Keesokan harinya Raissa bekerja seperti biasa, hari ini ia bekerja di poli jantung dengan dr. Faisal, sambil melakukan tes treadmill pada pasien mereka memperbincangkan kasus hangat Raihan dan Farhan, tentu saja dengan menggunakan inisial. Beberapa pasien yang mengikuti beritanya di media elektronik juga ikut geram dengan si pak guru yang memakai dalih lomba matematika untuk mencabuli murid-muridnya. Selain topik itu, Para Karyawan juga memperbincangkan si topi biru yang sudah tidak bertopi biru lagi, foto rekayasa sudah disebarkan ke seluruh karyawan agar semua karyawan waspada. Beberapa karyawati kini lebih memilih pulang beramai-ramai daripada sendirian, atau minta dijemput oleh kerabatnya. Selebihnya hari berjalan seperti biasa, sebenarnya Raissa sedang gugup, bagaimana harus bersikap bila bertemu dengan Aditya nanti? Dari pagi hingga sore Raissa tidak bertemu sekalipun dengan Aditya. Ada rasa lega dalam hati ketika tidak bertemu, tetapi kesal juga. Apalagi Aditya juga tidak memberi kabar apapun pada Raissa setelah pesan terakhir dari Aditya. "Ngapain juga harus galau, toh pacar juga bukan! Terserah dia lah mau ngapain, mau kasih kabar atau tidak, terserah!! bangun Sa,jangan mimpi terus!!" kata Raissa pada dirinya sendiri.
Sore itu Raissa, Asya dan Peni menuju RS tempat Liza dirawat. Di ruang tunggu ICCU mereka hanya bertemu dengan Ayah Liza dan beberapa adiknya. "Tante kemana Om?"tanya Raissa. "Di dalam menemani Liza, pagi ini Liza sudah siuman, tapi masih susah berkomunikasi. Trauma juga sepertinya, karena terus menerus menangis, hanya tenang bila ada ibunya. Tangan ibunya selalu dipegang, seperti yang ketakutan." kata Ayah Liza. Raissa, Peni dan Asya saling memandang prihatin. "Apa kami bisa menjenguk Liza Om?" tanya Asya. "Saat ini hanya diperbolehkan 1 org saja, jadi harus bergantian. Hanya saja dari tadi Liza maunya sama ibunya saja, sama saya saja tidak mau, histeris memanggil ibunya. Mungkin kalau sama nak Raissa mau, kan nak Raissa yang paling dekat dengan Liza. Kasian juga Ibunya, pasti sudah kebelet dan kelaparan." kata Ayah Liza. "Ya udah Sa, kamu saja yang masuk duluan, nanti kalau liza mau kita bisa gantian, lumayan kita bertiga bisa menggantikan ibu Liza sementara selama makan atau ke toilet sebentar." kata Peni. "Iya, kalau Liza maunya kamu doang juga tidak apa-apa Sa, kami akan tunggu disini."Kata Asya. "Baiklah kalau begitu aku coba masuk ya, semoga Liza mau ditemani sementara olehku." kata Raissa. Ayah Liza, Asya dan Peni mengangguk. Raissa memasuki ruangan ICCU dengan terlebih dahulu membuka sandalnya dan memakai baju khusus Pengunjung ICCU. Ia mencari dimana Liza di tempatkan, lalu menuju kesana setelah menemukannya. Baik Liza dan ibunya sama-sama sedang tertidur sambil berpegangan tangan. Kedatangan Raissa membangunkan keduanya. "Tante. Liza.. maaf jadi membangunkan kalian." kata Raissa sambil pelan-pelan mendekati Liza. "Eh ada nak Raissa, sini duduk disini. Liza.. Ibu ke toilet dulu yaa.. Ibu kebelet, sama Raissa dulu ya.. tidak apa-apa ya?" kata Ibu Liza. "Iya Liza, aku temani dulu sementara ibu kamu ke toilet dan makan dulu, kasihan belum makan." bujuk Raissa. "Tapi jangan lama-lama ya Bu, segera kembali ya Bu." Pinta Liza. "Di luar juga ada Asya dan Peni loh Za, semuanya mau jenguk kamu." kata Raissa. "Jangaann.. jangan banyak orang, Peni dan Asya tidak apa-apa, jangan yang lain." kata Liza pendek. "Baiklah, Tante.. tolong bilangin asya dan Peni, nanti bisa gantian.. sementara kami gantian, Tante