webnovel

Ombak

Aku sudah menghabiskan dua gelas jusku dan dua porsi kecil brownies-ku. Sudah hampir satu jam aku menunggu di restauran dekat kantor magang Kanya. Kami seharusnya sudah bertemu sejam yang lalu namun sepertinya Kanya terlalu sibuk atau melupakan janjinya. Benar saja, saat aku mengecek ponselku, Kanya mengirim pesan singkat padaku. Ia mengatakan bahwa ia tidak bisa datang di karenakan ada rapat mendadak. Melihat pesan singkatnya aku hanya mendesah kecewa. Jujur saja aku merindukan Kanya. Sudah hampir tiga bulan aku tidak bertemu dengannya lagi.

Aku kembali memesan minuman. Kali ini minuman yang berbeda, segelas milkshake dan roti bakar. Entah kenapa perutku ingin terus diisi makanan. Mungkin ini akibat ada raga yang hidup di dalam rahimku.

Setelah perutku kenyang, aku membawa diriku ke Rumah Sakit untuk check up. Sebenarnya hari ini bukan jadwal periksaku, hanya saja dokter Vanessa memintaku untuk datang. Biasanya Kevin tidak pernah absen menemaniku ke dokter kandungan. Beberapa menit lalu aku mencoba menghubunginya untuk memintanya menemaniku, tapi ia tidak mengangkat teleponku. Ini tidak biasanya Kevin tidak mengangkat teleponku. Mungkin dia sedang sibuk? Aku harus berpikir positif.

Aku datang terlalu awal sehingga aku harus menunggu dokter Vanessa yang masih harus menangani dua pasien lagi. Ck, aku terlalu bersemangat karena si kecilku ini. Aku mengelus perutku saat merasakan si kecil menendang-nendang. Si kecil tampaknya senang sekali berada di dalam.

"Luna?"

Suara yang tidak terlalu asing di telingaku refleks membuatku memiringkan kepala pada satu sisi untuk memastikan pemilik suara itu.

"Luna?" Dia mengayunkan tangannya di udara tepat di depan wajahku.

Aku mengerjap mataku seakan tersadar dari keterkejutanku. Kenapa dia berada di sini?

"Jane?"

"Kau juga periksa kandunganmu di sini?" tanya Jane. Wajahnya sama terkejutnya denganku. Apa maksudnya? Dia juga sedang periksa kandungan? Tunggu...periksa kandungan? Dia hamil? Ya ampun.

Jane mengambil duduk di sebelahku. Tangannya mengelus perutnya yang di mataku masih terlihat rata. Tidak mungkin Jane hamil. Tidak mungkin. Hatiku menggeleng tidak percaya.

"Kevin yang merekomendasikan tempat ini?"

Aku mengangguk.

"Aku tidak percaya dia bisa setega ini, memilih dokter kandungan yang sama pada dua wanitanya yang berbeda." Jane tersenyum sinis sembari menggelengkan kepalanya.

Aku tidak bisa menyembunyikan wajah keterkejutanku. Dua wanitanya? Apalagi ini maksudnya? Aku menatapnya dengan wajah keterkejutanku. Jane dengan bibir merahnya hanya tersenyum tipis.

"Apa maksudmu Jane?"

"Kau polos atau bodoh? Atau kau dibutakan oleh kebohongan cinta Kevin?" Jane tertawa kecil. "Meski pun kau adalah sepupuku tapi aku sudah malas berpura-pura baik padamu. Lebih baik menampakkan wajah asli kita kan?"

Keterkejutanku masih sulit hilang hingga aku belum bisa menangkap maksud Jane. Maksud yang mungkin akan menyakitkan hatiku.

"Lihat dirimu Luna. Kau begitu polos dan bodoh. Pantas saja Kevin betah memanfaatkanmu karena kau memang gampang dibodoh-bodohi, ck."

Aku mengangkat wajahku untuk menatap manik matanya. Sepercik api timbul di hatiku begitu mendengar ucapannya yang pedas. Jane tersenyum untuk kesekian kalinya. Mulutku terbuka namun lidahku terasa kelu. Pada akhirnya aku tidak bicara sepatah kata pun. Aku membiarkan Jane bicara sepuas yang ia inginkan.

"Anak ini," ujar Jane sambil mengelus perutnya, "adalah anak Kevin. Kandunganku baru berusia 5 minggu."

