webnovel

Sweet Dating

Ana Maria adalah mahasiswa fakultas kedokteran. Dia sosok yang introvert dan tidak mempercayai pertemanan bahkan membenci lawan jenis. Namun usia menginjak dewasa membuatnya merasakan hal aneh yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Suatu hari ia tertarik seorang gadis bernama Julia Devinada. Takdir sering membawa Ana agar terlibat pada Julia. Hingga rasa tertarik itu berubah menjadi rasa peduli dan suka. Namun, karena trauma dan juga menyadari bahwa itu hal yang tidak normal, Ana memilih untuk menahan perasaannya. Tiba-tiba Julia meminta Ana untuk jadi kekasihnya. Bagaimanakah kisah selanjutnya? Akankah Ana menerima Julia ataukah justru menolaknya? ---------------- *Terbit tiap akhir pekan* Cp Ig penulis: @bendz_1226

Bendz_Amalia · LGBT+
レビュー数が足りません
35 Chs

Jangan Terluka Lagi

Suasana sore ini yang sedang gerimis membuat salah satu rumah sakit di kawasan ibukota ini menjadi sepi. Hanya terdapat jejeran mobil yang tertata rapi di lahan parkir. Tak terkecuali mobil Ana yang ia pinjam dari dokter Ratna.

Ana berlari kecil setelah keluar mobil. Tak sempat menggunakan payung, ia segera meninggalkan area parkir depan rumah sakit dan menerjang rintik hujan di sana. Netranya menunjukkan kekhawatiran. Ya, ia khawatir pada gadis yang akhir-akhir ini mencuri atensinya.

"Niko! Dimana Julia?" seru Ana menghampiri seorang pria yang berdiri di depan pintu UGD.

"Masih dirawat di dalam, Kak," jawab laki-laki bernama Niko tersebut.

"Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa Julia sampai terluka? Apa yang kalian latihan?"

"Maafkan kami, kak. Kami teledor saat latihan. Kaki kiri Kak Julia mengalami cidera setelah melakukan spring."

"Apa?!" pekik Ana kaget. Matanya melebar dengan sempurna.

"Kamu tahu kan sepenting apa kaki itu dalam taekwondo? Kenapa bisa sampai terluka?" Ana tidak dapat lagi menahan rasa kesalnya. Kesal sekaligus marah.

Niko, lelaki yang diminta Ana untuk menjaga Julia selama latihan, kini hanya menundukkan kepala. Tak sanggup ia menatap wajah geram senior yang begitu ia hormati tersebut.

"Aku tidak akan membiarkan Julia berlatih sendiri lagi. Aku akan terus mengawalnya untuk berlatih," ujar Ana penuh penekanan.

Ya, seandainya aku menemaninya berlatih hari jni, aku pasti bisa menjaganya. Maafkan aku, Julia. Seru Ana dalam hati.

Ana duduk di kursi panjang depan UGD. Punggungnya ia sandarkan pada sandaran kursi. Matanya tak lepas menatap pintu bertuliskan emergency room tersebut.

"Bagaimana kondisinya saat kamu membawanya kemari?" tanya Ana dengan suara lirih.

"Dia masih sadar. Hanya merintih kesakitan. Kurasa ligamen pada pergelangan kakinya terluka."

"Oh, shit!" umpat Ana.

Gadis atlit tersebut sangat mengetahui dengan jelas apa saja kemungkinan yang terjadi setelah ini. Julia tidak boleh latihan fisik, paling tidak selama satu hingga dua Minggu.

"Maafkan aku, Kak. Aku tidak bisa melaksanakan perinta Kak Ana dengan baik. Aku sungguh minta maaf," ucap Niko penuh penyesalan.

Lelaki itu tak henti-hentinya terus menunduk di depan Ana. Ia terlalu takut jika Ana akan memarahinya. Ia tahu bahwa ia teledor. Dan seharusnya ia bisa menerima konsekuensi atas keteledorannya itu. Namun, tetap saja perasaan takut terus menyelimuti pikirannya.

"Angkat kepalamu, Niko..." Suara Ana terdengar lebih lembut. Meskipun masih lemas.

Niko menggelengkan kepalanya. Ia tidak sanggup menatap wajah Ana. Rasa takut juga bersalah membuatnya menghindari mata tajam milik Ana.

"Aku bilang angkat kepalamu. Aku tidak akan memarahimu."

Perlahan, Niko mengangkat kepalanya. Bahkan ia harus berjongkok demi menyeimbangkan tingginya dengan Ana.

"Aku minta maaf, Kak. Aku gagal menjalankan amanah kakak..."

Ana menggelengkan kepalanya. "Kamu tidak sepenuhnya salah. Aku pelatih Julia. Seharusnya aku yang bertanggung jawab atas latihannya Julia. Tapi aku justru meninggalkannya," ujar Ana penuh kelembutan.

Niko melotot lebar. Tidak pernah terpikirkan bahwa wanita keras ini memiliki kesabaran yang luar biasa. Ya, Niko mengira bahwa perkataan Ana adalah bentuk kesabaran atas musibah yang saat ini terjadi.

