Kevin menaiki lift menuju lantai 23. Dia sudah terlambat 10 menit dari janjinya dengan Linny. Pintu lift pun terbuka dengan otomatis. Dengan langkah angkuh dan tidak sabar Kevin melangkah keluar dan berjalan menuju kamar hotel.
Sesampainya di depan pintu kamar, Kevin menekan beberapa angka sebagai password untuk membuka pintu yang biasanya ia gunakan dengan Linny belakangan ini. Kevin harap Linny akan memuaskannya malam ini dengan hasil kerjanya.
"Hi," sapa Linny yang ternyata sudah berdiri di depan pintu. Linny dalam situasi apapun selalu memakai pakaian ketat yang memamerkan lekuk tubuhnya dan tidak lupa juga lipstick merah nyala selalu memolesi bibirnya.
Kevin menganggukan kepalanya sebagai respon. Lima langkah Kevin memasuki kamar, Linny secepat kilat menutup pintu kamar hotel yang akan terkunci secara otomatis.
Linny melangkah lebih cepat dari Kevin sehingga ia berada di depan Kevin, Kevin pun mengekori Linny. Ia menatap Linny dengan intens dari belakang. Dibukanya jas berwarna cokelat muda lalu di lempar sembarang ke ranjang.
"Apa hadiahku malam ini?" tanya Kevin. Perasaannya tidak dapat dibendung lagi.
"Bersabarlah sedikit," jawab Linny sambil tersenyum nakal. Linny berdiri di sudut ruangan, dua meter dari hadapan Kevin. Linny melepaskan high heels-nya dan stocking hitam yang panjangnya sepaha dari kaki jenjangnya. Siapa pun yang melihatnya tentu akan mengeluarkan air liur, tapi tidak dengan Kevin.
"Kaumelepas itu agar pekerjaanmu lebih mudah?" suara Kevin terdengar serak. Kevin menghempaskan dirinya ke sofa tunggal besar berwarna merah gelap. Matanya tidak lepas memandangi Linny.
Linny menggulung rambutnya yang panjangnya hampir sepinggang, terlihatlah dengan jelas bahu dan belahan dada Linny. "Ya. Kakiku sudah sangat gatal," balasnya, tersenyum menggoda.
"Tunjukan padaku," perintah Kevin penuh ketegasan pada suara beratnya.
Linny mengangguk tanpa ragu, ia membuka pintu yang berada di dalam kamar lalu masuk dan tidak lama keluar kembali dengan seseorang.
"Sayang," ujar Linny sensual. Tangannya mulai menggerayangi tubuh lawan jenisnya dari belakang. "Malam ini aku sudah menyiapkan hadiah untukmu," lanjutnya, bibirnya bergerak ke tengkuk. Linny pun perlahan membuka penutup mata yang ada pada pria yang menjadi mangsanya.
Kevin masih pada posisi duduknya. Ia menyunggingkan senyum iblisnya saat melihat respon di sebrangnya terbelalak. Pria yang Linny bawa sebagai hadiahnya adalah pria yang hampir menusuknya semalam yang Kevin ketahui bernama Ian.
Linny langsung menodongkan pistol jenis FN 57 yang berasal dari Belgium ke kepala pria bernama Ian saat Ian mulai membuat gerakan melawan.
"Dasar jalang," desis Ian.
"Ya aku memang jalang tapi setidaknya IQ-ku di atas rata-rata daripada kau yang hanya mengandalkan otot dan nafsu bejat," balas Linny, menekan todongan pistolnya ke kepalanya. "Dan...sebaiknya kau buat Tuanku bisa memaafkanmu."
Mata Kevin tidak berkedip sama sekali memandangi Ian. Kevin ingin sekali menghabisi pria itu hidup-hidup karena perbuatannya semalam. Ia tidak peduli jika wajahnya babak belur, yang Kevin pedulikan adalah keselamatan Luna dan anaknya. Kevin tidak bisa memaafkan perbuatan pria itu yang hampir mencelakai Lunanya.