Aku antara ingin tertawa dan marah. Dia pikir aku akan percaya? Jane baru seminggu yang lalu ditemukan dan ia bilang mengandung anak Kevin? Aku menggeleng, tidak percaya pada wajah asli wanita yang tak lain adalah sepupuku.

"Aku tahu kau tidak percaya. Tapi bukalah matamu. Kevin pasti berkata bahwa aku ini mantannya kan? Ya memang, tapi tidak lagi. Dua bulan yang lalu Kevin menemukanku ditempat yang mengerikan. Ia senang ternyata aku masih hidup dan kami kembali berhubungan. Saat dia tahu aku hamil, Kevin membawaku ke rumah kalian. Dia bilang tidak ingin melewati masa kehamilanku. Aku sempat marah padanya saat aku mengetahui Kevin sudah menikah tapi Kevin menjelaskan alasannya padaku. Kautahu? Kevin pernah mengatakan padaku bahwa dia hanya memanfaatkan kepolosanmu yang terlalu bodoh saja setelah itu dia akan meninggalkanmu," jelasnya. Nadanya terdengar mencemooh di telingaku.

100 macam perasaan muncul di hatiku. Aku lebih ingin menenggelamkan diriku dibandingkan mendengar penyataan Jane yang membuat hatiku bergemuruh. Mungkin kah Kevin melakukan itu padaku? Mengingat semua sikap manis Kevin padaku, rasanya sangat tidak mungkin. Aku tahu Kevin mencintaiku. Dia mencintaiku bukan memanfaatkanku. Aku terus saja meyakinkan diriku.

"Dia tidak mungkin mengkhianatiku. Aku mengenal suamiku lebih dari diriku. Aku tidak akan percaya dengan omong kosongmu Jane. Lebih baik kau tutup mulutmu," balasku dengan suara yang kubuat setajam mungkin. Aku berusaha untuk tidak mendengar dan mempedulikannya.

Jane mempertajamkan tatapannya padaku. Ia menggertakan giginya. "Kau mengenalnya lebih baik dari dirimu? Benarkah?" Jane tertawa. Tawanya menandakan sebuah penghinaan. "Jika kau mengenalnya, kenapa kau tidak tahu hari kelahirannya?"

Tanganku spontan meremas pakaianku di sekitar pahaku menahan kesal. Aku tidak bisa mengelak tentang hari spesial Kevin yang tidak kuketahui.

"Jika kau memang benar mengenal Kevin, apa kau tahu siapa keluarga Kevin sebenarnya kecuali Andrea? Apa kautahu masa kecil apa yang Kevin lalui? Apa kau tahu makanan favorit Kevin? Kevin tidak pernah memberitahumu tentang dirinya kan?" Jane menggeleng. "Tentu saja dia tidak memberi tahumu karena kau bukan wanita penting baginya. Kau hanyalah orang asing yang merasa mencintai dan dicintai. Di balik sikap manisnya dia muak denganmu. Apalagi saat kau meminta Kevin mengeluarkanku dari rumah kalian. Cih. Aku kasian denganmu Luna. Kau benar-benar tidak mengenalnya sedikit pun. Aku yang lebih mengenalnya."

Wajahku berubah sedikit pucat dan keringat dingin melanda diriku. Hatiku begitu sesak mendengarnya. Aku memalingkan wajahku, menepis semua yang Jane katakan. Kata-katanya begitu menusukku. Memang benar apa adanya, aku tidak mengenal keluarga Kevin yang Jane maksud keluarga sebenarnya. Aku tidak tahu masa kecil Kevin, aku juga tidak tahu makanan kesukaannya. Dan parahnya aku baru menyadari itu semua. Kenyataannya aku tidak terlalu mengenal Kevin.

"Sayangnya aku membenci Kevin. Aku ingin balas dendam padanya. Dia yang membuat ibuku meninggal. Dia telah merusak hidupku. Kevin adalah pembunuh. Bodohnya kau malah mencintai seorang pembunuh, pengkhianat, penipu sepertinya. Buka matamu Luna! Jatuh cinta padanya adalah kesalahan terbesar. Aku yakin kau akan bunuh diri jika mengetahui siapa Kevin. Kau tidak mengenalnya bahkan Kevin tidak pernah menceritakan keluarganya padamu. Kau terlalu dibutakan oleh cinta palsunya. Seorang Kevin Sanders tidak punya perasaan cinta. Dia adalah pembunuh berdarah dingin. Hatinya juga dingin. Kau tanya saja padanya sudah berapa banyak yang ia bunuh untuk tujuannya? Ck. Aku bicara seperti ini karena aku peduli, kau sepupuku. Aku tidak mau kau tertipu lagi." Mata Jane memerah, sorot matanya penuh dengan kebencian.

