webnovel

Tentang Keikhlasan

Pada kenyataannya luka itu tidak akan pernah hilang. Karena luka itu akan membekas. Yang sewaktu-waktu luka itu akan kembali datang. Di tempat yang sama, bahkan luka itu dapat lebih dalam lagi dan lebih menyakitkan dari sebelumnya. ~Rani Adhwa Salsabila Indah... Kata itu begitu melekat menggambarkan dirimu. Bagaikan lukisan jika dipandang, tidak akan membuat orang berpaling. Menelusuri setiap titik lukisanmu yang menyimpan sebuah rahasia. Di mana tidak semua orang bisa menemukan rahasia itu. Rahasia yang dapat menunjukkan senyuman sekaligus luka dalam waktu yang sama. ~Muhammad Ali Arifansyah

Cocha · History
Not enough ratings
17 Chs

Bagian 3 | Momen Yang Terulang

Selamat membaca! 😊

___________________________

Sesuai permintaan Ambar, Adhwa dan Safiya akan di ajak ke pasar. Mereka bertiga sekarang berada di sebuah pasar tradisional yang tak jauh dari rumah.

Ketiganya berbelanja keperluan dapur seraya mengobrol tentang apapun. Bahkan sampai pedagang yang di sana pun jadi bahan obrolan.

"Oh ya nduk, bukannya kamu ketemu pertama kali sama Ali di pasar ini kan?" Celetuk bude yang sedang memilih-milih tomat.

Adhwa tersenyum malu mendengar ucapan budenya. "Iya bude. Persis di tempat ini sih." Jawab gadis itu seraya mengingat momen itu.

Flashback On

Saat itu dia sedang membawa 2 kantong kresek berisi keperluan dapur yang memang banyak dan membuatnya kesusahan membawa.

Karena kalau budenya yang bawa, kasihan. Jadi dia bawa saja. Tapi ternyata kantong itu cukup berat. Bahkan membuat tangannya yang memerah.

Dan dia akan menaruhnya sejenak ketika keduanya berhenti.

Kemudian diangkat lagi saat berpindah toko lagi. Tapi sepertinya dia sedang tidak beruntung. Baru saja dia mengangkatnya dan akan melangkah, ujung kakinya tersandung bata yang mencuat.

Dan dia akan tersungkur kalau tidak di tahan seseorang.

Jantungnya berdetak kencang saat tahu jika tidak jadi jatuh. Dia menetralkan nafasnya yang tak beraturan.

Saat nafasnya kembali normal, dia menyadari jika lengan kirinya masih dalam genggaman seseorang.

Segera dia menoleh ke orang itu. Dan dilihatnya seorang pria memakai kaos hitam polos. Dengan celana jeans warna biru muda. Lalu rambut hitam pekat yang sedikit berantakan dan juga keringat yang membasahi dahinya. Mungkin karena ramainya pasar yang membuat suasana menjadi pengap. Berhubung ini juga pasar tradisional yang lantainya juga bukan keramik melainkan batu bata yang sudah ada beberapa yang mencuat.

"Kamu nggak pa pa?" Tanya pria itu. Sambil melepas genggamannya.

"Nggak pa pa, mas. Makasih." Jawab Adhwa disertai senyum kaku.

"Lain kali hati-hati. Atau mau saya bantu?"

Gadis itu langsung menggeleng cepat. Tidak mungkin dia menerima tawaran bantuan dari orang yang baru dia kenal. Bukan karena dia berburuk sangka, tapi memang dia tidak terlalu suka berurusan dengan orang baru. Adhwa segera mengangkat kembali kantong kreseknya dan berjalan pergi. Tapi sebelum dia melangkah, Ambar sudah berjalan mengampirinya.

"Nduk, kenapa?" Tanya budhe dengan kening berkerut.

"Nggak pa pa bude, ini aku tadi kesandung. Terus di tolongin masnya ini."

Kepala budhe otomatis menoleh ke samping kanan. Melihat seorang pria berdiri tegak dan tersenyum kepadanya.

Dan satu lagi, pria itu cukup tinggi. Adhwa hanya sedagunya. Padahal gadis itu juga tidak pendek-pendek banget. Tingginya sekitar 165 cm.

"Terima kasih sudah menolong keponakan saya." Bude tersenyum ramah.

"Sama-sama, bu." Sahut pria itu seraya tersenyum kembali.

"Kalau gitu kami permisi dulu." Gadis itu menggandeng budhe dan tersenyum. Pria itu mengangguk dengan senyuman manis.

Flashback Off

"Duh, udah kayak di FTV-FTV." Tambah Safiya yang menimbulkan kekehan dari keduanya.

Mengingat pertemuan pertama itu membuat Adhwa senyum-senyum sendiri.  Masalah jodoh memang tidak ada yang tahu.

Yang awalnya tidak kenal, menjadi dekat. Bahkan menjadi seorang suami. Dan justru yang di rencanakan malah menjauh, bahkan tak tahu sekarang ada di mana.

