webnovel

Sweet Dating

Ana Maria adalah mahasiswa fakultas kedokteran. Dia sosok yang introvert dan tidak mempercayai pertemanan bahkan membenci lawan jenis. Namun usia menginjak dewasa membuatnya merasakan hal aneh yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Suatu hari ia tertarik seorang gadis bernama Julia Devinada. Takdir sering membawa Ana agar terlibat pada Julia. Hingga rasa tertarik itu berubah menjadi rasa peduli dan suka. Namun, karena trauma dan juga menyadari bahwa itu hal yang tidak normal, Ana memilih untuk menahan perasaannya. Tiba-tiba Julia meminta Ana untuk jadi kekasihnya. Bagaimanakah kisah selanjutnya? Akankah Ana menerima Julia ataukah justru menolaknya? ---------------- *Terbit tiap akhir pekan* Cp Ig penulis: @bendz_1226

Bendz_Amalia · LGBT+
Not enough ratings
35 Chs

Kegalauan Ana

"Jadi, penjelasan apa yang akan kamu berikan, Julia? Aku harap bukan kebohongan seperti sebelumnya."

Julia meneguk liurnya hingga menghasilkan suara. Terlihat jelas bahwa saat ini ia sedang gugup. Mata tajam dari Gian sungguh menyudutkannya.

Apa yang harus dia katakan sekarang?

Manik mata hitam milik Julia bergerak tak menentu. Menghindari sorotan mata Gian yang menghakiminya.

"Julia?"

Gian mengencangkan genggaman lengannya pada Julia.

"Gian! Sebaiknya kamu pulang sekarang. Aku sungguh lelah. Besok. Aku janji besok akan memberikan penjelasan. Ya?"

"Benarkah?"

"Ya, aku janji."

Gian melepaskan cengkeramannya. "Baiklah. Besok ceritakan semuanya secara detail."

Julia menganggukkan kepalanya. Setelah itu, ia mengantar Gian hingga keluar dari unit apartemennya.

Ia membanting tubuhnya di atas kasur dan memikirkan apa yang terjadi di hari esok.

***

Di sisi lain, Ana berjalan. Melewati lorong parkir yang sudah sepi. Penerangan di sana pun juga sangat tidak layak. Hanya berbekal keyakinan, Ana memberanikan diri mengambil motornya yang sejak sore sudah terparkir di sana.

"Tunggu!"

Seorang pria berlari mendekati Ana. Ia menyentuh pundaknya, namun segera ditepis. Dengan sekali gerakan, Ana dapat membuat tangan lelaki itu terkunci.

"Aaa... Aaa... Aaa...," rintih pria itu kesakitan.

"Siapa kamu?"

"Aku Ardian... senior dari fakultas arsitek. Tolong lepaskan ini... Aaa... Aaa..."

Ana melepaskan cengkeramannya pada Kak Ardian. Ia mundur beberapa langkah dan menatap tajam lelaki bertubuh tinggi itu.

"Kamu Ana kan? Mahasiswa fakultas kedokteran?"

"Bukan!"

Kak Ardian menyunjingkan senyumnya. Ia kembali merenggut pergelangan tangan Ana.

Sedangkan gadis cantik berambut panjang itu menatapnya tajam. Tangannya terus berusaha melepaskan cengkraman Kak Ardian. Berkali-kali ia mendesis akibat remasan yang semakin kencang di pergelangan tangannya.

"Jangan bohong! Satu universitas tahu wajah kamu, Ana..."

"Lepas!!"

"Oke. Aku akan lepas, tapi kamu jangan lari. Jangan menjauh juga."

Ana menuruti perkataan Kak Ardian. Ia menatap tajam laki-laki yang baru saja menghentikan langkah kakinya.

"Ana, ada satu hal yang membuatku penasaran."

"Katakan saja. Aku tidak punya waktu," jawab Ana dengan nada suara ketus.

"Apa kamu dan Julia berkencan?"

Ana mengerling. Ia memilih untuk menutup mulutnya sebelum lawan bicaranya itu mengeluarkan kalimat lagi. Entahlah, ini hanya gambling. Jika dalam 5 menit laki-laki itu tidak mengeluarkan kalimat lain, ia akan pergi.

"Ana..."

"Apa maksudmu?"

"Aku melihatnya. Aku melihat Julia selalu mendekatimu. Aku juga melihat kamu baik padanya. Apa itu hanya sebatas pertemanan? Atau kalian memang berkencan?"

Kak Ardian menghela nafasnya. Wajahnya terlihat tenang, meskipun tangannya mengepal rapat.

"Aku tidak bisa memukulmu karena kamu wanita. Tapi ingatlah satu hal."

Suara Ardian terdengar lebih dingin dibandingkan sebelumnya.

"Jika kalian berkencan, hubungan kalian tidak akan pernah berhasil. Karena..." Lelaki bertubuh kekar itu mendekatkan mulutnya ke telinga Ana. "Kalian sama-sama wanita. Itu hal yang salah."