bisa ke toilet dulu, mandi dulu dan makan dulu." kata Raissa. "Ah, iya nak.. betul juga, untung ada kalian.. Liza tidak mau ada laki-laki yang menyentuh dia. Dokter saja tidak mau. Pusing Tante!" bisik Ibu Liza. Raissa menepuk-nepuk lengan ibu Liza mengerti, Liza masih trauma. Akhirnya Ibunya Liza meninggalkan ruangan. Raissa duduk di samping Liza sambil memegang tangannya. "Maaf ya Za, seandainya waktu bisa diputar, kejadian ini tak akan menimpamu." kata Raissa. "Dia mengincarku Sa, katanya sudah lama dia menungguku, katanya aku selalu menggoda dia, dia bilang akan datang lagi untukku. aku takut Sa! katanya dia belum selesai!!" kata Liza sambil ketakutan. "Kapan dia bilang begitu?" tanya Raissa. "Malam itu, ketika dia membekap aku, dia menodongkan senjatanya ke leherku, aku tidak berani bergerak. Katanya aku perempuan binal penggoda laki-laki, dan aku harus dihukum, hiks.. hiks.. aku perempuan kotor katanya Sa.. Lalu dia menggerayangi tubuhku, aku tidak tahan jadi aku menjerit, tetapi dia marah dan menusukku..hiks..hiks." kata Liza sambil menangis. "Shhh..shhh..shhh.. kamu wanita baik-baik Liza, cantik dan menawan. Kamu tidak kotor atau suka menggoda laki-laki. Aku kenal kamu Za, kamu tidak seperti itu. Si kumis lele itu saja yang sakit jiwa!" kata Raissa menenangkan Liza. "Lalu kenapa dia mengincarku Sa, katanya sudah lama dia menungguku!" tanya Liza. "Liza, orang itu sakit jiwa! ini semua bukan salahmu Liza. ingat!! Bukan salahmu!!" kata Raissa tegas. "Tapi.. tapi.." Liza terbata-bata. "Sudahlah, istirahat saja, pulihkan dirimu. Sudah bicara dengan polisi?" tanya Raissa. "Aku tidak mau, mereka semua laki-laki, aku tidak mau melihat laki-laki!!" rengek Liza. "Iya, iya.. nanti aku minta Carikan polisi wanita saja ya?" bujuk Raissa. "Dia belum tertangkap ya? aduuh dia pasti akan datang untuk menghabisi ku! Raissa, jangan pergi ya? temani aku..!" rengek Liza lagi. "Tenanglah, ada aku disini, nanti juga ada Asya, Peni dan Ibumu akan datang kembali untuk menjagamu. Tidurlah.." bujuk Raissa sambil mengusap-usap rambut Liza. Liza mulai tenang dan kembali tertidur. Raissa menggenggam tangan Liza sambil bernyanyi pelan supaya Liza tidak merasa sendirian. Walaupun begitu Liza tetap terbangun setiap lima menit, memastikan Raissa ada dan tidak ada satu laki-laki pun disekitarnya. Raissa sangat frustasi melihat kondisi sahabatnya yang selalu ketakutan. 15 menit kemudian Peni masuk, Liza langsung terjaga begitu mendengar ada orang datang, tetapi tenang kembali begitu melihat Peni. Sebelum keluar Raissa memberitahu secara singkat ketakutan Liza pada Peni, Peni hanya mengangguk dan menggenggam tangan Liza lalu menyuruh Raissa keluar. "Sa, sebaiknya lapor polisi lagi, Kalau benar si topi biru mengincar Liza, dan masih mengincarnya, seharusnya Liza selalu dijaga." bisik Peni. Kali ini Raissa yang mengangguk lalu keluar dari ruangan itu sambil mengecup kening Liza untuk pamit. Raissa berjalan ke ruang tunggu dan kaget melihat Aditya sedang menunggu bersama Alex dan Asya. Orangtuanya Liza sedang makan dengan lahap disamping mereka. "Makan nak Raissa." tawar orangtua Liza. "Eh iya, silahkan om dan Tante duluan saja. saya belum lapar." kata Raissa yang memang belum terlalu lapar, dan saat ini selera makannya sedang tidak ada karena sedang frustasi memikirkan Liza. "Bagaimana kondisi Liza?" tanya Aditya sambil menatap mata Raissa. Wajah Raissa memerah ditatap seperti itu. " Eeuugh.. kondisi fisiknya tentu saja membaik, tetapi tidak dengan