"Ian Rusell," ujar Kevin dengan jelas dan tajam. "kudengar kau sudah lama tidak bertemu dengan kedua anakmu yang di German. Kauingin bertemu mereka sekarang? Aku berbaik hati akan membawa jenazah mereka ke hadapanmu," desis Kevin.
Siapa pun jika menyangkut keluarga akan emosional. Keluarga adalah titik kelemahan banyak orang tuk bisa membuat lawan jatuh atau setidaknya membuka mulut. Tidak peduli jika keluarganya sama sekali tidak bersalah. Akan tetapi itu berlaku terhadap orang-orang yang tidak memiliki hati nurani, berbeda dengan Kevin. Kevin sudah sangat mengerti seberapa sakit jika keluarganya di ancam dalam bahaya karena kesalahannya. Jadi Kevin kali ini hanya mengancam, tidak berniat menyakiti orang yang tidak bersalah. Dan sebaliknya, orang yang telah berani mengusik ketenangan Kevin, tidak akan Kevin biarkan hidup tenang.
Ian hendak melangkah maju menyerang Kevin namun tertahan karena Linny hampir menarik pelatuk pistol di kepalanya.
"Jangan sakiti mereka!" teriak Ian.
Kevin menyeringai iblis. "Seharusnya kemarin malam kau tidak mencari gara-gara denganku. Apa kau tidak tahu reputasiku? Kupikir di kalangan orang sepertimu sangat tahu siapa Kevin Sanders."
Kevin beranjak dari duduknya. Ia menghampiri Ian yang sekarang wajahnya terlihat panik karena sebuah ancaman yang melibatkan keluarga tersayangnya.
Ian secepat kilat melumpuhkan tubuh Linny dan mengambil alih pistol milik Linny. Sekarang pistol itu di todong ke arah kepala Kevin. "Akan kuselesaikan tugasku yang tertunda," geram Ian, jarinya sudah siap menarik pelatuk pistolnya.
Kevin sekejap melirik Linny yang berusaha bangkit karena serangan Ian tadi, namun Kevin memberi isyarat pada Linny agar tetap diam di posisinya. Kevin pun tersenyum culas pada pria yang sedang mengarahkan pistol ke kepalanya. "Kau yakin pistol itu ada pelurunya?"
"Kaupikir aku akan percaya?" Kemudian Ian menarik pelatuknya dan betapa terkejutnya dia bahwa pistolnya tidak ada peluru sama sekali. Ian pun melempar pistol itu dengan kesal.
"Sudah kubilang," cibir Kevin.
Ian melayangkan tinjuan ke wajah Kevin dan Kevin dengan cekatan menarik tangan Ian dan memelintir tangannya hingga Ian berteriak kesakitan. Kevin cukup bingung dengan dirinya, kenapa semalam ia mudah di kalahkan? Apa itu efek karena dirinya terlalu mengkhawatirkan kondisi Luna? Ternyata tenaga Ian bukanlah lawannya yang sebanding.
"Katakan padaku, apa yang Lucas perintahkan padamu? Atau tidak, kau akan kehilangan sebelah tanganmu," ancam Kevin, semakin memelintir tangan Ian. Ekspresinya memerah penuh kemarahan. Urat-urat di dalam tubuh Kevin mulai bermunculan.
"Jangan mengujiku. Selain tanganmu, kedua anakmu juga akan-"
"Jangan sentuh mereka," potongnya. Ian merintih kesakitan.
"Kalau begitu cepat katakan. Aku tidak punya waktu," desis Kevin, kesabarannya sudah berada di ujung jurang tak berpagar.
"Lucas menyuruhku membawa Luna padanya dan membunuh anak kalian," ucap Ian cepat. Dia tidak tahan dengan rasa sakitnya.
Jawaban dari Ian seakan menyingkirkan hati nuraninya. Kevin tanpa pikir panjang mematahkan tulang tangan Ian setelah itu ia menembak kepalanya dengan pistol yang Kevin simpan di balik sabuk pinggangnya. Bunyi tembakan itu terdengar nyaring dan berulang kali. Ian pun tergeletak tidak berdaya penuh dengan darah yang mengalir dari kepalanya. Dalam hitungan detik ia sudah tidak bernyawa lagi. Sebenarnya Kevin tidak berniat membunuh Ian malam ini, ia ingin memanfaatkan Ian karena Kevin tahu Ian adalah salah satu orang kepercayaan Lucas. Tapi mendengar jawaban Ian beberapa saat lalu, membuat sisi iblisnya bangkit.