Padahal apa yang dikatakan Ana pada Niko adalah bentuk penyesalan. Penyesalan atas dirinya sendiri. Rasa bersalah yang timbul karena kebodohan dirinya. Ya, dirinya yang salah. Bukan Niko.

"Terima kasih sudah mengantar Julia ke sini. Kamu bisa pulang sekarang," lanjut Ana. Matanya terus memandang lurus ke arah pintu UGD.

"Tapi, kak..."

"Aku tidak apa. Kamu pulanglah. Lagipula di luar sedang gerimis. Orang tuamu akan cemas jika kamu pulang larut. Besok kamu masih harus ke sekolah kan?"

"I-iya..."

"Pergilah. Hati-hati di jalan."

Niko mengangguk. Ia mengambil ransel yang terletak di samping Ana duduk dan menaruhnya pada punggung. Tak lama setelah berpamitan, ia meninggalkan Ana yang kembali menundukkan kepala di depan pintu UGD.

Maafkan aku, Julia. Aku tidak bisa menjagamu dengan baik.

***

Setelah menunggu dua jam, akhirnya pintu putih itu terbuka. Seorang dokter wanjta keluar dari ruang UGD, lengkap dengan pakaian dan alat medisnya.

Ana segera bangun dan menghampiri dokter tersebut.

"Bagaimana keadaan Julia, dokter?" suara Ana terdengar sangat khawatir. Begitupula pandangan matanya yang sayu.

"Maaf, anda siapa?"

"Saya Ana. Temannya Julia."

"Keadaan Julia baik-baik saja. Tapi ligamen pada pergelangan kakinya mengalami kerobekan. Untuk sementara sebaiknya Julia tidak melakukan aktivitas berlebihan terlebih dahulu. Setelah selesia di kompres, Julia sudah boleh pulang."

"Apa yang perlu saya lakukan ketika Julia sudah di rumah?"

"Sebentar, kamu..."

"Ah, saya teman asramanya Julia. Kami pelajar di Universitas Darma Wijaya. Orang tua kami berada jauh di luar kota."

"Oh, seperti itu. Kalau begitu, selama di asrama, rawatlah Julia dengan baik. Lakukan metode RICE hingga pergelangan kakinya tidak terasa sakit."

"Metode Rest, Ice, Compress, Elevation, dok?"

"Anda tahu mengenai metode itu?"

"Metode seperti itu sering digunakan pada saat terkilir atau kaki mengalami retak, Dok..."

"Ah, benar juga. Ya saya harap anda bisa memberikan terapi tersebut pada Julia selama dua hari kedepan. Hitungannya 48 jam setelah cedera harus dilakukan metode RICE. Saya juga sudah meresepkan beberapa obat. Nanti dapat diambil dibagian apotek rumah sakit."

"Baik, dok. Saya mengerti."

"Oke. Anda administrasinya sekarang Setelah itu kalian boleh pulang."

Ana menganggukkan kepalanya. "Terima kasih, Dok," ucapnya tulus. Dokter tersebut mengangguk singkat sembari tersenyum. Kemudian ia masuk lagi ke ruang UGD.

***

Ana membopong tubuh Julia melewati lorong apartemennya. Dengan sabar, ia menuntun Julia secara perlahan. Tak jarang juga ia mendengar Julia mendesis kesakitan. Hal yang membuat Ana reflek ikut meringis karena membayangkan betapa sakitnya pergelangan kaki wanita yang ia sukai itu.

Julia menekan beberapa angka sandinya dan mereka masuk ke kamar bernuansa feminim tersebut. Ana membopong Julia hingga gadis itu tiduran di tempat tidur.

"Aku akan memasak untuk kamu makan. Setelah itu kamu bisa minum obat," ujar Ana sembari menata beberapa bantal sebagai alas pergelangan kaki Julia yang meradang agar letaknya lebih tinggi dari jantung.

"Terima kasih, Ana," ujar Julia sembari tersenyum.

Ana mengangguk. "Aku memasak di dapur. Jika butuh apapun, panggil saja aku."

"Termasuk kalau aku ingin buang air?" tanya Julia dengan nada menggoda Ana.

Ya, gadis polos itu tentu saja merasa malu. Tapi, saat ini kaki Julia sedang cedera kan? Ia tidak boleh bergerak secara bebas.

"Ya. Termasuk saat kamu ingin buang air," jawab Ana sembari tersenyum, meskipun saat ini jantungnya berdebar berkali-kali lipat.

"Aku pergi masak. Kamu istirahatlah dulu," lanjut Ana.

Julia menganggukkan kepalanya. Kemudian Ana meninggalkan Julia seorang diri di kamar.

"Ah, bosannya!! Di mana ya Chichi?" Julia mulai bermonolog. Manik matanya mencari mahluk buntelan bulu lebat tersebut di sekitar kamarnya. Namun ternyata kosong.