Aku menutup mulutku yang terbuka lebar dengan telapak tanganku. Setiap perkataannya selalu membuatku terkejut terutama saat Jane mengatakan Kevin adalah seorang pembunuh dingin. Ia telah membunuh ibunya Jane. Tidak mungkin, batinku berteriak.

"Aku masih tidak percaya," tampikku.

Jane membuka mulutnya lebar kemudian ia segera menutup rapat bibir merahnya itu. Bibirnya kembali tersenyum miris. "Kau bisa tanyakan pada Joe bahwa kematian ibuku karena Kevin bukan karena kecelakaan murni."

Bertanya pada Joe sama saja aku tidak mempercayai Kevin. Aku berusaha sekeras mungkin untuk membentengi kepercayaanku yang mulai koyak.

"Mungkin kalian salah paham," kataku dingin. Aku pun beranjak dari dudukku, berniat pulang. Aku takut mendengar ucapannya lagi, aku takut kepercayaanku hilang karenanya.

"Yang penting aku sudah memperingatkanmu," suara Jane meninggi saat aku berjalan melewatinya.

Aku baru mengenalnya. Untuk apa aku mempercayainya? Jika Kevin membohongiku, dia tidak mungkin membohongi anaknya sendiri. Anaknya adalah segalanya bagi Kevin.

Akhirnya aku tidak jadi check up kandunganku. Suasana hatiku yang membaik hilang ditelan oleh ucapan Jane.

*****

Malam dihiasi oleh guyuran hujan yang cukup lebat. Angin berteriak kencang diiringi suara hujan yang berjatuhan. Aku menengadah tanganku pada guyuran hujan, ingin merasakan hujan yang menyejukkan hatiku meski pun suaranya bergemuruh.

Kakiku mundur beberapa langkah, menghindari hujan yang mulai masuk ke dalam teras karena tiupan angin. Hembusan angin menusuk ke dalam tulang-tulangku, membuatku menggigil kedinginan. Jika ada Kevin, dia pasti mengomeliku atau tidak memberikan selimut tebal padaku jika aku sedang keras kepala. Sayangnya, Kevin malam ini tidak pulang. Sejam yang lalu ia mengabariku bahwa ia tidak bisa pulang karena harus pergi ke Brooklyn untuk pekerjaan pentingnya.

Aku memejamkan kedua mataku saat aku tidak sengaja me-reka ulang setiap kalimat yang Jane lontarkan.

‘Anak ini adalah anak Kevin.’

‘...Kau hanyalah orang asing yang merasa mencintai dan dicintai. Di balik sikap manisnya dia muak denganmu...’

‘Dia adalah pembunuh dingin...’

Apa benar Jane mengandung anak Kevin? Semua perasaan menjadi satu. Aku tidak bisa membayangkan betapa akan hancurnya diriku jika apa yang Jane katakan tentang anak yang dikandungnya adalah benar-tidak, semua apa yang Jane katakan benar termasuk muak, memanfaatkan, pembunuh.

Tiba-tiba saja terlintas di pikiranku. Mulai hari ini Jane tidak tinggal satu rumah lagi dengan kami dan di hari yang sama Kevin tidak berada di rumah. Apakah....? Aku langsung menggelengkan kepalaku saat kecurigaan itu muncul di pikiranku begitu saja. Bisa saja Kevin sedang sibuk mencari tahu orang-orang yang mengejarnya, ujarku dalam hati.

Aku mengambil ponsel yang berada di dalam sakuku. Kutekan angka 2 sebagai panggilan cepat menghubungi Kevin. Pada bunyi ke-5 Kevin baru mengangkat telepon dariku.

"Ada apa Luna?"

Aku membeku saat mendengar suaranya di sebrang sana yang terdengar terganggu dengan panggilanku.

"Apa kau tidak bisa menunda pekerjaanmu? Aku ingin kau berada di rumah," kataku pelan seraya mengelus perutku.

"Tidak bisa. Ini pekerjaan penting Luna. Besok aku akan berada di rumah."

Aku diam sesaat. Entah kenapa aku merasa Kevin sedang berbohong, terdengar dari nada suaranya.

