webnovel

Oma Nani Menyebalkan

"Maksudnya bikin robek gimana, Oma?" tanya Pak Ferdi yang tak mengerti.

Urusan baju dan pekerjaan rumah mereka telah memiliki asisten rumah tangga. Lantas mengapa baju adiknya bisa robek karena ulah istrinya.

"Ya, kan, bajuku mahal, Mas. Jadi, aku minta Mbak Alin buat setrikain bajuku malah ditinggalin jadinya robek!" sungut Sita yang menjelaskan kejadiannya.

Tadi memang Sita kekeuh agar bajunya disetrika oleh Bu Alin, karena tak percaya dengan asisten rumah tangga di rumah Pak Ferdi. Tapi, Bu Alin ingin buang air kecil dan meninggalkannya sebentar.

Saat keluar kamar mandi, Oma Nani teriak-teriak ingin dibuatkan teh. Melihat Bi Ijah yang sedang sibuk akhirnya Bu Alin membuatkan dulu teh untuk mertuanya yang cerewet itu.

Baru kembali ke tempat setrika dan mendapati baju Sita telah berlubang.

"Ya ampun, aku lupa," gumam Bu Alin sambil melihat baju itu.

"Kalau begitu, Alin juga memang repot, kenapa enggak kamu setrika sendiri aja?" tanya Pak Ferdi pada adiknya itu.

"Kok, Mas, malah jadi nyalahin aku, sih?!" tanya Sita tak terima.

"Bukan nyalahin, ya, kan ada asisten rumah tangga, kenapa mesti sama Alin," elak Pak Ferdi.

Dulu ketika masih di rumah mertua jika terjadi pertengkaran seperti ini, Pak Ferdi selalu diam dan tak bisa berbuat apa-apa. Tapi, sekarang sangat terlihat kalau dirinya sangat membela istrinya.

Bu Alin terdiam, namun hatinya berbunga karena melihat suaminya yang sekarang berani membelanya.

"Ma, Sita, lagipula Revan, kan, kecelakaan. Apa tidak sebaiknya kalian kembali dulu ke rumah Oma?" Pak Ferdi mencoba memberi pendapat secara halus.

"Apa?! Jadi, kamu ngusir aku sama Mama, Mas?! Tega, kamu!" pekik Sita yang tersulut emosi.

"Dasar anak kurang ajar!" bentak Oma Nani pada Pak Ferdi.

"Hanya karena wanita ini, kamu berani sama Mama, Ferdi! Ingat, kamu bukan siapa-siapa tanpa Mama dan keluarga Adiyaksa!" pekik Oma Nani penuh amarah.

"Kalaupun tanpa Adiyaksa, mungkin aku akan merasa lebih beruntung," jawab Pak Ferdi pelan, namun tegas.

"Dasar, anak durhaka kamu, Mas!" bentak Sita.

"Ma, kita pergi dari sini!" Sita menggandeng tangan ibunya dan membawanya keluar dapur.

"Kita pergi dari sini! Tapi, ingat Ferdi, Mama akan hentikan semua saham kamu di perusahaan papamu!" bentak Oma Nani penuh amarah sembari berlalu menuju kamar tamu.

Setiap anak dari keluarga itu memang memiliki saham yang rata di perusahaan induk. Sementara Pak Ferdi juga menjalankan perusahaan miliknya sendiri. Meski hasilnya hanya setengah dari hasil sahamnya di perusahaan induk.

Pak Ferdi menggeleng pelan kemudian berjalan menuju kamarnya. Ia ingin tahu sejauh mana ibunya itu berani mengatur hidupnya. Dulu, itulah yang sangat ia takutkan, dihapus dari daftar pemegang saham keluarga. Namun, semuanya berubah sekarang.

Pak Ferdi baru menyadari justru dengan aturan-aturan keluarga yang membuatnya terjebak dalam situasi sekarang.

Pak Ferdi duduk di sisi kasur. Menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Lalu, mengacak rambutnya frustasi.

'Semua yang dikatakan Pak Denis, benar-benar terlalu sulit dilakukan,' gumam Pak Ferdi dalam hati.

Bu Alin memasuki kamar dan mendapati suaminya yang sedang terduduk di sisi kasur. Ia mendekatinya perlahan dan duduk di sebelahnya.

"Maafkan Mama, ya, Pa. Gara-gara Mama, jadi bertengkar dengan Oma dan Sita," ucap Bu Alin pelan.

