webnovel

Terbongkar Sudah

"Huek ..." Perut Maurin kembung, terasa mual ingin muntah. Dia juga sudah telat datang bulan, pikirannya mulai membayangkan yang aneh-aneh. Jika memang dia benar-benar hamil, Maurin sudah merencanakan akan keluar dari panti asuhan, karena dia tidak ingin menjadi aib untuk Bunda Sara beserta pengurus panti lainnya.

Pagi itu juga, dia pergi ke apotek untuk membeli alat tes kehamilan. Setelah di tes, alat tersebut menunjukkan hasil yang sempat membuat dia shock. Dua garis tebal yang artinya Maurin positif hamil. Betapa terkejutnya dia, yang ia takutkan selama ini benar-benar terjadi. Namun dia tak mungkin menggugukan kandungannya, karena perbuatan tersebut juga dosa.

"Aku sudah berdosa waktu zina, aku nggak mungkin menambah dosa dengan menggugurkan kandungan ini," gumam Maurin yang masih berada di kamar mandi. Isak tangisnya terdengar hingga mengundang perhatian Bunda Sara.

"Maurin sayang, kamu baik-baik saja kan?" tanya Bunda Sara dari luar kamar mandi.

"Ma-Maurin baik-baik saja kok, Bun." Maurin bergegas mengusap air matanya, agar bundanya tidak curiga. Lalu dia keluar dan beraktivitas kembali bersama anak panti lainnya.

Dia lupa jika alat tes kehamilannya masih tertinggal di kamar mandi. Sampai pada waktu sore hari, ketika anak-anak ingin antri mandi, ada salah satu anak panti yang berhasil menemukan alat tes tersebut.

"Bunda ... Bunda ... aku menemukan ini di kamar mandi," ucap anak panti yang masih berusia 12 tahun itu.

"Em ... oh mungkin ini punya Bunda yang lain. Terimakasih ya, sudah ditemukan," jawab Bunda Sara menutupi sesuatu dari anak tersebut. Karena memang anak seumuran itu belum mengerti tentang alat tersebut. Tidak bermaksud su'udzon, tapi Bunda Sara menebak jika itu milik Maurin. Sejak pulang dari rumah Pak Hardi, dia sering melamun dan kurang berkomunikasi dengan anak-anak yang lain. Beliau juga memergoki Maurin menangis di kamar mandi sebelumnya.

Keesokan harinya, Maurin ingin pergi ke rumah sakit untuk memastikan dirinya benar-benar hamil atau tidak. Dia menuju ke rumah sakit di mana Tomi juga mendapat perawatan di situ. Sampai di depan resepsionis, Maurin tidak sengaja melihat Bu Rani dengan Pak Hardi berantem kecil di depan kamar inap VIP. Maurin bergegas sembunyi di balik tembok sambil menguping perbincangan mereka berdua. Ternyata mereka membahas anak perempuannya yang telah hilang, entah siapa yang mereka maksud, Maurin tidak terlalu menggubrisnya. Sampai akhirnya seorang dokter menghampiri mereka berdua yang berganti membahas kesehatan Tomi.

"Jadi Tomi butuh transpalasi hati," ucapnya dalam hati. Lalu Maurin pergi ke dokter spesialis kandungan. Dan benar saja, dirinya memang benar-benar sedang hamil anak Anton.

"Nanti mbaknya dapat buku pink untuk data kontrol selanjutnya. Suaminya mana, Mbak?" tanya dokter tersebut sambil celingukan kanan kiri.

"Sa-saya sedirian, Dok. Su-suami saya sedang kerja di luar kota," jawab Maurin gugup.

Dari situ Maurin jarang sekali keluar kamar, lebih sering berdiam diri di kamar untuk mendapatkan ketenangan. Bunda Sara juga memahami situasinya, beliau juga jarang menggangu Maurin kalau tidak didasari dengan sesuatu yang penting. Seperti mengingatkan makan dan minum vitamin untuk kesehatannya.

Disisi lain, Pak Hardi begitu marah besar dengan istrinya. Karena dia sebenarnya menginginkan anak perempuan sejak dulu, tapi istrinya malah lebih menuruti kemauan si ibu mertua ketimbang dengan suaminya. Namun Pak Hardi belum mengetahui bagaimana sikap mereka memperlakukan yang ternyata anak kandungnya sendiri.

"Loh, Ibu kan yang waktu itu korban tabrak lari ya?" tanya seorang laki-laki parubaya yang tiba-tiba menghampiri.