psikisnya, tentu saja butuh seorang yang ahli untuk mendiagnosanya. Hanya saja tanda-tandanya jelas sekali kalau Liza trauma. Dia sangat ketakutan, tidurnya gelisah, memastikan selalu ada orang disampingnya, setiap lima menit bangun, menangis, menyalahkan diri sendiri. Oya dia tidak mau didekati Pria. bahkan dokter atau perawat sekali pun. Dia takut si topi biru akan datang lagi untuk membunuh Liza. Aku tidak tahu apakah ini hanya bagian dari ketakutan Liza, atau memang benar si topi biru mengancam demikian." kata Raissa yang untungnya dapat menguasai debaran jantungnya yang berdebar tidak karuan ditatap Aditya. "Benar Nak Raissa, sejak sadar tadi pagi, Liza terus ketakutan, saya sempat ke toilet tadi pagi dan Liza langsung histeris sampai harus diberi penenang."ujar Ibu Liza. "Saya juga merasa gagal sebagai seorang ayah. Memang Liza tidak apa-apa saya jenguk, tapi Lizanya tetap memilih ibunya saja. Aduuhh kalau ketemu orang yang melakukan ini pada anak saya, akan saya hajar habis-habisan!" kata Ayah Liza dengan geram. "Hmmm, sepertinya kita butuh psikiater untuk menganalisa Liza. Apakah ancaman itu memang benar terjadi atau hanya ketakutannya saja." kata Alex. "Kita memang membutuhkan psikiater untuk memulihkan traumanya juga Lex. Tidak mungkin Liza bekerja dengan kondisi psikis seperti ini, pasien kita beragam, dan tidak sedikit yang berjenis kelamin pria." tambah Aditya. "Pertanyannya adalah, apakah kita harus memberitahukan pada polisi?" Tanya Raissa. "Mungkin kita laporkan saja, polisi juga harus meminta keterangan dari Liza kan? Raissa kau punya nomor telepon Briptu Agus, dia yang menangani kasus Liza kan? pasti dia ingin tahu kalau Liza sudah sadar. Tapi beritahukan kalau yang menanyai Liza harus polisi wanita yang tahu cara menangani pasien yang sedang stress berat seperti Liza." kata Asya. "Benar juga Sya! Sekalian polwan itu memeriksa RS juga apakah ada tanda tanda si topi biru disini atau tidak." kata Raissa. "Kalian sudah melihat foto rekayasa si topi biru kan? sebaiknya mulai sekarang kalian juga harus waspada dengan keadaan sekitar, siapa tahu melihat orang tersebut." kata Alex. "Saya belum dapat foto Rekayasanya Dok.. boleh saya minta?" kata Ayah Liza. "Boleh pak, saya kirimkan ke ponsel bapak sekarang." kata Alex sambil mengirim foto tersebut dari ponselnya. Ayah dan Ibu Liza mengamati foto rekayasa orang yang telah melukai anaknya setelah foto itu diterima oleh Ayah Liza di ponselnya. "Sejauh ini aku belum pernah lihat sih." kata Asya. "Sama Sya, jadi bagaimana? aku hubungi saja Briptu Agus?" tanya Raissa sambil melemparkan tatapan bertanya pada Aditya, Alex dan Asya. Ketiganya mengangguk serempak. "Pakai speaker saja biar kami semua mendengar." Ujar Aditya beberapa detik kemudian. Asya tersenyum simpul. Raissa berdoa dalam hati semoga si Briptu sinting itu tidak mengatakan sesuatu yang konyol lalu Raissa mencari nomor Briptu Agus dan melakukan panggilan telepon sambil menekan tombol speaker. Beberapa deringan berbunyi dan telepon tidak diangkat. "Kemana lagi pak polisi ini?" gumam Raissa kesal. Kalau dicari tidak ada, tidak dicari malah ada. Raissa mengulang kembali panggilannya. Untungnya kali ini Briptu Agus menjawab. Raissa hendak mengatakan bahwa ia melakukan panggilan dengan speaker agar didengar oleh semua orang, tetapi Briptu Agus sudah duluan menyapa Raissa, "Halo Raissa sayang, kangen Abang ya? gimana tawaran Abang jalan-jalan? berubah pikiran tidak? ayok jalan yuk sama Abang.."
Ehhhh?!?!?!?!