webnovel

Tergoda Wanita Penggoda

Di usianya yang sudah 25 tahun, Anita tak kunjung menemukan juga seorang pria yang mau mempersunting dirinya. Bukan karena ia jelek ataupun tak sempurna, hanya saja para lelaki di desanya tidak berani untuk mendekati Anita karena Anita merupakan putri tunggal seorang juragan yang begitu kaya raya. Kesal karena tak ada lelaki yang mau dekat dengannya, akhirnya Anita pun seringkali bertindak duluan. Anita sering menggoda lekaki yang ia temui di jalan. Akbar, seorang pria beristri namun sudah lama ini istrinya tak pernah pulang ke rumah karena memilih pergi dengan pria yang lebih muda dari Akbar. Dia sudah berusia 40 tahun. Memiliki begitu banyak bulu tipis di sekitaran dada bidang miliknya. Akbar adalah lelaki yang menjadi korban Anita. Setiap kali Akbar berjumpa dengan Anita, pasti Anita selalu saja menggodanya membuat Akbar menjadi tergoda.

Euis_2549 · 都市
レビュー数が足りません
20 Chs

Tak Ingin Mencintaimu Dalam Diam

"Akh masa sih, Bang? Kan Anita sudah bilang sama Abang, Abang ga usah malu-malu kayak gitu. Anggap saja ini adalah rumah mertua sendiri. Ingat ya, Bang, kalau cinta bilang cinta. Tak usah Abang sembunyikan cinta di balik luka. Aww ... keren ga, Bang? Keren ga kata-kata, Anita? Abang, izinkanlah Anita menyatakan cinta ini, Bang. Anita tak ingin mencintaimu dalam diam, Bang," celoteh Anita.

Pak Amir hanya bisa tepok jidat sembari geleng-geleng kepala melihat putri semata wayangnya itu mulai berulah.

'Haduh ... awalnya aku merasa nyaman di rumah ini, tapi gara-gara nih anak muncul, aku jadi ga nyaman gini'. Batin Akbar.

"Anita, udah, udah. Jangan digodain terus Bang Akbarnya. Mending sekarang cepat kamu ajak Bang Akbar makan gih sana," titah Pak Amir kembali.

"Siap, Pak. Bang Akbar, ayo dong, Bang, ayo kita makan. Makan nasi sama lauknya ya, Bang. Bukan makan hati. Hehe, kalau makan hati Anita ga mau. Anita maunya masuk ke dalam hati aja deh. Tapi hati Abang aja. Ga mau hati yang lain," tutur Anita.

"Anita ... astaga, udah cepat bawa Bang Akbarnya ke ruang makan," ujar Pak Amir.

"Bang Akbar, Abang mau Anita bawa ke ruang makan atau ke pelaminan, Bang?" goda Anita.

Akbar hanya dapat terdiam saja saat Anita terus saja menggodanya seperti itu.

"Anita ... astaga, udah sana bawa Bang Akbar ke ruang makan saja gih," titah Pak Amir kembali.

"Hehe ... iya deh iya. Bang Akbar, ayo, Bang," ajak Anita.

"Ga usah, Neng. Abang belum lapar," bohong Akbar.

"Udah, Bar, sana makan dulu. Ga boleh nolak loh," ucap Pak Amir.

"Eum ..." ragu Akbar.

"Udah gih," paksa Pak Amir yang membuat Akbar pada akhirnya mau tidak mau harus mengikuti langkah kaki Anita ke ruang makan.

Saat setelah berada di ruang makan, Anita langsung saja menyiapkan kursi untuk Akbar duduk.

"Silahkan duduk, Bang," titah Anita.

"Hm, iya," turut Akbar dengan sangat terpaksa.

"Abang Akbar ... Abang ... aha," ucap Anita sembari mengedipkan sebelah matanya dengan begitu genit. Lalu setelah itu dia pun mulai menaik turunkan alisnya.

Akbar hanya melirik sekilas saja, lalu setelahnya Akbar langsung memalingkan kembali pandangannya ke arah lain.

"Hn," sahut Akbar dengan begitu singkatnya karena dia sangat malas untuk meladeni ocehan Anita yang tak jelas.

"Aha ... Abang, mau Anita suapin ga, Bang? Biar Anita suapin aja ya, Bang. Supaya ga belepotan, ya. Abang mau, kan? Abang mau jadi suaminya Anita, kan? Aww ... ya jelas Abang mau dong. Iya kan, Bang? Ngaku aja kali, Bang," oceh Anita.

"Ga usah. Abang bisa makan sendiri," tolak Akbar.

"Hm ... ya baiklah," pasrah Anita yang saat itu dia hanya memperhatikan Akbar makan saja sedangkan dirinya sama sekali tidak ikut makan. Bahkan menyentuh makanannya pun saja tidak.