Mengetahui niat Lucas ingin membunuh anaknya selain merebut Luna, kekhawatiran Kevin semakin bertambah. Lucas bukanlah orang yang bisa dianggap remeh, Lucas termasuk orang paling berbahaya dan tidak mempunyai hati dan belas kasihan. Dia akan melakukan beragam hal sadis untuk mendapatkan keinginannya, contohnya kejadian sembilan tahun lalu. Istri dan anak Joe dibakar hidup-hidup oleh Lucas dan hal yang janggal adalah Jane ternyata selama ini masih hidup. Dulu Lucas merebut Jane darinya meskipun Kevin tidak menaruh cinta pada Jane dan kini Lucas ingin merebut Luna? Tidak akan Kevin biarkan. Lucas bukan mau merebut Luna, tapi ia ingin menghancurkan hidup Kevin melalui orang yang Kevin sayangi. Itulah tujuan Lucas. Kevin kira dengan kisah Jane tempo dulu semuanya sudah berakhir, tapi nyatanya Lucas tidak pernah puas. Kakak tirinya itu sangat menginginkan kehancuran Kevin.
"Padahal aku ingin sekali menghabisi nyawa pria brengsek ini," ucap Linny membuyarkan lamunan Kevin, ia menendang tubuh Ian. "Tapi kau sudah lebih dulu."
Kevin melirik mayat Ian tanpa rasa iba. "Tadinya begitu, tapi jawabannya membuatku lebih ingin membunuhnya dengan tanganku."
Linny terkekeh. "Kauingin kirim jenazahnya pada Lucas?"
Kevin menggeleng dengan cepat. "Tidak Linny. Itu akan memperburuk keadaan. Aku sangat mengenal Lucas. Jika kita mengirim jenazah pria bodoh ini, Lucas bisa saja melakukan hal tak terduga." Kevin meninggalkan kamar. Ia berjalan menuju dapur dan menuangkan bir, diikuti oleh Linny.
Linny duduk di kursi yang terbuat dari kayu sembari memainkan kukunya yang di cat berwarna merah. "Omong-omong tentang Lucas... Kemarin dia ingin menyewaku sebagai one night stand-nya tapi kutolak...."
Kevin berdiri, meneguk birnya. Padangannya tak lepas dari Linny.
"Jika aku terima maka kedokku akan terbuka karena sebentar lagi aku akan bertunangan dengan Alex yang bodoh itu. Tidak mungkin kan aku bersetubuh dengan bos kekasihku?" lanjut Linny. Linny menyodorkan kartu undangan pertunangan pada Kevin. "Well, aku berhasil menjebaknya. Dia melamarku semalam tanpa curiga sedikit pun."
Bibir Kevin melengkung ke atas, ia merasa puas dengan apa yang baru di dengarnya. Pada malam Adam datang ke rumahnya, Kevin secepat kilat mencari informasi semua orang yang bekerja dengan Lucas. Sangat beruntung saat Kevin tahu bahwa Linny teman lamanya adalah kekasih Alex yang tidak lain merupakan orang kepercayaan Lucas. Kevin pun segera menghubungi Linny dan Linny tidak mungkin menolak perintah Kevin karena bagi Linny, Kevin adalah penolongnya.
"Kau yakin tidak mencintai calonmu?" tanya Kevin serius.
Linny menggeleng sambil tersenyum remeh. "Aku tidak mengenal cinta, yang aku tahu hanya seks. Dari dulu aku hanya memanfaatkan Alex."
Kevin duduk di hadapan Linny yang di batasi oleh meja mamer panjang. "The Queen of Sex," gumam Kevin, sedikit menyeringai.
"Semua pria tertarik denganku kecuali kau. Jadi aku bukanlah ratu seks. Sebut aku ratu seks jika kau mau bercinta denganku. Tapi aku tahu hal itu tidak akan pernah terjadi karena kau sangat mencintai istrimu. Lucky her to have a man like you."