"Kalau meminta Ana mengambilkan Chichi, dia pasti berteriak histeris... Huh! Garang tapi sama kucing pun takut! Dasar aneh!" gumam Julia kesal.

Beberapa menit kemudian, Ana sudah kembali dengan membawa makanan 4 sehat. Iya, empat sehat saja. Karena Julia juga harus meminum obat, jadi Ana tidak menambahkan susu di dalam menu makanan Julia.

Ana menaruh nampan tersebut di meja nakas Julia. Kemudian ia duduk di samping Julia sembari menyarahkan sebuah piring yang telah berisi makanan lengkap dengan sayur dan lauknya.

"Ini, makanlah," ujar Ana sembari menyodorkan piring.

"Aku mau disuapi Ana," jawab Julia dengan suara manjanya.

"Yang terluka itu kakimu. Bukan tangan. Kamu masih bisa menggunakan tanganmu untuk beraktivitas sendiri."

"Tapi tetap saja aku sedang sakit. Dan orang sakit itu harus disuapi kalau makan. Jadi, aku mau makan asal disuapi Ana!"

"Hah! Mengenalkan! Jika aku melanjutkan debat denganmu, maka makanan ini akan cepat dingin. Baiklah, buka mulutmu sekarang."

Pada akhirnya, Ana menyuapi gadis tersebut. Ia menyuapinya dengan lembut dan penuh kehati-hatian.

Di tengah makannya, Julia tersenyum melihat tingkah Ana yang seperti ini. Ia tidak menyangka bahwa ia berhasil membuat ice princess ini menuruti permintaannya. Padahal jika diingat dulu, Ana bukanlah orang yang akan patuh pada perintah orang lain. Tapi hari ini ia menuruti permintaan Julia. Entah apa yang membuat Ana menurutinya, namun hal sederhana itu justru membuat hatinya berdebar dan menghangat diwaktu yang bersamaan.

"Sekarang minum obatmu," ujar Ana sembari memberikan obat pada Julia. Kemudian ia juga memberikan segelas air usai Julia meneguk obatnya.

"Istirahatlah. Aku akan menunggu di ruang tamu."

Tiba-tiba Julia merasa kesal. "Jangan pergi. Tidurlah di sini bersamaku," rengek Julia dengan suara bayinya.

"Ta-tapi..."

"Aku mohon. Temani aku malam ini. Bukankah kamu harus membantuku untuk berjalan jika aku menginginkan sesuatu?"

"I-iya sih... Tapi kamu bisa memanggil-"

"Tapi aku ingin Ana di sini! Aku tidak ingin berteriak untuk memanggil Ana!" potong Julia.

Ba-bagaimana ini? Jantungku berdegup lebih kencang... ujar hati Ana penuh kegelisahan.

"Ayo, Ana. Tidurlah di sampingku. Tempat tidurku cukup luas untuk kita berdua."

Ini tidak bahaya kan? Aku takut...

Ana masih berperang otak dengan hati nuraninya. Sesungguhnya ia juga mengkhawatirkan Julia jika membutuhkan bantuannya saat tengah malam nanti. Kasihan jika gadis itu harus berteriak. Tapi, ia juga khawatir akan terjadi hal hal yang aneh. Ia bahkan masih bingung dengan apa yang terjadi antara dirinya dengan Julia.

"Ana..... Ayooo..."

Untuk kesekian kalinya Julia memanggil Ana. Kali ini dengan menepuk sisi kosong di tempat tidurnya, sebagai kode agar Ana mengisi sisi kosong tersebut.

Ana menarik nafas panjang dan menghelanya dengan berat. Kemudian ia langkahkan kaki menuju sisi tempat tidur Julia yang lain dan merebahkan diri di sana.

"Sekarang istirahatlah. Aku menemanimu di sini," ujar Ana sembari mengelus rambut Julia.

Meskipun terlihat tenang, namun Ana dapat merasakan jantungnya sedang berpacu lari maraton. Entah berapa kecepatan mereka berlari. Namun itu berhasil membuat Ana kesulitan untuk menyembunyikan perasaannya.

Gadis berambut pendek tersebut tersenyum manis. Tak perlu menunggu waktu lama untuk Julia terlelap. Mungkin efek samping dari obat yang ia minum tadi, membuatnya tidur lebih cepat.

Ana tersenyum simpul melihat wajah cantik Julia yang terlelap di depannya.

"Sleep tight,. Julia..."

Ana mengecup singkat kening gadis itu. Kecupan yang penuh kasih sayang.

"Jangan terluka lagi ya," bisiknya tepat di telinga Julia.

Meskipun ia tahu bahwa Julia tidak akan merespon perkataanya lagi, ia tetap melakukan itu. Siapa yang tahu jika roh Julia mendengar perkataannya dan melakukannya pesannya di masa depan?

Ana tersenyum. Ia rebahkan tubuhnya di samping Julia. Dengan tubuh yang memiring ke arah Julia, memandang wajah gadis itu sekali lagi, sebelum akhirnya mata tersebut terpejam rapat.

***