Aku masih menatap telapak tanganku. Masih terasa panas pada permukaan kulitnya. tatapanku beralih pada Tsukasa yang terus menunduk, tangannya memegangi pipinya yang memerah.
Aku menamparnya. aku bersumpah tanganku bergerak sendiri. Aku tak bermaksud menyakitinya! Sungguh!
"Ma,maafkan aku Tsukasa," tanganku meraih pipinya yang memerah, mengusapnya dengan pelan. Terlihat jelas bekas tanganku di atas kulit pipi Tsukasa yang putih dan halus.
Tsukasa hanya menatapku, matanya memerah menahan tangis. Tamparanku pasti sangat mengejutkannya, pasti melukai hatinya.
"Kenapa kau bicara begitu?" Aku kembali bertanya, dengan suara lebih pelan dari sebelumnya.
"Aku sudah terjebak hingga sejauh ini kau tahu, puluhan kali aku merengek seperti orang bodoh untuk meminta bantuan padamu."
Apa?! Apa maksudnya itu?!
"Kenapa kau begitu berbeda sekarang?! Apa kau pikir kau bisa menolongku sekarang?!" pekik Tsukasa. Air matanya kembali luruh, ia tak mengusapnya, terus menatapku begitu marah.
Ya Tsukasa. Marahlah padaku, aku pun marah pada diriku sendiri.. aku tak bisa mengingat apa yang telah terjadi pada kita. Entah apa yang sudah terjadi pada otak terkutuk ini, tapi aku sangat menderita..
Apa saja yang aku lakukan selama ini?! melihat Tsukasa yang terlihat begitu hancur saat ini, seharusnya aku melakukan sesuatu bukan?!
Aku menunduk, menjambak rambutku dengan kuat.
Kenapa kembali ke masa yang telah berlalu tak seperti yang aku fikirkan?! Kenapa ini semua begitu rumit?!
"Kenapa kau diam saja!" Tsukasa menarik tanganku, memaksaku untuk menatapnya.
Melihat Tsukasa menatapku dengan marah, membuatku ikut terbawa. Aku pun marah! rasanya ada bara yang tiba-tiba kembali berkobar di dalam dada.
"Tentu saja aku ingin menolongmu!! kau pikir untuk apa aku kembali kemari?! KAU PIKIR KENAPA AKU HARUS MEMUTAR WAKTU DAN BERSUSAH PAYAH BERURUSAN DENGANMU DAN KENGORBANKAN SEDIKIT DEMI SEDIKT HIDUPKU?!"
Ah!! gawat..
Tsukasa palsu melongok dari balik tubuh Tsukasa di hadapanku. Ia menyeringai, jari telunjuknya menunjuk padaku lalu bergerak ke kanan dan kiri berulang-ulang.
"Peringatan." katanya dengan suara yang mulai menggema di seluruh ruang kepalaku.
Ia menerobos tubuh Tsukasa yang tampak kosong, menunduk tanpa menunjukan ekspresi apa pun, lalu tiba-tiba si palsu itu menamparku tanpa aba-aba. Kepalaku terasa begitu sakit, dan pandanganku mulai kabur. Aku tak bisa mengendalikan tubuh serta kesadaranku, hingga suara jam weker yang sangat aku kenali menarik semua kesadaran yang terpecah beberapa waktu lalu.
Dengan satu hentakan aku bangkit, jantungku berdenyut-denyut tak karuan. jam weker itu sudah ada di tanganku, dan ketika aku melihat layarnya aku merasa sakit hati.
Aku sudah kembali ke masa kini.
Mengusap wajahku yang basah karena air mata dan peluh. Kali ini aku tak mencoba menelepon nomor Tsukasa. Apalagi pergi ke rumahnya untuk melihat apakah Tsukasa masih ada atau memastikan keadaan memang tak berubah.
Aku sudah tahu kalau kali ini aku gagal. Gagal lagi! Tanganku kembali menjambak rambut. Aku sangat kesal pada diriku sendiri, ada sesuatu yang terjadi dan itu sangat penting. Tapi kenapa aku tak mengingatnya, dan semua seakan menjadi salahku. Sialan!!
Semua menjadi begitu rumit!
.
.
.
Sup miso buatan ibuku sudah tak lagi mengepulkan uap panas. Aku hanya menatapnya, perutku juga kosong, tapi rasa lapar tak terasa sama sekali olehku.
Aku pikir.. otakku memang sedang bermasalah.
