webnovel

Tentang Keikhlasan

Pada kenyataannya luka itu tidak akan pernah hilang. Karena luka itu akan membekas. Yang sewaktu-waktu luka itu akan kembali datang. Di tempat yang sama, bahkan luka itu dapat lebih dalam lagi dan lebih menyakitkan dari sebelumnya. ~Rani Adhwa Salsabila Indah... Kata itu begitu melekat menggambarkan dirimu. Bagaikan lukisan jika dipandang, tidak akan membuat orang berpaling. Menelusuri setiap titik lukisanmu yang menyimpan sebuah rahasia. Di mana tidak semua orang bisa menemukan rahasia itu. Rahasia yang dapat menunjukkan senyuman sekaligus luka dalam waktu yang sama. ~Muhammad Ali Arifansyah

Cocha · 歴史
レビュー数が足りません
17 Chs

Bagian 2 | Rasa

Selamat membaca! 😊

___________________________

Kadang kala kita pernah merasa jenuh dan kecewa dengan apa yang kita terima. Terlebih jika itu tidak sesuai dengan keiinginan kita sendiri.

Contohnya, menikah. Ingin rasanya di saat pernikahan akan ada momen yang sangat spesial. Yang membuat kita tidak akan melupakan momen itu.

Membuat momen berkesan yang akan selalu kita ingat hingga nanti.

Menikah dengan hanya di hadiri keluarga dan sahabat-sahabat dekat adalah salah satu momen yang sangat membekas.

Bahkan mungkin itu sebuah impian beberapa orang. Termasuk Adhwa.

Dia sangat ingin pernikahan seperti itu. Tapi apalah daya jika takdir tidak berkehendak.

Yang seharusnya bahagia, tersenyum, ceria. Tapi yang dirasakan Adhwa sebaliknya.

Meski tidak dipungkiri ada sedikit rasa bahagia karena pernikahan ini terlaksana dengan baik. Namun itu tidak bisa menutupi keseluruahan rasa pilunya dalam hati.

Dia ikhlas. Dia ikhlas dengan kepergian orang tuanya. Hanya saja terkadang ada momen di mana dia ingin sekali mengulang masa saat masih bersama mereka.

Dan saat ini, rasa itu muncul. Di mana dia ingin sekali memeluk mereka. Berbagi kebahagiaan bahwa pada akhirnya dia menikah.

Dapat mematahkan opini orang-orang yang berpikir buruk tentang dirinya dan keluarganya. Membuktikan bahwa yang orang-orang itu katakan tidak benar.

"Dek."

Mendengar panggilan itu membuat Adhwa tersadar dari lamunannya. Segera dia usap sudut matanya yang berair tanpa permisi.

"Ya?" Adhwa menolah ke kanan. Melihat Safiya mendekat dan duduk di sampingnya. "Kok di sini? Yang lain di bawah loh."

Keduanya berada di lantai atas. Tepatnya duduk di sofa dengan santai sambil menonton TV.

"Lagi pengen di sini aja."

"Jangan suka menyendiri. Nggak baik itu. Entar dikira sombong loh kamu." Safiya menepuk pelan pundak gadis itu.

"Iya mbak."

"Dan jangan suka bengong. Ini udah malam."

"Iya mbak Safiya..."

"Kalau cerita, cerita aja. Jangan suka di pendam sendiri."

Yang tadinya dia sudah berusaha menahan diri untuk tidak menangis, perlahan air matanya mulai memberontak ingin keluar.

"Aku-"

"Mbak." Potong seseorang dari arah tangga yang berada di arah kanan Safiya.

Keduanya menoleh dan melihat Ali berjalan menghampiri mereka.

"Apa Al?"

"Di panggil Mas Arya."

"Oke." Wanita itu beranjak dari sofa. Lalu menengok ke Adhwa. "Mbak ke bawah ya?"

Adhwa mengangguk. "Iya."

Safiya berlalu pergi. Sekarang tinggal Ali dan Adhwa.

"Boleh aku duduk sini?" Adhwa mengangguk.

"Kenapa nggak gabung sama yang lain?"

"Nggak pa pa. Pengen di sini aja." Tatapan gadis itu mengarah ke depan, tepatnya ke TV.

Pandangan Ali ikut ke arah TV. Sebenarnya dia sangat gugup. Rasanya seperti anak ABG yang mau PDKT.

"Suka nonton komedi?" Tanya pria itu. Yang melihat tanyangan lawak di TV.

"Lumayan."

"Eumm, kamu sama Mbak Fiya deket banget ya?"

