webnovel

Selamat Tinggal Maurin

"Mungkin aku nggak bisa membalas kebaikan Pak Hardi selama ini. Tapi aku akan coba membalasnya dengan membuat kamu sembuh," gumam Maurin dalam hati. Kemudian dia menemui dokter yang menangani Tomi untuk membahas donor hatinya. Sebenarnya dokter tak mengizinkan Maurin untuk mendonorkan hatinya, karena dia masih sehat bugar dan tidak dalam keadaan sekarat. Namun itu sudah menjadi keputusan Maurin, yang sudah ia pikirkan sebelumnya.

"Apa kedua orang tua sudah setuju dengan keputusan Mbak Maurin?" tanya dokter memastikan.

"Saya tinggal sendirian, Dok. Saya hidup sebatang kara sejak kecil, walaupun saya mati sekalipun nggak ada yang bakal cari saya, Dok." Maurin meyakinkan dokter tersebut.

"Kalau begitu, saya akan membuat surat pernyataan dan silahkan ditanda tangani. Agar suatu saat ada yang menuntut, saya ada bukti bahwa ini memang murni keputusan anda sendiri."

Setelah menandatangani surat pernyataan tersebut, Maurin masuk ke dalam ruang istirahat untuk bersiap operasi. Sebelum operasi dilaksanakan, Maurin menghabiskan sisa waktunya dengan berdoa. Mungkin memang itu jalan terbaik untuk dirinya, tidak ada yang menganggap dirinya penting semasa hidupnya. Hanya Bunda Sara yang selalu baik dengannya, tapi dia juga tidak ingin selalu merepotkan Bunda Sara. Apalagi dia sedang hamil di luar nikah, yang akan membuat malu Bunda Sara saja.

Keesokan harinya, pihak dokter sudah memberitahu kepada kedua orang tua Tomi, bahwa anaknya akan mendapat donor hati dari orang yang dirahasiakan identitasnya. Mendengar kabar tersebut, Pak Hardi dan Bu Rani sangat senang sekali. Mereka berdua berjanji, jika suatu saat mereka tahu siapa orang yang sudah mendonorkan hatinya untuk Tomi, senantiasa mereka akan mensejahterahkan keluarga orang tersebut.

Dua jam kemudian, operasi berjalan dengan lancar. Jenazah Maurin sementara diletakkan ke kamar jenazah sembari menunggu keluarga yang ingin mengambilnya. Karena pihak rumah sakit juga tidak bisa mengebumikan jenazahnya tanpa persetujuan dari keluarganya. Memang Maurin pernah bilang jika dia anak sebatang kara, namun dokter tidak percaya akan hal itu. Pasti ada saja orang yang akan mencarinya.

"Alhamdulillah, operasinya berjalan dengan lancar," ucap Dokter.

"Syukurlah, terimakasih, Dok, sudah menangani anak saya dengan sebaik mungkin," sahut Pak Hardi.

"Sama-sama, Pak. Semua juga berkat doa-doa kalian."

***

Tok! Tok!

"Maurin sayang, makan dulu yuk! Bunda ada beberapa vitamin untuk kamu," ucap Bunda Sara dari balik pintu kamar Maurin. Namun berkali-kali mengetuk pintu, tidak ada jawaban sama sekali dari Maurin. Bunda Sara yang begitu khawatir, menyuruh salah satu anak asuh laki-laki untuk mendobrak pintu kamar Maurin. Yang benar saja, setelah didobrak ternyata tidak ada siapa-siapa di kamarnya. Lantas Bunda Sara menemukan surat yang ditulis Maurin sebelum dia pergi.

"Astaghfirllah ... ya Allah, Maurin. Kenapa kamu nggak pernah cerita sama Bunda, Nak? Bunda sangat menyayangi kamu seperti menyayangi anak kandung Bunda sendiri," ungkap Bunda Sara yang mulai meneteskan air mata.

Dengan perasaan berkecamuk, tak segan-segan Bunda Sara melaporkan Anton, anak angkat Pak Hardi ke polisi atas ketidak adilannya terhadap Maurin. Hari itu juga, Bunda Sara bersama polisi mendatangi kediaman Pak Hardi. Kebetulan juga Tomi baru pulang dari rumah sakit, dan baru saja turun dari mobil bersama kedua kakaknya.

"Loh, I-Ibu Sara. Kok ke sini bawa polisi, ada apa ya?" tanya Pak Hardi heran.