Akbar menyadari bahwa Anita hanya diam saja dan memperhatikan dirinya. Kemudian Akbar pun langsung menatap Anita dan menegurnya.

Awalnya Akbar hanya mengangkat kedua bahunya dan juga menaik turunkan dagunya sebagai isyarat dia bertanya kepada Anita. Seolah dia sedang berkata kamu kenapa.

Anita hanya diam saja sembari menggelengkan kepalanya.

"Kenapa? Kenapa diam saja? Apa Neng tidak mau ikut makan?" tanya Akbar pada akhirnya.

"Abang ... boleh ga kalau Anita makannya barengan sama, Abang? Hm ... maksudnya sepiring berdua gitu, Bang," pinta Anita. Tak lupa Anita memperlihatkan wajah memelasnya itu. Dia seperti anak kucing yang sedang minta ikan kepada majikannya.

"Nggak! Nggak boleh! Jelas ga boleh!" larang Akbar.

"Hm ... Bang Akbar mah tega ikh ... masa ga boleh sih. Eh, tapi gapapa deh. Eum, kalau Anita ga boleh makan bareng sama Abang, nanti biar Anita makan di piring bekas makannya Bang Akbar aja deh," cicit Anita.

"Kenapa harus di piring bekas sih? Kan masih banyak piring yang baru juga," ujar Akbar.

"Gapapa, Bang. Ibu aja sering kok makan di piring bekasnya Bapak. Kata Ibu, itu supaya rasa cinta di antara mereka berdua semakin kuat. Abang tahu ga? Katanya ya, kalau pasangan makan di tempat makan bekas pasangannya, itu akan menambah rasa cinta," cicit Anita.

Seketika itu juga, Akbar ingin tertawa karena merasa lucu dengan ucapan Anita. Tapi sebisa mungkin Akbar langsung saja menahan tawanya tersebut. Dia ingin menjunjung tinggi harga dirinya.

"Hm ... ya sudah, berarti kalau gitu, biar nanti istri Abang saja yang makan di piring bekas yang sudah Abang pakai. Biar rasa cinta di antara kami berdua semakin kuat," celetuk Akbar.

Sontak saja Anita langsung terdiam membisu. Kemudian Anita langsung menggebrak meja dengan begitu kerasnya sehingga membuat Akbar terkejut. Bahkan sendok berisi nasi dan lauk yang akan ia masukan ke dalam mulutnya sampai terjatuh dan terlepas dari genggaman tangannya jatuh ke atas lantai.

Akbar juga menjadi membuka mulutnya dan sampai sekarang mulut itu belum tertutup kembali karena masih merasa syok oleh tindakan yang telah Anita lakukan.

"Abang!" marah Anita.

"Apa?" tanya Akbar dengan begitu polosnya karena dia masih merasa bingung dengan sikap Anita.

"Abang boleh saja tidak suka kepada Anita. Tapi ingat ya, Bang, Anita itu ga suka kalau Abang terus saja membahas tentang istri Abang di hadapan Anita. Anita tidak suka, Bang," kesal Anita.

"Oh," sahut Akbar singkat saja.

"Ish ... oh doang. Dasar menyebalkan. Anita ngambek ya, Bang. Anita ngambek nih," ancam Anita.

"Ya udah. Ngambek aja gapapa kok," cuek Akbar.

"Abang ga akan bujuk Anita gitu?" tanya Anita.

"Nggak! Buat apa juga pake bujuk segala? Mau ngambek ya ngambek aja. Ga ada urusannya sama sekali dengan Abang," celetuk Akbar.

"Ish ... jadi kalau Anita pergi, Abang ga akan ngejar, ya?" tanya Anita kembali.

"Nggak! Udah sana kalau mau pergi. Mau ngambek juga silahkan," santai Akbar.

"Hm ... ya udah deh. Anita ga jadi ngambek kalau gitu," ujar Anita.

"Loh, kenapa?" tanya Akbar.

"Buat apa juga ngambek kalau ga dibujuk. Mending juga godain Abang aja. Itu lebih bermanfaat daripada ngambek," tutur Anita.

'Ahaha ... astaga, nih anak ada-ada saja deh. Masa mau ngambek sampai ga jadi'. Batin Akbar.

"Terserah kamu," jutek Akbar.

"Bener nih, Bang? Bener terserah Anita?" tanya Anita.

"Ya tentu saja," jawab Akbar.

"Kalau terserah Anita, berarti ... ekhm, berarti Anita boleh dong ngapa-ngapain, Bang Akbar? Kan terserah Anita," ucap Anita.

"Astaga ... ya ga gitu juga kali. Iya, memang terserah kamu. Tapi kata terserah itu hanya bisa kamu gunakan untuk dirimu sendiri dan apapun yang ingin kamu lakukan terserah. Tapi ... ingat ya, kata terserah itu tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan saya!" tegas Akbar.