Bukan Luna yang beruntung, tapi Kevinlah yang beruntung memiliki Luna. Wanita yang mau menerimanya apa adanya.
Kevin akui, Linny memanglah cantik dan seksi. Jika di sisi Kevin tidak ada Luna, mungkin Kevin akan membayar Linny untuk memuaskan nafsunya. Beruntung kesetian Kevin lebih besar dari nafsu sesaat, karena Kevin sangat ingat bagaimana dulu ia menderita untuk memperjuangkan Lunanya.
"Malam ini aku memuaskanmu bukan? Aku berhasil menyeret orang yang kau mau. Jadi kuharap...," Linny sengaja menggantungkan kalimatnya, ia merasa tidak enak jika harus mengucapkannya secara terang-terangan.
Kevin tahu apa yang ada di pikiran Linny. "Uangnya sudah kutransfer dua kali lipat."
"Ah ternyata tampan yang menyebalkan tahu isi pikiranku," goda Linny menggelayut sensual.
Kevin merasa geli melihat Linny yang bersikap seperti itu. Ia lebih menyukai melihat Linny bersikap datar dan kejam, persis ketika Linny membunuh orang-orang yang menghalanginya.
"Berhenti bersikap sensual padaku. Jika ada yang melihat kita, mereka akan mengira kau selingkuhanku karena sikapmu ini," tegur Kevin. Kevin kembali meneguk birnya. Rasa panas menjalar ke tenggorokannya.
"Bagaimana jika istrimu yang melihat kita dan dia mengenali siapa aku?"
Kevin terdiam. Ia memandangi gelasnya yang sudah kosong. Sebenarnya Luna pernah bertemu Linny saat mengandung Harry. Ingatan Luna memang sebagian kecil sudah kembali tapi Kevin berharap ingatan Luna saat melihatnya bercumbu dengan wanita lain tidak akan pernah kembali, karena wanita lain itu adalah Linny. Ya Linny. Saat dulu Kevin menolak mentah-mentah kehamilan Luna, Kevin melampiaskan nafsunya terhadap wanita lain yaitu Linny. Dan sayangnya saat Kevin sedang bercumbu dengan Linny, Luna mempergokinya. Kevin sangat menyesali perbuatannya dulu itu yang telah mengkhianati Luna dan menolak kehamilan pertamanya.
"Dia amnesia, jadi tidak mungkin mengenalimu," jawab Kevin pada akhirnya.
"Tapi ada baiknya kau menceritakan semua ini pada Luna tentang hubungan kita sebagai partner kerja. Aku hanya khawatir ingatannya tentangku sebagai mantan pelacurmu dulu kembali dan itu akan menjadi salah paham yang besar. Itu pun kalau istrimu tidak sengaja melihat kita berdua."
Kevin kembali menuangkan bir ke gelasnya dan mulai meneguknya kembali sampai habis. Memikirkan semua masalah yang ada membuat Kevin ingin berada di kutub. Kevin akan senang hati menjelaskannya pada Luna, tapi itu akan menjadi hal yang rumit. Luna pasti bertanya kenapa ia mempekerjakan Linny yang dulunya adalah mantan pelacurnya, kenapa tidak mempekerjakan wanita lain saja. Pertanyaan itu pasti akan terlontar dari mulut Luna. Kevin tidak mungkin menjelaskan kepada Luna bahwa Linny satu-satunya wanita yang bisa dijadikan alat pancing dan mata-matanya untuk melumpuhkan Lucas. Itu bisa menimbulkan banyak pertanyaan dan Kevin tidak ingin menambah beban pikiran Luna. Ia ingin kondisi Luna dan calon putrinya baik-baik saja.
"Aku tidak ingin membahas Luna di masalah ini. Tugasmu hanyalah membunuh daftar nama yang telah kuberikan," ujar Kevin datar tanpa ekspresi apa pun.
Linny menggidikan bahunya. "Aku hanya menyarankan."