Pria itu tidak tahu mau membahas apa. Dan otaknya harus diasah untuk mencari topik pembicaraan.

"Yaaa, karena nggak punya saudara perempuan juga. Jadi itu yang buat kita deket."

Ali manggut-manggut sembari mencari kata-kata apa lagi yang harus diucapkan.

"Oh ya, rumah kamu sekarang di tempati siapa?"

"Myra." Gadis itu sekilas menengok ke Ali. "Semenjak aku sama almarhumah bunda pindah ke sini, Myra yang tinggal di sana. Dan itu sesuai permintaanku. Dari pada dia harus kos." Adhwa diam sejenak. Dia menghembuskan nafas pelan. "Lagi pula, aku mau rumah itu tetap terawat. Seenggaknya ada yang menjaga rumah itu agar tetap hidup. Karena kalau dikontrakin, pasti lama dapatnya."

"Dan kalau sewaktu-waktu kamu ke sana, kondisinya tetap sama dan nggak berubah. Benarkan?" Ali menengok, menatap gadis itu seraya tersenyum.

Adhwa pun ikut tersenyum mendengar penuturan pria itu. Memang benar yang dikatakan Ali. Adhwa ingin rumah itu tetap sama. Agar kenangannya pun tetap terjaga.

"Aku mau tanya sesuatu boleh?"

"Tanya apa?"

"Kalau boleh tahu, kamu, kenapa mau menerima pernikahan ini?" Tanya Ali dengan hati-hati. Jujur saja, dia tidak berani menanyakan ini. Tapi rasa penasarannya terus menghantui.

Sontak sorot mata Adhwa berubah. Dia cukup terkejut dengan pertanyaan itu. Lebih tepatnya belum siap jika ditanya tentang itu.

"Eeumm, aku-aku hanya ingin memenuhi permintaan terakhir bunda." Kalimatnya terhenti. "Dan ayah." Lanjutnya seraya menatap ke depan.

Namun kali ini tatapannya kosong. Dan pikirannya berkelana entah ke mana.

Kening Ali berkerut. "Ayah?"

Adhwa mengangguk pelan. "Ayah mau melihat putrinya menikah. Ayah ingin menikahkan putrinya. Melihat putrinya bahagia di hari pernikahannya."

Entah sadar atau tidak, air mata itu sudah mengalir tanpa permisi. Adhwa tidak mengusapnya ataupun menahannya. Dia tidak bergerak sedikitpun. Hanya menatap kosong ke depan.

Mengingat kejadian 2 tahun lalu. Peristiwa di mana dia kehilangan ayahnya di hari spesial. Hari di mana seharusnya dia bahagia bersama orang yang dicintainya.

Tapi semua itu hancur, dan orang yang dicintainya itu yang menjadi penyebabnya. Dia telah menghancurkan kebahagiaan itu. Sekaligus menjadi pemicu ayahnya pergi untuk selamanya.

Andaikan waktu itu dia datang, semua ini tidak akan pernah terjadi.

Bersamaan dengan lamunannya, rasa hangat tiba-tiba menjalar ke aliran darahnya. Dan itu berpusat di tangannya.

Segera dia melihat ke tangan kanannya. Keningnya berkerut, melihat tangan berukuran lebih besar mengenggam tangannya.

Kemudian dia mendongak, menatap pria itu sedang tersenyum lembut padanya.

Dan entah apa yang terjadi dengan dirinya, secara tiba-tiba dia memeluk tubuh pria itu.

Memeluknya erat seakan berlindung dari badai yang menerjang.

Yang awalnya dia menangis tanpa sadar, sekarang dia keluarkan dengan puas.

Perlahan isakkan itu terdengar dengan jelas. Menuangkan segala rasa pedih yang dia pendam. Rasa pilu yang berusaha dia tahan. Rasa sakit yang berusaha dia hilangkan. Semua berhamburan keluar tanpa beban.

Isakkannya bertambah ketika Ali membalasnya lebih erat. Pria itu juga mengusap pelan punggung Adhwa. Berusaha untuk menenangkan gadis itu.

Dia merasakan nyeri seketika saat melihat gadis itu menangis. Ditambah isakkannya yang membuat nyeri itu terasa menusuk hingga ke dasar hatinya.

"Mungkinkah cinta itu telah tumbuh dalam hatinya?" Kalimat itulah yang terlintas dalam pikiran Ali.

"Menangis tidak bisa menandakan bahwa orang itu lemah. Melainkan memberitahu bahwa ada kalanya manusia itu butuh waktu untuk meluapkan rasa sakit yang dia rasakan. Dan butuh waktu untuk berbagi cerita kepada Sang Pencipta."

