Dengan berat hati, Maurin mengemasi barang-barangnya, lalu pergi dari rumah Pak Hardi. Dia tak sanggup menahan isak tangis setelah keluar dari rumah tersebut. Anton pun tak ada tanggung jawabnya sama sekali atas perbuatannya. Maurin takut jika suatu saat dia hamil di luar nikah pada usia yang masih terbilang muda. Entah harus tinggal di mana juga dirinya, karena dari kecil dia tinggal di panti asuhan, dan tak memiliki siapa-siapa lagi.
Tidak ada tujuan lain, selain kembali ke panti asuhan Kasih Bunda. Tempat di mana dia sudah dibesarkan. Dia berjalan menyusuri tepian aspal sambil membawa tas besar menuju panti asuhan.
Sampai di depan panti, terlihat Bunda Sara berada di halaman panti sedang membersihkan daun-daun kering yang berserakan.
"Bunda ..." panggil Maurin dengan tatapan memelas, berlari ke arah Bunda Sara.
"Maurin sayang, ya Tuhan ... kamu sudah besar, Nak," sahut Bunda Sara sambil memeluk Maurin.
"Maurin kangen sekali sama Bunda, kangen kasih sayang dari Bunda." Maurin kembali menangis.
"Sayang, jujur sama Bunda. Apa di tempat Pak Hardi nggak ada yang sayang sama kamu?" tanya Bunda Sara penasaran. Sedangkan Maurin hanya menggelengkan kepalanya saja, lalu terdiam.
Bunda Sara hafal dengan sikap Maurin, dia seperti itu pasti sedang ada masalah. Tanpa berlama-lama di luar, Bunda Sara mengajak Maurin masuk ke dalam dan menanyakan perihal sikap keluarga Pak Hardi kepadanya. Maurin tak bisa memendam masalah tersebut sendiri, tapi takut jika Bunda Sara akan melaporkan Anton kepada polisi. Sementara untuk masalah pemerkosaan Anton terhadapnya, ia tutupi. Dia hanya bercerita tentang istri serta anak-anak Pak Hardi yang selalu jahat kepadanya.
"Maafkan Bunda ya, Nak. Nggak seharusnya Bunda melepaskan kamu begitu saja ke tangan mereka. Selama tujuh tahun ini, perasaan Bunda selalu nggak enak. Bunda selalu kepikiran kamu, sampai foto kamu yang ada di kamar tiba-tiba jatuh. Bunda terus berdoa semoga tidak terjadi hal buruk menimpa kamu, Sayang."
Maurin memeluk erat tubuh Bunda Sara, firasat buruk itu benar-benar terjadi kepadanya. Bahkan Pak Hardi pun sama sekali tidak percaya dengan perkataannya. Semua menganggap Maurin sebagai gadis murahan, penggoda anak orang.
***
Satu bulan kemudian, semenjak kepergian Maurin dari rumahnya, istri Pak Hardi lebih sering tidur di kamar Maurin, karena memang sebelumnya kamar tersebut adalah kamar milik istrinya.
"Mbok, tolong bersihkan laci itu ya! Saya mau isi laci itu dengan barang-barang saya," suruh Bu Rani kepada Mbok Asih.
"Baik, Nyonya." Mbok Asih segera membersihkan isi laci tersebut, lalu mengeluarkannya.
"Nyonya, ada foto. Sepertinya milik Maurin." Mbok Asih menyodorkan dua buah kertas foto kepada Bu Rani.
Bu Rani terkejut ketika melihat yang ada dalam foto tersebut adalah foto dirinya setelah melahirkan. Sambil menggendong bayi perempuan yang sangat lucu sekali. Di belakang foto tersebut, tertulis kalimat yang membuat hatinya tersentuh.
-Ibu, andai ibu masih hidup, Maurin ingin bertemu dengan ibu. Maurin ingin tahu, apakah ibu masih sayang dengan Maurin? Maurin sendirian, Bu. Entah kenapa orang-orang selalu membenci Maurin? Kalau ibu nggak sayang sama seperti mereka, Maurin akan mengalah pergi-
Tanpa disadari air mata Bu Rani menetes dengan derasnya, teringat dengan 17 tahun silam. Dia melahirkan anak kedua, di mana yang lahir adalah bayi perempuan. Kebetulan suaminya sedang berada di luar kota, dan tak bisa menemaninya melahirkan. Namun yang menemani Bu Rani melahirkan justru ibu mertuanya. Ibu mertua dari Bu Rani tidak ingin memiliki cucu perempuan, karena dia percaya jika anak perempuan tidak bisa memimpin perusahaan warisannya nanti.