Ada rasa bersalah yang menelusup dalam hatinya.

"Seharusnya dari dulu Papa bisa bicara tegas. Jadi, semuanya tak akan seperti ini. Tak akan ada Fira yang terjebak dalam masalah ini," tutur Pak Ferdi pelan.

Bu Alin terdiam, memang kenyataannya begitu. Dulu, dirinya sudah membujuk suaminya itu untuk jujur pada keluarganya. Tapi, Pak Ferdi menolak dengan berbagai alasan.

Mulai dari malu, takut dihapus dari keluarga, sampai akan bekerja di mana. Padahal, dirinya termasuk mahasiswa lulusan terbaik di kampusnya. Semuanya tak berarti saat Oma Nani selalu mendesaknya dan menakutinya tentang kerasnya kehidupan kerja di luar.

Ketika masih muda Pak Ferdi pun seringkali ingin mencoba hal baru dengan bekerja di luar. Disaat itulah Oma Nani dan suaminya selalu menjatuhkan mental Pak Ferdi dan anak-anak lainnya. Mereka jadi bergantung dari kekayaan orang tua dan begitu terkungkung dengan gaya hidup orang tua.

"Mau kerja di mana? Sudahlah di perusahaan Mama dan Papa juga banyak pekerjaan. Tanpa perlu melamar-melamar lagi, tanpa perlu capek sudah dapat saham dan jabatan tinggi!" hardik Oma Nani setiap kali ada anaknya yang ingin belajar mandiri.

Meski sebenarnya sikapnya itu tak sepenuhnya salah. Ia hanya khawatir pada keadaan anak-anaknya bila bekerja mandiri. Ia juga tahu pasti soal persaingan bisnis yang ketat.

"Tapi, Ma, aku hanya ingin mencoba," ucap Pak Ferdi saat itu yang keukeuh ingin bekerja di luar perusahaan keluarganya.

"Kalau begitu pergi saja! Tapi, jangan harap bisa kembali ke keluarga ini!" teriak Oma Nani yang menentang keinginan anaknya itu.

Seketika nyali Pak Ferdi menciut, ia terlalu takut mengambil resiko. Takut sekali bila hidup di luaran tanpa bantuan ibu dan ayahnya tersebut.

"Baik, Ma. Aku akan kerja di perusahaan papa saja," ucap Pak Ferdi pada akhirnya.

Karena sifat Oma Nani itulah, anak-anaknya begitu patuh dan takut terhadapnya. Meskipun suaminya telah meninggal.

Pak Ferdi tersadar dari lamunan masa lalunya. Kadang ia berandai, jika saja dulu bisa tegas mengambil keputusan. Pasti semuanya tak akan serumit ini.

Sekarang ia merasa harus menerima getah dari didikan ibunya dan ketidak beraniannya masa dulu. Sita juga pernah melakukan hal yang sama, apalah daya ia tak berani menentang ibunya. Tinggal si bungsu yang masih kuliah di luar negeri. Entah akan bagaimana nanti saat ia lulus kuliah.

Bu Alin berjalan mendekati jendela yang menghadap langsung ke taman depan rumah. Menatap taman yang penuh kenangan itu. Kenangan sejak Fira masih kecil, saat ia belajar berjalan dan berlari. Sampai akhirnya kini telah dewasa dan sudah ingin menikah.

***

Di kamarnya Fira sedang melamun sendiri. Di balkon yang menghadap ke samping rumah. Terhampar luas taman golf yang hijau dan masih ditanami beberapa pohon besar yang terawat.

Tempat golf tersebut merupakan salah satu aset yang dibeli ayahnya sepuluh tahun lalu.

Fira duduk di kursi yang ada di balkon. Berteman dengan sepi dan sunyi yang menghinggapi hatinya. Sesekali ia mengusap air mata yang tak kuasa ditahannya.

Setiap mengingat kekasihnya yang terkulai lemah di rumah sakit. Tapi, tak bisa dijenguknya. Juga sikap ibunya dan ibu Revan. Entahlah begitu rumit untuk mencari sebabnya.

'Aku tak pernah senyaman ini dengan seseorang, sampai saat pertama bertemu pun merasa sudah ada ikatan diantara kita,' gumam Fira dalam hatinya.

Fira berpikir bagaimana caranya ia tahu soal apa yang terjadi antara keluarganya dan keluarga Revan di masa lalu.