"Jadi menangislah. Setidaknya meringankan sedikit bebanmu." Lanjutnya dengan mengusap kepala Adhwa dengan lembut.

Itulah kalimat yang meluncur dari bibir Ali. Pria itu ikut merasakan apa yang Adhwa rasakan.

Dia masih terus berusaha menenangkan gadis itu. Setidaknya sekarang, dia bisa menjadi sandaran gadis itu untuk mengungkapkan rasa sedihnya.

***

Matahari sudah memunculkan diri, pertanda hari sudah pagi.

Selepas sholat subuh tadi, para penghuni rumah melakukan aktivitasnya masing-masing. Dan pagi ini Adhwa sedang mempersiapkan kepindahannya ke rumah sang suami.

"Dek." Panggil seseorang dari pintu kamar.

Adhwa menoleh ke kanan. "Boleh masuk?"

Gadis itu menangguk. Lalu meneruskan kegiatannya memasukkan pakaian ke dalam tas.

Sedangkan Arya berjalan mendekatinya. "Kamu beneran mau pindah ya?" Tanyanya sesaat duduk duduk bersila di samping Adhwa.

"Menurut mas?"

"Sepi dong rumah, dek." Entah kenapa seakan Arya merasa kehilangan sesuatu yang berharga.

Adhwa tersenyum geli saat melihat orang itu mendadak jadi sedih. "Kemarin aja, diajak berantem mulu. Sekarang jadi kayak nggak rela aku pindah."

"Dek. Ntar kalau aku kangen, telpon ya?" Ujarnya.

"Ya mas lah yang telpon, kan mas yang kangen."

Arya terkekeh menatap adik kesayangannya. "Emang kamu nggak kangen?"

"Enggak. Tiap hari di kerjai mulu." Adhwa mengerucutkan bibir. Dan Arya kembali terkekeh.

"Mas itu sayang sama kamu." Adhwa tersenyum mendengar itu. Tapi itu tak bertahan lama. "Tapi rasanya kurang kalau nggak ngerjai kamu."

Gadis itu langsung memukul Arya dengan gantungan baju. "Aduh." Baru saja membuatnya terbang, langsung menjatuhkannya.

"Heheh bercanda." Adhwa kembali cemberut.

Andaikan Arya itu kakak kandungnya, pasti dia bisa memeluknya. Sebab, sepupu bukan termasuk mahram.

"Jadi istri yang baik. Kalau ada masalah sekecil apapun, dibicarakan baik-baik. Harus dengan kepala yang dingin. Jangan pakai emosi. Terus juga cengengnya dikurang-kurangin." Tutur Arya.

Bersamaan dengan itu terdengar suara pintu terbuka. "Adhwa." Panggil seseorang.

"Aku ganggu ya?" Tanya orang itu.

"Enggak kok Al." Jawab Arya. "Biasa, lagi drama perpisahan." Katanya lagi. Namun keningnya berkerut saat melihat Adhwa mengusap sudut matanya. "Dih. Dia nangis." Ejeknya pada gadis itu.

"Tuuh kan, baru juga manis-manisan. Udah ngeledek lagi." Protes Adhwa seraya memukul lengan Arya untuk kedua kalinya.

Arya tertawa renyah dengan respon gadis itu. Sementara Ali yang berdiri didekat pintu hanya tersenyum hangat melihat interaksi keduanya.

"Maaf-maaf. Mas bercanda, dek." Kata Arya disisa-sisa tawanya.

"Tau ah." Ketus Adhwa. Dan Arya semakin menikmati wajah kekesalan adiknya itu. Sampai lupa dengan tujuan Ali datang menghampiri.

"Astaghfirullah. Sampai lupa, kamu tadi ke sini kenapa Al?" Tanya Arya seraya berdiri.

"Itu, bude manggil buat sarapan."

"Ooh." Arya menunduk menatap adiknya yang melanjutkan kegiatannya tadi. "Kamu mau ikut nggak?"

"Nanti dulu, selesai in ini bentar."

"Yaudah. Mas duluan." Pria itu berlalu pergi.

"Hm." Gumam Adhwa.

"Ayo Al." Kata Arya sesaat di depan Ali.

"Iya mas. Nanti nyusul."

Mendengar ucapan sang ipar, muncul ide jahil di otaknya. Dia berbalik menatap Adhwa. "Ooh, jadi nggak ikut mas karena pengen berduaan sama suami?" Kata Arya dengan tersenyum jahil.