***

Selepas dari pasar, Adhwa dan Ali langsung berangkat. Karena Nyonya Arini sudah menelepon untuk segera berangkat.

Dan yah, mereka terjebak macet. Hal yang paling dihindari oleh kebanyakan orang.

"Maaf ya, kita jadi kejebak macet." Ucap Adhwa tak enak.

Kening Ali berkerut. Dan detik selanjutnya tersenyum lembut. "Nggak pa pa. Bude kan pengen menghabiskan waktu sama kamu sebelum pindah."

"Iya sih."

"Lagian ada untungnya sih, kalau macet." Kata pria itu sambil melihat spion.

Adhwa menoleh ke kanan. "Apa?"

"Punya waktu berdua sama kamu." Ucapnya sambil tersenyum manis.

Sementara Adhwa menggigit bibir dalamnya untuk menahan senyum. Dia juga langsung memalingkan wajah ke kiri.

Ali terkekeh melihat reaksi Adhwa. Membuat ide jahil muncul di kepalanya.

"Cuaca kayaknya lagi bagus ya?" Kening Adhwa berkerut.

"Di sini ada bunga bermekaran soalnya." Lanjutnya.

Membuat Adhwa semakin menyembunyikan wajahnya. Dia benar-benar malu sekarang. Bahkan bibirnya memberontak ingin tertarik ke atas.

Sedangkan Ali semakin gencar menggoda istrinya. Dan sepertinya itu menjadi hobi barunya sekarang.

"Ada yang senyum tapi disembunyiin. Padahal senyum itu ibadah loh. Apalagi kalau senyum di depan suami. Menyejukkan hati sekaligus dapat pahala." Katanya lagi dengan tersenyum senang.

Adhwa yang sedari tadi berusaha menahan senyumnya menjadi kesal. Tapi tetap berusaha untuk tenang.

"Mas Ali fokus nyetir aja deh." Ucap Adhwa dengan memberanikan diri untuk menatap pria itu.

Pria diam sejenak. Dan menoleh ke Adhwa saat mobilnya berhenti di lampu lalu lintas.

"Senyum, senyum aja. Nggak usah ditahan." Ali menatapnya lekat sambil tersenyum lembut.

"Ih, siapa yang senyum." Elak Adhwa seraya memalingkan wajah ke depan.

"Makin cantik kok kalau senyum."

Refleks Adhwa menutup mulutnya dengan tangan kiri. Yang memicu tawa renyah dari sang suami.

Adhwa sudah tak tahan lagi untuk memunculkan bulan sabitnya.

Pada akhirnya dia tetap ketahuan senyum meski sudah ditutup tangan.

"Nah, gitu kan cantik. Adem lihatnya." Goda Ali sambil menjalankan mobil ketika lampu sudah berganti hijau.

"Nyebelin kamu mas." Ali terkekeh sembari fokus menyetir.

"Aku mau senyuman itu selalu ada. Yang di mana aku adalah alasan untuk kamu tersenyum."

Deg

Rasanya seakan terhimpit dalam sebuah ruangan yang sepit dan pengap secara mendadak. Yang tadinya Adhwa tersenyum, menjadi tegang sekaligus sendu.

Dia segera memalingkan wajah ke kiri. Berusaha menetralkan nafas yang sedikit memburu. Dia tidak mengerti, bagaimana bisa dari sebagian banyak kalimat. Kenapa harus kalimat itu yang terucap.

Meski tidak sama persis, namun inti kalimat itu tetap sama. Lalu diucapkan oleh orang yang berbeda.

"Aku mau ke minimarket dulu, kamu mau nitip nggak?"

Adhwa diam tak menjawab, gadis itu masih terbawa dengan kalimat tadi.

"Adhwa, kamu mau nitip nggak?" Tanya Ali lagi. Pria itu masih belum menyadari karena fokus menyetir.

Dan dirasa tak ada jawaban lagi, pria itu menoleh. Keningnya berkerut ketika melihat Adhwa memandang jendela dengan tatapan kosong.

Dia segera memarkir mobil saat sudah sampai di minimarket.

"Adhwa." Panggil Ali seraya melepas sabuk pengaman.

Gadis itu tetap diam. Ali menyerongkan tubuhnya untuk lebih leluasa melihat Adhwa.

"Adhwa. Hei." Kata Ali sambil menggoyang pelan lengan istrinya.

Gadis itu tersadar dan mengerjapkan mata. Dia menoleh ke kanan. "Ya?"

"Kamu kenapa?" Tanya Ali dengan nada khawatir.

"Eng-enggak. Nggak pa pa."

"Bener?"

"Iya. Aku tadi cuma...kepikiran bude aja. Kan, pasti nanti kita bakal jarang ketemu." Elaknya dan tersenyum. Berusaha untuk menutupi kegugupannya.