"Apa kau baik-baik saja?" tangan ibuku dengan lembut mengusap kepalan tanganku di atas meja. Itu cukup mengagetkan, melihat reaksiku, ayah ikut bangkit dan mendekat padaku.
"Apa ada hal buruk yang kau alami?"
Sentuhan-sentuhan ayah dan ibuku membuat sesuatu yang aku tahan mati-matian di dalam dada, meledak keluar. Air mataku dengan deras mengalir. Menundukkan kepala adalah salah satu cara yang bisa aku lakukan untuk mengurangi perasaan ini. Ibu dan ayah tak boleh tahu apa yang sedang aku lakukan beberapa waktu belakangan.
Ibuku sekarang sudah ada di sisiku, memeluk dengan erat dan mengusap-usap kepalaku. "Mama sangat khawatir denganmu. Jangan dipendam sendiri."
"Aku merindukan Tsukasa." Hanya itu jawaban yang bisa aku berikan. Itu bukan sebuah kebohongan, aku tak akan berbohong pada orangtuaku.
Aku sangat merindukan Tsukasa, Setiap waktu, setiap detik.. Tsukasa memenuhi kepalaku. Dan jujur saja, semua itu kini menyiksaku.
Haruskah aku berhenti?
Tidak!! Tidak akan! Aku tak mau kehilangan Tsukasa. Apa pun yang terjadi, Tsukasa harus aku selamatkan. Meski harus menukar jiwaku pada iblis sekalipun.
"Papa tahu ini sangat berat bagimu, tapi Tsukasa sudah tak ada dan itu kenyataannya. Relakan dia. Semakin kau berusaha mendekap bayangan, kau hanya akan membentur dinding.."
Apa itu?! apa yang tadi ayahku katakan?!
"Merelakan papa bilang?" Bara api dalam dadaku, belum padam.
"Ya, kau terlihat begitu menderita karena kematian Tsukasa. Papa dan mama sangat khawatir."
"Mana bisa aku merelakannya jika ternyata semua itu adalah salahku?!"
Ha?! apa yang aku katakan?!
Mulutku bicara sendiri, di luar dari kendaliku. Pandanganku tertuju pada ekspresi ayah yang terlihat begitu terkejut sekaligus sedih.
"Berhentilah menyalahkan dirimu sendiri, dan cobalah terima kenyataan!" Setelah mengatakan hal itu, ayahku pergi meninggalkan ruang makan. Aku menebak ia pergi ke kamarnya. Pelukan ibuku mengerat sebentar lalu ia melepaskan pelukannya dariku. Tatapan mata kami bertemu.
"Mama takut sesuatu yang buruk terjadi padamu. Kami semua khawatir, kau begitu berubah setelah kematian Tsukasa. Kematiannya adalah takdir, kau harus tahu itu. Jangan pernah memikul sesuatu yang tidak seharusnya. rasa bersalahmu itu sangat tidak masuk akal dan tak beralasan."
"Mama, aku minta maaf tidak bisa menghabiskan sarapanku. Aku ingin di kamar." Aku yakin tindakanku ini akan membuat ibuku lebih khawatir lagi, tapi aku takut tak bisa menahan diri di depan ibuku.
Aku bahkan tak menyentuh sumpitnya ..
***
Sekarang tanggal 30.
Aku tak merapal mantra itu selama 2 malam kemarin, tak mencoba kembali ke hari kemarin dan bertemu dengan Tsukasa yang aku rindui itu. Mengisolasi diri di kamar. Beberapa kali ibuku masuk ke kamar dan mengatakan sesuatu yang tidak bisa aku ingat. Ayahku, ia hanya melihat dari ambang pintu.
Keisuke kemarin datang dengan satu krat jus jeruk. Berkata pada ibuku ingin menjengukku. Entah siapa yang mengatakan bahwa aku sedang sakit pada Keisuke.
Ia hanya melihat prihatin padaku selama beberapa jam. Lalu aku, hanya terbaring melihatnya balik tanpa bertanya apa pun.
Dari tatapan Keisuke. Aku bisa menebaknya. Ia kasihan padaku. Dia pikir aku sangat depresi dan memiliki potensi besar untuk bunuh diri. Karena itu dia datang, ia ingin aku berpikir bahwa aku tak sendirian.
Bodoh sekali! Lucu sekali, Keisuke!!
Aku tak akan melakukannya. Karena aku akan membawa kembali Tsukasa ke dalam hidupku. Dalam artian yang Harfiah!
***