Di waktu yang bersamaan, ada seorang ibu lain yang melahirkan bayi laki-laki kembar. Perempuan setengah tua tersebut tidak bisa membayar biaya persalinannya, yang akhirnya kedua bayinya tidak bisa dia bawa pulang.
Dengan memanfaatkan keadaan, ibu mertua dari Bu Rani membantu melunasi semua biaya persalinan perempuan itu, asalkan dia mau memberikan salah satu anak laki-lakinya kepada ibu mertuanya. Perempuan tersebut beserta suaminya pun setuju, karena mereka juga sedang kesulitan ekonomi. Tidak akan mampu jika harus membesarkan kedua anaknya. Bayi laki-laki itu tak lain adalah si Anton. Sedangkan bayi perempuan Bu Rani, ia titipkan kepada panti asuhan, dengan meninggalkan sebuah foto dan kalung berinisial huruf R.
"Jangan-jangan, Maurin anakku," gumam Bu Rani dengan isak tangis yang begitu mendalam. "Aku sungguh berdosa dengannya, ibu macam apa aku ini. Maafkan ibu, Maurin," lanjutnya.
Mbok Asih tak berani berkata apa-apa selain hanya menenangkan majikannya. Tanpa sengaja, Tomi mendengar pembicaraan antara mamanya dengan asisten rumah tangganya tersebut. Tangannya mengepal dengan tatapan mata elang menyala, ingin sekali menghabisi nyawa Anton yang ternyata bukan siapa-siapanya. Pantas saja golongan darah Maurin dengan mamanya sama, ternyata Maurin memang anak kandung mamanya.
"Mama!" sentak Tomi mengejutkan mereka berdua.
"To-Tomi, sejak kapan kamu di situ?" tanya Bu Rani dengan tatapan gelisah. Khawatir jika Tomi akan mengadu kepada papanya.
"Mama memang benar-benar jahat! Kenapa Mama tega melakukan itu semua kepada anak kandung Mama sendiri. Dia juga yang sudah mendonorkan setengah darahnya ke Mama. Tapi balasannya apa?" papar Tomi yang kesal dengan perbuatan mamanya. "Tomi benci dengan Mama!" Tomi berlari keluar kamar Maurin, namun langkah kakinya terhenti karena perutnya tiba-tiba sakit.
"Tomi ... kamu kenapa, Sayang?" teriak Bu Rani menghampiri anaknya.
Tak lama kemudian, Tomi pingsan. Mbok Asih meminta bantuan kepada Doni untuk membawa Tomi ke rumah sakit saat itu juga. Tiba di rumah sakit, Tomi mengalami sakit pada perutnya kembali, dan mual-mual. Dokter bilang bahwa hati Tomi terserang virus yang sangat mematikan. Di mana penyakit liver tersebut bisa menyerang ginjal jika tak segera mendapat penanganan lebih lanjut. Bagaimana perasaan bisa tenang, jika sudah memikirkan Maurin, ditambah lagi dengan Tomi yang sakit.
"Dok, apa anak saya bisa sembuh?" tanya Bu Rani.
"Berdoa saja, Bu. Kemungkinan sembuh sangatlah kecil, mungkin bisa saja sembuh jika ada transpalasi hati. Saya permisi dulu."
"Ma, memangnya ada ya orang yang mau mendonorkan hatinya ke Tomi?" tanya Doni mulai khawatir dengan keadaan adiknya.
"Entahlah, Don. Mama kepikiran Maurin, dia sekarang tinggal di mana? Dengan siapa? Bagaimana kalau dia kehujanan?" sahut Bu Rani dengan tatapan melamun.
"Maurin? Harusnya kita senang dong karena dia sudah tidak ada di rumah kita," sahut Doni.
"Maurin sebenarnya adik kamu, Don. Anton yang anak angkat Mama," ucap Bu Rani dengan wajah melas. "Nenek kamu yang sudah menyuruh Mama meletakkan Maurin ke panti, lalu mengadopsi Anton dari orang yang bersamaan melahirkan dengan Mama," lanjutnya.
"Apa maksud kamu?" tanya suaminya yang tiba-tiba datang.