Sontak Adhwa mendongak cepat. Yang kekesalannya tadi sudah mereda, sekarang muncul dan langsung ingin menyembur.

"Mas Arya!" Arya langsung berbalik dan lari keluar kamar, sebelum dia kena lemparan apapun yang ada di kamar itu.

Dan kali ini Ali terkekeh melihat tingkah keduanya. Meski dia sedikit salah tingkah karena ucapan Arya tadi.

Selepas Arya pergi, Adhwa meneruskan kegiatannya yang tinggal sedikit. Dia juga berusaha menetralkan jantungnya yang berdetak kencang.

Karena sekarang dia hanya berdua dengan Ali. Mengingat juga kejadian semalam. Saat tiba-tiba dirinya memeluk pria itu.

Jujur saja, meski faktanya Ali sudah sah menjadi suaminya, tak bisa menghilangkan rasa gugup dan canggung dirinya ketika bertatap muka.

"Masih banyak?" Tanya pria itu seraya memdekat.

"Enggak kok. Tinggal 2 pakaian."

"Oh. Eumm, pakaian kamu bisa disisain di sini beberapa aja. Jadi nanti kalau kapan-kapan kita menginap di sini lagi, nggak perlu bawa-bawa pakaian."

Adhwa mengangguk. "Iya. Pakaian Mas Ali yang di bawa kemarin, sekalian aku tinggal di sini aja ya?"

"Iya."

"Yaudah. Aku udah selesai. Turun yuk." Kata Adhwa sambil membawa tasnya. Sementara Ali membawa drona box milik gadis itu.

***

"Kalian jadi berangkat jam berapa, Le?" Tanya Ambar yang berada di dapur.

Mereka habis sarapan, dan sekarang Adhwa bersama Safiya membantu Ambar membereskannya.

"Setelah ini sih, bude." Jawab Ali yang duduk di kursi makan bersama Arya dan juga Haidar.

"Ooh. Kalau bude pinjem Adhwa bentar boleh kan?"

Timbul kekehan dari yang lain saat mendengar pertanyaan Ambar.

"Ya boleh lah bude." Jawab Ali seraya tersenyum.

"Ibu ada-ada sih. Emang Adhwa itu barang?" Kata Haidar yang sedang membaca koran.

"Ya kan sekarang Adhwa udah nikah. Jadi ya harus izin sama suaminya."

"Iya deh, iya." Haidar memilih mengiyakan dari pada harus panjang urusannya dengan sang istri.

"Emang ibu mau bawa Adhwa ke mana?" Tanya Arya.

"Mau ke pasar. Sama Safiya juga."

"Lah, ibu nggak izin dulu sama Arya? Arya kan suaminya Safiya."

"Kalau Safiya kan sama aja putrinya ibu. Jadi ibu bawa ke mana-mana juga nggak pa pa."

"Terus Adhwa bukan putrinya ibu?" Arya sepertinya sedang cari-cari masalah dengan ibunya.

"Eh, kamu sengaja mau mancing ibu ya?" Ucap Ambar ketika tahu gelagat mencurigakan anaknya.

Arya tertawa ketika ibunya menyadari hal itu. Segera Ambar mengambil sapu di dekatnya dan menghampiri putranya itu.

Di rasa dalam bahaya, Arya beranjak dari kursi dan berlari menghindari sang ibu.

"Berani kamu ya, ngerjai ibu. Kasih pertanyaan yang menjebak." Kata Ambar seraya memukul Arya dengan sapu.

"Ampun bu! Ampun! Maaf!" Pekik Arya saat sapu itu mengenai pahanya. Meski sebenarnya pukulan itu juga tidak keras.

Alhasil keduanya kejar-kejaran.

Sementara Haidar geleng-geleng melihat tingkah istri dan anaknya. Adhwa dan Safiya tertawa renyah saat melihat Arya teriak minta ampun.

Berbeda halnya dengan Ali, tatapan pria itu tertuju pada gadisnya. Yah, gadisnya. Terasa lucu ketika mendengar kata itu. Tapi memang gadis itu sudah menjadi istrinya.

Mendengar tawa itu, berbanding terbalik saat semalam gadis itu menangis. Ada rasa bahagia saat tawa itu terdengar.

Yah, sepertinya memang benar. Dia telah jatuh cinta. Jatuh cinta pada istrinya. Rani Adhwa Salsabila.

🍁🍁🍁

"Begitu indah saat rasa itu tumbuh di dalam hati.

Ketika jatuh cinta pada seseorang yang telah halal untuk kita."