"Iya, Pak. Dari mana Bapak tahu soal tabrak lari itu?" tanya Bu Rani heran.

"Waktu itu saya lagi jualan di samping jalan raya tepat mobil Ibu mogok. Sebenarnya mobil tersebut bukan menabrak Ibu, melainkan menabrak seorang gadis muda yang membawa sebuah botol air ke arah Ibu. Tapi gadis tersebut masih beruntung dari maut yang mau menimpanya, malah Ibu yang jadi korbannya. Karena waktu itu mesin mobil Ibu tiba-tiba keluar asap, sehingga Ibu kaget lalu spontan berjalan mundur menenggor gadis tersebut, dan akhirnya Ibu yang tertabrak. Barangkali kalian mau melaporkan kasus tabrak lari ini, saya masih mencatat plat nomer mobil tersebut," papar laki-laki parubaya tersebut.

"Kalau boleh tahu, berapa plat nomernya, Pak?" tanya Pak Hardi penasaran.

Bu Rani semakin gelisah saat laki-laki itu memberitahu plat nomer mobilnya kepada suaminya. Seketika Pak Hardi menatap tajam ke arah istrinya, dia tahu jika plat nomer itu adalah mobil milik Doni, anak laki-lakinya.

"Katakan! Sebenarnya apa yang sudah terjadi?" dengus Pak Hardi sambil mencengkeram tangan istrinya. Sedangkan laki-laki parubaya tadi pamit pergi terlebih dahulu.

"I-itu, Mama bisa jelaskan, Pa." jawab Bu Rani dengan wajah memelas.

"Kamu sungguh keterlaluan! Bukankah nyawamu sendiri pernah ditolong oleh Maurin, sungguh Ibu yang tidak punya hati!" Tangan Pak Hardi semakin mencengkeram erat lengan istrinya. "Jangan bilang kalau foto Maurin bugil itu ulah kamu juga dengan anak-anak!" lanjutnya. "Ayo ikut aku!" Pak Hardi menyeret tangan istrinya pulang ke rumah menemui anak-anaknya.

20 menit perjalanan, akhirnya mereka berdua sampai di rumah. Wajah kedua anaknya tegang melihat orang tua mereka juga berwajah tegang.

"Papa, Mama, ada apa?" tanya Doni dengan polosnya.

"Iya, Pa, Ma, ada apa sih kalian uring-uringan begitu?" Giliran Anton yang bertanya.

"Diam kalian! Ceritakan sejujurnya tentang kejadian tabrak lari dengan foto Maurin. Kalau kalian tidak jujur, Papa tak segan-segan akan memenjarakan kalian semua," pungkas Pak Hardi dengan emosi tinggi.

Dengan terpaksa, Doni dan Anton cerita dengan sejujurnya kepada Papanya. Anton juga menyesali perbuatannya, karena tidak hanya berfoto semata, melainkan menikmati tubuh Maurin yang masih perawan itu.

Plak!

Tamparan panas mendarat ke kedua pipi Anton. Bu Rani juga tak menyangka jika Anton sudah menyetubuhi anak kandungnya. Padahal dia hanya menyuruh Anton untuk berfoto saja.

"Maaf, Pa. Aku khilaf, aku akan tanggung jawab atas perbuatanku," rengek Anton sambil merangkul kaki Pak Hardi.

Di waktu yang bersamaan, Maurin menulis pesan singkat disebuah kertas. Dia sudah mematangkan niat untuk mendonorkan hatinya kepada Tomi, laki-laki yang ia sayangi sebagai saudara. Ketimbang dia harus bunuh diri, atau menggugurkan kandungannya, dia hanya ingin meninggalkan dunia dengan memberi manfaat kepada orang lain. Keputusannya sudah bulat, dia tidak sanggup menjalani hidup kedepannya nanti. Apalagi jika semua orang tahu, bahwa anaknya lahir tanpa seorang ayah.

Siang itu juga, Maurin mencari sela untuk meninggalkan panti menuju rumah sakit tempat Tomi dirawat. Setelah semua dirasa aman, Maurin pun bergegas pergi. Sampai di rumah sakit, Maurin langsung menemui dokter yang menangani Tomi. Kebetuan saat itu, kedua orang tuanya tidak ada di kamar Tomi. Maurin mengintip dari balik jendela menyaksikan tubuh Tomi yang berbaring lemah tak berdaya.

"Tenang, Tom. Setelah ini kamu akan sehat kembali seperti sedia kala," ucap Maurin dalam hati.