"Kau tidak sedang bohong kan?" tanyaku waswas dengan bibir yang bergemetar.

"Tidak sayang," jawabnya singkat tidak nyaman.

Apa dia memanggil sayang karena sedang menutupi sesuatu dariku? Aku menghela kasar dan memaksakan senyumku meski pun Kevin tidak bisa melihat senyumku.

"Aku harus menutup teleponnya. Jaga dirimu."

Aku memandangi layar ponselku saat Kevin memutuskan teleponnya. Kevin tidak biasanya seperti ini. Akhir-akhir ini dia bersikap dingin dan bicara seperlunya saja.

Aku mendudukan diriku pada kursi kayu di teras. Kepalaku terasa di tusuk-tusuk seketika. Rasanya begitu sakit tidak tertahankan sampai menimbulkan panas di dalam kepalaku. Aku memijat pelipisku, berharap dengan memijatnya akan meredakan sakit di kepala tapi sakitnya tidak berkurang, malah bertambah.

Sakit di kepalaku menjalar ke bawah, merasuki tubuhku. Dingin yang kurasa di tulang berubah menjadi hawa panas. Aku berusaha untuk berdiri dengan kedua tanganku yang menggenggam lengan kursi kayu untuk menopang beratku tapi lama-kelamaan aku seperti tidak bisa merasakan apa pun sampai aku terjatuh ke lantai dan semuanya menjadi gelap.

*****

Kilauan cahaya yang menyelinap masuk lewat jendela membangunkanku. Aku mengerjap-ngerjapkan mata yang terasa berat. Semuanya tidak terasa asing lagi, ini adalah kamarku. Aku berusaha mengingat-ngingat kejadian sebelum tidak sadarkan diri. Ucapan Jane lah yang pertama kali kuingat dan itu sangat mengusikku.

"Hei."

Suara itu seakan menyadarkanku dari lamunanku.

"Hmm," kataku tanpa menoleh padanya. Aku menatap langit kamar yang masih samar-samar di mataku.

"Bangun, makan, dan sehabis itu minum obatmu." Kevin mendaratkan pantatnya di sisiku. Ia mengambil minum yang sudah ada di atas nakas sisi ranjangku. "Aku mengkhawatirkanmu," lanjutnya.

Aku memiringkan tubuhku, membelakangi Kevin. Kuabaikan semua nasehatnya agar aku makan dan meminum obat. Entah setan apa yang merasuki diriku, rasanya aku ingin memaki Kevin sampai aku puas.

Kevin menggenggam bahuku dan berusaha membalikkan tubuhku agar aku menghadapnya. Tubuhku yang masih terlalu lemah mau tidak mau menghadapnya dan menatapnya tanpa sengaja. Kevin menatapku dengan tatapan penuh tanya. Rahangnya mengeras saat aku tidak menuruti kata-katanya. Dia terlihat marah. Seharusnya aku yang marah.

"Kau marah karena semalam aku tidak bisa pulang? Jika itu bukan pekerjaan yang sangat penting, aku tidak mau meninggalkanmu."

Aku tersenyum kelu. "Apa aku harus jatuh sakit dulu baru kau pulang?"

Kevin terdiam. Matanya menatap pada tanganku yang sedang meremas-remas seprai putih tulang. Kevin mengusap wajahnya kasar.

"Luna, aku tidak ingin berdebat. Jadi tolong-"

"Jane hamil," kataku datar. Aku mengambil segelas air mineral yang baru saja Kevin letakan kembali di atas nakas. Kuminum satu gelas penuh sambil menatapnya. Kevin terlihat biasa saja. Tidak ada mimik terkejut di wajahnya. Ini di luar ekspetasiku.

"Makan sekarang," perintahnya dengan nada tegas.

Apa kau sedang mengalihkan topik pembicaraan Kevin? Gumamku.

"Tidak perlu disuapi." Aku mengambil makananku dari tangan Kevin dengan kasar lalu langsung memakannya tanpa mempedulikan Kevin.

"Keras kepala," ujar Kevin datar.

Aku mengabaikannya.

"Berhenti memikirkan orang lain. Pikirkan dirimu dan anak kita. Dokter bilang kandunganmu lemah. Kau tidak boleh banyak pikiran dan harus banyak-banyak istirahat," lanjut Kevin.

Aku meletakan piringku dan menatap Kevin. "Bagaimana aku bisa tenang? Beberapa hari lalu ada orang yang hampir membunuhmu. Kemarin Jane mengatakan tentangmu yang tidak-tidak!"