Ali diam. Tidak yakin dengan jawaban Adhwa. Namun pada akhirnya dia tersenyum.

"Yaudah. Aku turun dulu." Adhwa mengangguk.

"Kamu mau nitip nggak?"

"Eemm." Dia nampak berpikir. "Ice cream."

"Mau ice cream apa?"

"Ee..dung dung. Yang kacang hijau itu."

"Oke. Kamu tunggu di sini ya." Adhwa mengangguk dan Ali keluar dari mobil lalu berjalan ke minimarket.

Setelah beberapa menit, Ali keluar dengan membawa 1 kantung kresek bermerk, berukuran kecil.

Adhwa menoleh ke kanan saat pria itu masuk dan duduk di bagian kemudi.

"Nih, sesuai pesanan." Ujar Ali sambil menyerahkan kantung itu.

Adhwa tersenyum manis. "Makasih." Dia menerima dan membukanya.

"Kok banyak banget?" Tanyanya saat tahu ice creamnya lebih dari 1.

Pria itu tersenyum manis. "Nggak pa pa. Buat simpenan." Ucapnya sambil memasang kembali sabuk pengamannya dan menjalankan mobil.

"Yaah, nanti kalau kelupaan kan, sayang." Ucap Adhwa sambil mengambil 1 ice creamnya.

"Apa?"

"Apa..apanya?" Kening Adhwa berkerut tak mengerti. Dia menoleh ke Ali.

"Tadi, yang kamu ucapin."

"Yang mana?"

"Yang terakhir."

"Ituu..kan nanti kalau beli banyak, terus kelupaan kan, sayang." Katanya tanpa menyadari jika Ali sedang mengerjainya.

"Iya sayang. Kan bisa buat yang lain juga." Ucap pria itu dengan santainya. Tanpa memikirkan bagaimana reaksi Adhwa selanjutnya.

"Ish! Kamu ngerjai aku ya." Ucap gadis itu dengan kesal seraya memukul pelan lengan Ali. Dan ice creamnya mendarat kembali ke pangkuan.

"Aduh. Kok dipukul sih?" Ujar Ali dengan terkekeh.

"Salah sendiri ngeselin." Adhwa memalingkan wajah dan cemberut.

Ali tergelak melihat Adhwa kesal. "Maaf...kan nggak ada yang salah?" Ucapnya sambil mengusap sayang kepala Adhwa yang tertutup jilbab pink soft.

Gadis itu tetap cemberut meski tak dipungkiri jantungnya berdegup kencang saat Ali mengusap lembut kepalanya.

"Memangnya nggak boleh, aku panggil kamu 'Sayang'?"

"Nggak tahu ah." Jawab Adhwa yang terlanjur kesal.

"Ih. Kok gitu sih?" Ali menatap Adhwa sekilas. "Yaudah, besok-besok aku panggil 'Sayang' nya ke yang lain aja."

Gadis itu menoleh cepat. "Jangan."

Ali tersenyum manis. Rasanya seperti berada di taman dengan ribuan kupu-kupu yang bertebangan.

"Ma-maksudku. Itu. Yaa..itulah." Adhwa menatap ke depan. Menghindari kontak mata dengan pria itu.

"Kalau panggil 'Sayang' ke keluarga boleh kan?"

"Ya boleh- terserah kamulah."

"Katanya tadi jangan. Sekarang kok terserah?" Sepertinya Ali mulai menikmati pekerjaan barunya, yaitu menggoda istrinya sendiri.

"Nyebelin kamu. Nggak ada bedanya sama Mas Arya."

Ali terkekeh. "Ternyata bener ya, kata Mas Arya. Seru godain kamu."

Adhwa semakin memberengut ketika mendengar ucapan Ali.

"Jangan cemberut gitu. Ice creamnya leleh tuh."

"Udah nggak mood."

"Mas minta maaf deh. Maaf yaa.." Ucap Ali sembari mengusap kembali kepala Adhwa dengan lembut.

Jantung Adhwa kembali berdetak kencang. Bahkan tangannya sekarang berkeringat dingin.

Meski memang mereka sudah 2 bulan menjalani proses perkenalan, sembari mempersiapkan pernikahan. Tetap saja rasa gugup, canggung dan tegang masih ada di antara keduanya.

Adhwa selalu bersyukur ketika dirinya semakin mengenal dan dekat dengan Ali. Dia ingin cinta segera tumbuh dalam hatinya.

Dia mau mencintai pria yang seharusnya dia cintai. Karena faktanya, masih ada nama lain dalam hatinya.

Nama yang seharusnya tak ada. Nama yang sudah menggoreskan luka untuknya.

Nama seseorang yang tak tahu sekarang berada di mana. Pergi dengan tiba-tiba.

Lalu meninggalkan luka sekaligus kenangan yang pahit. Membuat Adhwa merasakan kebencian.

Andaikan dia tidak memaksakan diri waktu itu, mungkin semuanya tidak akan seperti ini.