"Bawa dia sekarang juga, Pak!" perintah Bunda Sara sambil menunjuk ke arah Anton.

"Tu-tunggu sebentar, Pak. Ibu Sara ada masalah apa dengan kami?" tanya Pak Hardi kembali.

Tanpa basa-basi, Bunda Sara memberikan surat Maurin kepada mereka. Bunda Sara sendiri juga tidak mengetahui jika mereka berdua adalah orang tua kandung Maurin. Isi pesan singkat tersebut merupakan curahan hati dari seorang Maurin.

-Seberapa pentingnya hidupku sehingga tidak ada satupun orang yang menganggapku penting. Sampai saat ini, kedua orang tuaku juga tak berharap diriku kembali. Terimakasih untuk Bunda Sara yang sudah membesarkanku sampai saat ini. Mungkin ini pesan terakhir dari Maurin, karena sebentar lagi Maurin akan mendonorkan hati untuk saudara yang paling Maurin sayangi. Bukan tentang apa, tapi Maurin malu jika suatu saat Bunda tahu kenapa denganku sebenarnya-

"Sepulang Maurin dari rumah Bapak, sikapnya menjadi pendiam dan sering menyendiri di dalam kamar. Saya juga menemukan alat tes kehamilan di kamar mandi. Saya tahu jika itu milik Maurin. Makanya saya datang ke sini untuk meminta pertanggung jawaban dari anak Bapak," pungkas Bunda Sara dengan muka penuh kekesalan.

"Tidak hanya Anton, bahkan Ibu dan kakaknya sendiri sudah berencana untuk menabrak Maurin," sahut Pak Hardi.

"Saya akan bertanggung jawab, Bu. Kami bertiga mengaku salah, kami memang jahat," sahut Bu Rani penuh penyesalan.

Sebelum mereka bertiga menyerahkan diri, Pak Hardi menjelaskan terlebih dahulu perihal siapa Maurin sebenarnya. Bunda Sara juga sempat terkejut mendengar pengakuan Pak Hardi, kenapa sampai sebesar itu, bahkan Bu Rani sendiri tak pernah menjenguk Maurin.

"Kalau Ibu tahu nama panti saat meletakkan Maurin saat bayi, harusnya Ibu juga ingat waktu mengadopsi Maurin. Tapi ternyata yang Ibu adopsi malah anak kandung Ibu sendiri, yang mendapat perilaku tidak menyenangkan dari keluarga orang tuanya sendiri," pungkas Bunda Sara. "Hingga sekarang dia lebih memilih mendonorkan hatinya kepada Tomi ketimbang harus hidup dengan aibnya," lanjutnya.

"Ja-jadi, Ma-Maurin yang sudah mendonorkan hatinya untuk Tomi. Ya Allah ... Maurin sayang, maafkan Mama, Nak," rengek Bu Rani.

"Maurin, kakakku," ucap Tomi sambil menangis tersedu-sedu.

Pak Hardi tahu jika Maurin pasti masih berada di rumah sakit, pihak polisi memberi kesempatan mereka untuk bertemu terakhir kalinya dengan jenazah Maurin. Sampai di kamar jenazah, perlahan Bu Rani membuka kain putih yang menutupi jenazah Maurin. Terlihat wajahnya sudah pucat tak bisa lagi memberikan senyum dan tawa lagi kepada orang-orang yang menyayanginya. Bahkan Doni dengan Anton juga berkali-kali mengucapkan maaf di depan jenazah Maurin.

"Andai kamu bisa hidup kembali dengan hati Mama, Nak. Mama rela memberikan hati ini untuk kamu. Mama minta maaf, karena Mama tidak bisa membahagiakan kamu, Nak. Mama justru jahat sekali kepada kamu," ucap Bu Rani dengan tangisan deras.

"Selamat tinggal kakakku yang paling baik, hati ini akan aku jaga selalu," gumam Tomi yang juga menangis. Dia teringat tentang dosa yang pernah ia lakukan kepada Maurin. Dari ia membully setiap hari di sekolah, sampai perilaku yang kurang menyenangkan. Walau begitu, Maurin sama sekali tak pernah dendam terhadap Tomi. Justru sekarang dia mempertaruhkan nyawanya untuk dirinya.

Tangisan mereka menyeruak hingga ke penjuru ruangan. Sampai akhirnya Bu Rani beserta kedua anaknya harus bertanggung jawab atas perbuatannya selama ini. Pak Hardi hanya bisa meratapi dan mengikhlaskan mereka bertiga saat dibawa ke kantor polisi.