Wajah Ana menegang. Bahkan jari-jari tangannya turut bergetar. Matanya memandang lurus, namun tak ada obyek yang tertangkap di sana.

Kata demi kata yang dilontarkan Kak Ardian terus terngiang di telinganya. Bahkan setelah laki-laki itu pergi, suaranya masih terdengar jelas pada gendang telinganya.

Apa perasaan ini sungguh salah? Jika salah? Kenapa aku diberi rasa seperti ini?

***

Dokter Ratna melenggang anggun ketika melewati kantin rumah sakit. Di tangannya sudah ada dua gelas jus mangga siap minum.

Kecantikan wajahnya menjadi pusat perhatian beberapa orang yang ada di sana. Jas dokter yang ia kenakan pun tak luput dari perbincangan beberapa orang di sana.

"Dia dokter jiwa yang paling cantik di departemennya."

"Dia lebih cocok menjadi model dibandingkan seorang dokter."

"Bagaimana bisa wanita secantik ini memilih profesi sebagai seorang dokter jiwa?"

Kurang lebih kalimat-kalimat seperti itulah yang selalu ia dengar ketika melintas di sekitar rumah sakit.

Tak sedikitpun ia tertarik dengan komentar orang-orang yang membicarakannya. Baginya, melayani satu pernyataan hanya akan menimbulkan pernyataan-pernyataan lain yang tidak akan pernah berujung.

"Ana, maaf sudah membuatmu menunggu lama," ucap wanita cantik tersebut sembari menarik kursinya. Ia duduk tepat di depan Ana.

"Tidak apa, kak. Justru aku yang minta maaf karena sudah mengganggu waktu Kak Ratna."

Ratna menggelengkan kepala sembari tersenyum lembut. "Jangan bilang begitu. Kamu itu tanggung jawabku selama di sini."

Mata Ratna seketika menatap intens pergerakan tubuh pasiennya itu. "So, apa yang ingin kamu tanyakan?"

"Kak, apakah hubungan sesama jenis tidak akan pernah berhasil?"

Ratna terdiam. Batinnya bergejolak. Ia tidak tahu bagaimana cara menjelaskan hal ini pada pasiennya.

Tentu saja jawabannya benar untuk pertanyaan Ana tersebut.

Tapi kondisinya saat ini adalah Ana baru saja mempercayai orang asing selain dirinya. Bahkan ia menganggap bahwa perasaannya pada Julia adalah perasaan cinta. Meskipun menyukai sesama jenis termasuk perilaku yang tidak dibenarkan, jika memang ini yang terbaik untuk penyembuhan Ana, boleh kan cara ini digunakan?

Ana menyadari gelagat aneh dokternya itu. "Jadi benar ya, kak? Apa aku harus menjauhi Julia? Karena perasaanku pada Julia, aku tidak bisa menahan reaksi tubuhku. Aku harus menghindarinya kan? Jika memang itu hal yang salah?"

"Hal yang Dimata orang lain salah, belum tentu juga salah di mata kita. Ikuti saja alurnya, dan kamu akan menemukan jawabannya."

"Kak???"

"Aku tidak bisa membenarkan atau menyalahkan, Ana. Aku hanya mau kamu sembuh. Jika Julia menjadi obat untukmu, maka aku mengizinkanmu untuk menjalin hubungan dengannya. Aku ingin kamu menjadi mahluk sosial, Ana."

Ratna meneguk minumannya. Kemudian ia tatap lagi mata Ana yang terlihat gelisah itu.

"Apa kamu sanggup jika harus menghindari Julia?"

Mulut Ana terkunci rapat ketika mendengar pertanyaan dari dokter pribadinya itu. Namun, ia dapat merasakan sesak yang teramat menyiksa ketika mendengar kalimat tersebut.

Tidak! Ana tidak akan sanggup menghindari Julia. Hari-harinya mulai penuh dengan sosok gadis imut nan manja tersebut.

Lamunan Ana terpecah ketika menyadari ponsel yang ia letakkan di atas meja berdering. Ia segera mengangkat panggilan tersebut.

"Iya, ada apa?" sapanya dalam panggilan. Namun sedetik kemudian matanya melebar diiringi dengan muka tegang di wajahnya.

"Apa katamu? Julia terluka?" Ulangnya dalam panggilan.

"Ya! Aku segera ke sana! Lakukan yang terbaik sebagai pertolongan pertama!" titahnya di telpon.

Ana segera bangun dan merapikan barang-barangnya.

"Ada apa, Ana? Kenapa kamu terlihat panik?"

"Julia terluka saat berlatih, Kak! Aku harus segera pergi ke gedung latihan!"

Ana langsung berlari meninggalkan Ratna yang mematung sembari memandangnya.

"Semuanya sudah jelas, Ana. Untuk saat ini, kamu tidak akan pernah bisa menghindari Julia. She got your heart!"

Ratna menghela nafasnya berat.

"Aku harus memikirkan langkah selanjutnya agar anak itu tidak salah mengartikan perasaannya lagi."

***