"Sebagai seseorang yang pernah menyelamatkan nyawa keluargamu yang hampir terbunuh karena hutang, sebaiknya kaulakukan tugasmu dengan baik dan hati-hati," peringat Kevin dengan suara baritonnya.
Linny terkekeh. "Kau memang berbeda."
Kevin menyipitkan matanya, tidak mengerti dengan ucapan Linny.
"Maksudku... Kau saat bersama istri dan anakmu sikapmu begitu lembut tapi di luar itu, kau pria yang mengerikan," ralatnya menjawab kebingungan Kevin.
Mulut Kevin hanya membulat sedetik. Dapat diakuinya, Kevin selalu menampakkan ekspresi datar dan acuh pada setiap orang kecuali keluarganya. Jika dipikir-pikir, Kevin merasa seperti mempunyai kepribadian ganda. Jika diibaratkan: Di sisi Luna bak malaikat pelindung, di sisi orang-orang bak malaikat maut.
Suara dering ponsel membuat mereka berhenti sejenak dari obrolan. Dering ponsel itu berasal dari tas kecil milik Linny. Kevin yang diberi isyarat oleh Linny tentang siapa yang meneleponnya, menyuruhnya mengangkat teleponnya.
"Ya sayang? Kau merindukanku?" Linny mengaktifkan speaker. Suaranya dibuat semenggoda dan seseksi mungkin.
"Merindukanmu setiap detik, my Queen," kekeh si penelepon, Alex. "Hanya ingin mengingatkan, kau tidak lupa besok pagi?"
Kevin menatap Linny penuh tanya. Ke mana mereka besok akan pergi? Tanya Kevin dalam hatinya.
"Tentu tidak. Aku begitu menunggu hari esok," jawab Linny, tersenyum licik.
"Baiklah. Sampai jumpa besok sayang."
Belum sempat menjawab, Alex sudah memutus sambungannya terlebih dahulu.
Kevin masih menatap Linny penuh tanya. Tanpa Kevin bertanya, Linny sudah mengatakannya lebih dulu. "Besok dia akan membawaku ke rumah ibunya tapi sebelum itu akan kupastikan Alex membawaku ke rumah Lucas. Di sana aku akan meletakan alat pelacak dan perekam di setiap mobil yang ada di rumahnya."
"Pastikan tidak ada yang melihatmu." Dengan begitu jika beruntung, Kevin bisa tahu di mana posisi Lucas. Selama ini Lucas suka sekali bermain putak umpet darinya.
Linny mengangguk.
*****
Setelah Kevin selesai dengan Linny, Kevin bergegas pergi ke gedung kosong yang terletak di pinggir kota. Dia mempunyai janji dengan Zak.
"Ada apa?" tanya Kevin begitu melihat Zak di hadapannya.
"Untuk apa kau pergi ke hotel dengan seorang pelacur?" mata elang Zak menatap Kevin. "Jika seperti ini sebaiknya aku yang menghabisimu lebih dulu sebelum Lucas."
Kevin tidak menampakkan mimik apa pun. Ia hanya memperhatikan Zak yang sepertinya sedang menahan amarah.
"Kau harusnya ingat istri dan anakmu," desis Zak.
Kini Kevin mengerti mengapa Zak seperti ini. Dia mengira bahwa Kevin telah mengkhianati keluarganya sendiri. "Kau sepertinya belum mengenalku dengan baik. Aku tidak mungkin mengkhianati Luna. Wanita yang kau sebut pelacur itu bukan sekedar pelacur. Dia sama sepertimu, memiliki profesi ganda."
Tatapan Zak melunak. "Sial, kenapa tidak memberitahuku sejak awal?"
"Rencananya aku ingin memberitahumu tadi, tapi kau malah menuduhku," Kevin tertawa kecil. "Jadi kau menyuruhku kemari hanya untuk ini?"
Zak mengeluarkan pisau dari balik jasnya lalu menunjukkannya pada Kevin. "Tadinya aku ingin membunuhmu dengan ini. Aku serius."
Kevin hanya menggeleng saja. Ia tahu kalau Zak lebih memihak Luna daripadanya makanya Zak bersikap seperti itu. "Jika aku memang benar melakukannya, kau boleh membunuhku," gumam Kevin.