua ucapannya. Hanya saja sepertinya sangat sulit untuk pelaksanaannya.

"Pak, terima kasih banyak. Sepertinya saya mesti merenunginya dulu," ucap Pak Ferdi yang menyadari kekurangan dirinya.

"Iya, sama-sama, semoga segera mendapat solusi terbaik untuk masalahmu," ujar Pak Denis sembari menepuk pundak muridnya tersebut.

"Saya, pamit pulang dulu, Pak," pamit Pak Ferdi yang hendak berdiri.

Ia tahu gurunya itu masih memiliki kesibukan lain, tak masih menyempatkan diri memberi waktu untuk muridnya yang sedang kesulitan itu.

Pak Denis mengangguk dengan senyum mengembang di bibirnya. Pak Ferdi pun berdiri dan menyalami gurunya tersebut.

Ia berjalan keluar ruangan dengan langkah gontai. Menatap setiap sudut universitas yang telah memberinya banyak ilmu. Tapi, ternyata hanya ilmu dunia tak cukup untuk mengatasi semua masalahnya.

Menyusuri koridor kelas yang berjajar di kampus tersebut. Banyak anak-anak mahasiswa yang sedang menikmati masa-masa kuliah mereka. Tertawa dan bercanda bersama di masa-masa kuliah.

Pak Ferdi sedikit tersenyum, menatap pemandangan di depannya. Dulu, ia merasakannya bahkan merupakan salah satu yang berprestasi. Pintar saja ternyata tak cukup untuk menghindari kebodohannya sampai terjebak dalam masalahnya saat ini.

Pak Ferdi sampai di samping mobilnya dan menaikinya. Supir pribadinya segera melajukan mobil keluar dari parkiran.

"Kita ke rumah saja, saya tak berminat untuk ke kantor," ucap Pak Ferdi yang duduk di kursi belakang.

"Siap, Pak." Pak Parmin mengangguk hormat.

Pak Ferdi nampak melamun selama di perjalanan. Banyak hal yang ia pikirkan. Termasuk ucapan dosennya tadi. Rasanya akan sulit dipraktekkan. Mungkin iya, kalau Tuhan sedang memanggilnya untuk lebih mendekatkan diri.

'Tapi kenapa harus dengan cara seperti ini?' tanya Pak Ferdi dalam hati.

"Pak," panggil Pak Parmin pada majikannya, "Bapak, lagi banyak masalah, ya?"

"Begitulah, Par. Hidup ini tak seindah kelihatannya. Apalagi ketika sedang dilanda masalah seperti saya," jawab Pak Ferdi pada supirnya tersebut.

Pak Parmin menganggukkan kepalanya, mengerti dengan kesulitan yang dihadapi bos-nya itu. Ia sudah bekerja hampir dua puluh tahun dengan majikannya itu. Kini, mereka menua bersama. Bedanya Pak Parmin telah memiliki cucu dari anaknya. Sementara Pak Ferdi menikahkan anaknya saja belum.

Pak Ferdi menatap Pak Parmin lekat. Orang dihadapannya itu adalah lulusan pondok. Bicaranya pun selalu sopan dan tertata. Di kala senggang juga sering membaca Alquran. Hanya nasibnya saja yang kurang beruntung dan hanya menjadi supir.

Saat ini Pak Ferdi sedang butuh banyak asupan nutrisi hati. Ia berpikir mungkin Pak Parmin juga bisa memberinya sedikit wejangan dalam masalah ini. Sebelum-sebelumnya pun Pak Ferdi sering berdiskusi soal agama dengan Pak Parmin, semisal sedekah, zakat dan yang lainnya.

"Pak, bagaimana keadaan anak-anak Bapak, sekarang?" tanya Pak Ferdi pada supir yang sudah lama bekerja dengannya itu.

"Alhamdulillah, baik semua Pak, yang sulung juga sudah melahirkan anak kedua kemarin," jawab Pak Parmin dengan sumringah.

"Wah, punya cucu baru, dong, ya?" Pak Ferdi tersenyum dan ikut senang dengan kehidupan supirnya itu.

Meski hanya dengan gaji sebagai supir ia mampu menghidupi istri dan lima orang anaknya. Wajahnya pun nampak selalu berseri, seakan hidupnya begitu bahagia.

"Iya, Pak. Alhamdulillah, nambah keluarga baru," jawab Pak Parmin lagi.

Ucapan hamdalah pun tak pernah luput ketika ia mengatakan nikmat yang didapatnya. Senyumannya juga begitu tulus dan tak pernah tersenyum miring.

"Pak, guru spiritual bapak siapa?" tanya Pak Ferdi lagi.

Jika muridnya saja bisa seperti ini, apalagi gurunya. Pikir Pak Ferdi sehingga ia menanyakannya.

"Guru spiritual bagaimana ya, Pak?" tanya Pak Parmin yang kebingungan dengan maksud pertanyaan majikannya itu.

"Eh ..., guru mengaji, dulu Bapak mondok di mana?" Pak Ferdi memperjelas pertanyaannya.

"Oh ..., dulu saya mondok di Garut, Pak. Pemilik pondoknya Kyai Asep," jawab Pak Parmin mantap.

Mobil terus melaju membelah jalanan. Di setiap ruas jalan tak luput dengan para tuna wisma yang menggantungkan hidup dari belas kasihan orang lain. Seringkali mereka lari kocar-kacir saat hendak diamankan petugas.

Pak Ferdi menatap orang-orang itu dengan tatapan tak suka. Mereka kebanyakan masih sehat dan bugar. Mereka sidang terlalu nyaman dengan meminta-minta. Meski tak sedikit pula yang benar-benar tak mampu bekerja.

Tak mau menghiraukan pemandangan di sampingnya, Pak Ferdi kembali larut dalam masalahnya. Hingga tak menyadari mobilnya sudah berada di depan rumah mewah miliknya.

"Pak, sudah sampai," kata Pak Parmin menyadarkan Pak Ferdi yang tenggelam dalam lamunannya.

Pak Ferdi terhenyak, kemudian mengangguk dan keluar dari mobil. Ia melangkah memasuki rumahnya. Baru saja memasuki ruang tengah, ia mendengar keributan dari arah dapur.

"Dasar, menantu enggak becus kamu ya. Bisanya Cuma ngabisin uang suami!" teriak Oma Nani yang sedang memarahi menantunya, Bu Alin.

"Rasain, makanya, Mbak, jangan mentang-mentang jadi istrinya Mas Ferdi jadi bisa seenaknya sama kita!" pekik Sita tak kalah keras dengan ibunya.

"Saya sudah minta maaf, lalu mesti bagaimana lagi?" tanya Bu Alin yang terdengar putus asa.

'Tuhan, ada apa lagi, ini?' gumam Pak Ferdi dalam hati.

Ia sepertinya sudah terlalu lelah menghadapi masalah hari ini. Ditambah dengan mendengar keributan yang sedang terjadi di rumahnya.

"Ada apa, ini?" tanya Pak Ferdi yang baru saja memasuki dapur.

"Nih, istri kamu sengaja bikin baju Sita robek!" jawab Oma Nani dengan suara yang tinggi.

"Maksudnya bikin robek gimana, Oma?" tanya Pak Ferdi yang tak mengerti.

Urusan baju dan pekerjaan rumah mereka telah memiliki asisten rumah tangga. Lantas mengapa baju adiknya bisa robek karena ulah istrinya.