Kevin memejamkan matanya sesaat lalu matanya menatapku dengan lembut. "Masalah orang yang mengejar kita sudah kubereskan semalam. Dan soal Jane, jangan mempercayainya. Dia punya niat buruk pada kita. Kaupercaya padaku kan?"

Aku setengah mengangguk, mulutku terkatup rapat. Anggukkanku bukan berarti aku mempercayainya begitu saja, tapi aku juga tidak meragukannya.

Ketika aku hendak membuka mulut, Kevin bangkit dari duduknya dan melangkah masuk ke dalam kamar mandi.

Aku menatap pintu kamar mandi dengan tatapan kosong. Semenjak kehadiran Jane, banyak kejadian yang aneh menimpa keluargaku. Suara dering ponsel Kevin membuatku terkejut. Aku mengambil ponsel Kevin dan menatap ID caller, tanpa nama. Dan nomor yang menelepon Kevin adalah kode nomor Indonesia. Penasaran, aku pun mengangkat teleponnya.

"Sir, maaf baru menghubungi. Sinyal susah dapat di sini. Kami baru bisa mengabari setelah pencarian sepekan, kami baru menemukan mayat Nyonya Laudia, Willy Hall, serta Joe di tempat yang Tuan maksud seminggu yang lalu."

Aku membungkam mulutku dengan telapak tanganku. Jika aku sedang berdiri sudah kupastikan aku jatuh terkulai lemas. I-ibuku te-tewas? Kakak dan juga pamanku?

"Hallo Tuan... Tuan..."

"Luna." Kevin segera menghampiriku dan mengambil ponselnya yang sedang kuletakan di telingaku dengan paksa.

Aku bergerak mundur seraya menggelengkan kepalaku dan menunjuk ke arah ponsel Kevin. "Tidak. Tidak mungkin."

Kevin hanya menatapku sambil mendekatkan ponselnya ke telinganya. "Katakan."

"..."

"Baiklah. Nanti akan kutelepon lagi," Kevin pun mematikan teleponnya. Ia bergerak maju mendekatiku.

"Luna, apa yang kaudengar-"

PLAK

Tamparan keras mendarat di pipi Kevin. Telapak tanganku berkedut merah karena kerasnya tulang pipi Kevin. Air mata mengalir deras begitu saja membasahi pipiku. Berita yang baru saja kudengar dari orang lain seakan menghancurkan setengah duniaku.

"Kenapa kau tidak memberi tahuku?" tanyaku dengan bibir bergemetaran.

"Aku baru tahu."

"Apa yang terjadi pada mereka sebelum mereka meninggal? Kautahu akan itu kan?"

Tangan Kevin hendak menyentuhku namun kutepis tangannya itu begitu kasar.

"Luna, kumohon tenangkan dirimu. Istirahatlah."

Api dalam diriku semakin menjalar ketika Kevin mengatakan tenangkan dirimu. Bagaimana aku bisa tenang saat aku mengetahui keluargaku meninggal?

"Aku ingin ke Jakarta sekarang juga," geramku. Aku menyeka air mataku.

Kevin menolak. "Tidak. Kau tidak boleh pergi ke mana pun. Kondisimu masih belum stabil. Mengertilah."

"Aku baik-baik saja. Mereka yang tidak baik. Kau yang seharusnya mengerti!"

Aku semakin bergerak mundur ketika Kevin mendekatiku. Tubuhku menolak untuk disentuh oleh Kevin sejengkal pun. Aku tidak mengerti apa yang Kevin pikirkan. Aku tidak mengerti semua tentang diri Kevin.

Sudah hampir dua tahun aku tidak bertemu keluargaku, bahkan mendengar suaranya saja sudah tidak pernah. Mereka sangat sulit untuk dihubungi dan sekali aku mendapat kabar dari mereka, mereka telah tiada. Tidak kah itu miris? Meski pun air mata sudah kuhapus dengan tanganku, tetap saja aku tidak mampu menahan gundukan air mata untuk tidak membasahi pipiku.

Aku terduduk lesu di lantai, menangis dalam diamku. Aku tidak kuasa mendapati berita duka tentang keluargaku.

"Aku mohon, izinkan aku ke Jakarta untuk yang terakhir kalinya," isakku saat Kevin memelukku dan menenggelamkan wajahku di dadanya. Tangisku malah menjadi saat Kevin mendekapku dengan erat.