Zesa berdiri di samping koper. Ia menengadah, melihat bangunan tinggi dengan pintu gerbang yang tingginya dua kali lipat dari tinggi badannya. Di rumah inilah kelak ia akan menghabiskan tiga ratus enam puluh lima hari sebagai seorang pelayan.
"Silakan masuk, Nona!"
Seorang pria berseragam hitam menghampiri Zesa. Memersilakan gadis itu masuk ke dalam gerbang. Pria itu mengantar Zesa sampai di depan pintu, lalu meninggalkannya.
Zesa menarik napas dalam-dalam sebelum mengetuk pintu. Ia berbohong pada ibunya, mengatakan bahwa ia hendak merantau selama setahun bersama temannya. Namun, ia tidak tahu sampai berapa lama kebohongannya terungkap.
Jarak rumah itu dengan rumahnya tidak begitu jauh. Dalam waktu tiga puluh menit saja sudah sampai di rumah Zesa. Belum lagi jika ia harus keluar, bisa saja ia bertemu dengan ibunya di jalan.
Tok! Tok! Tok!
"Ya, sebentar!"
Suara seorang wanita menjawab ketukan serta salam dari Zesa. Kurang dari lima menit kemudian, pintu terbuka. Wanita paruh baya yang sedikit bungkuk, dengan rambut hampir putih seluruhnya, tersenyum menyambut kedatangan Zesa.
"Non Zesa, ya?" tanya wanita tua itu dengan garis mata yang turun. Penglihatannya sudah mulai kabur karena usia senja. Ia hanya melihat Zesa dengan penglihatan samar.
"Benar, Bu. Saya Zesa, pelayan baru di sini." Zesa bicara dengan sangat sopan.
"Akhirnya datang juga. Ibu sudah lama menunggu. Ayo masuk," ucap wanita paruh baya itu sambil menarik tangan Zesa.
"Maaf, nama Ibu siapa?"
"Ah, ibu lupa memperkenalkan diri. Nama ibu, Sumirah. Ibu pengasuh sekaligus pelayan satu-satunya di mansion ini. Sudah lama ibu meminta anak-anak nakal itu untuk mencari pengganti ibu, tapi mereka selalu beralasan tidak nyaman tinggal dengan orang lain. Tuan besar pernah mengirim beberapa pelayan ke mansion ini, tapi mereka membuat pelayan itu mengundurkan diri dalam waktu sehari."
Ibu Sumirah menceritakan tuan majikan dengan sangat santai. Ya, itu karena dia sudah mengasuh mereka sejak tuan besar mengambil mereka dari jalanan. Tuan Wicaksana tidak ingin mengadopsi anak dari panti. Namun, saat melihat anak-anak terlantar di jalanan, ia tidak tega.
Sumirah-lah yang mengasuh mereka. Kelimanya bukanlah saudara kandung. Mereka dipertemukan oleh takdir, menyusuri jalanan, bersama-sama setiap hari.
Di malam berhujan, mereka berlima berteduh di depan sebuah minimarket. Namun, mereka diusir karena dianggap mengganggu kenyamanan pengunjung. Damar Wicaksana, laki-laki itu melihat mereka berjalan menembus lebatnya hujan yang mengguyur kota dengan derasnya.
Rasa empatinya tidak mengizinkan dirinya untuk mengabaikan mereka. Damar mendekati mereka dan meminta mereka masuk ke mobil. Sejak hari itu, dua puluh dua tahun yang lalu, kelima anak laki-laki itu diangkat menjadi anak. Wicaksana memiliki dua mansion mewah yang saling berdampingan.
Sumirah bercerita panjang lebar sambil menunjukkan semua ruangan di mansion itu. Ia juga menunjukkan cara membuat teh dan kopi untuk para tuan muda. Selesai mengajak Zesa berkeliling, Sumirah mengantar gadis itu ke kamar yang akan ditempatinya.
"Ibu tidak salah memberikan kamar ini untuk saya?" tanya Zesa saat membuka kamar miliknya.
Kamar itu terlalu besar dan mewah untuk ukuran kamar pelayan. Kamar Zesa di rumah saja tidak sebesar itu. Ia sampai menganga menatap ranjang king size di kamar itu, dikelilingi kelambu yang diikat ke tiang ranjang.
"Apa kau mau mengambil kamarku? Dasar anak muda yang serakah," jawab Sumirah dengan ketus.
"Ti-tidak, Bu. Bukan begitu maksud saya. Saya merasa kalau kamar ini terlalu besar untuk pelayan seperti saya," bantah Zesa dengan cepat.
"Aku hanya bercanda. Tidak perlu merasa bersalah seperti itu. Apa kau ingin memilih kamar sendiri? Aku akan menunjukkan semua kamar kosong di rumah ini, sekaligus mengajakmu melihat kamarku," kata Sumirah dengan nada yang sangat berwibawa.
'Memang pantas menjadi pengasuh anak keluarga kaya. Bu Sumirah sama sekali tidak terlihat seperti seorang pelayan atau pengasuh. Dia lebih terlihat seperti nyonya di rumah ini. Pakaian yang dipakainya terlihat elegan, padahal tubuhnya sedikit bungkuk.'
Zesa menggumam dalam hati. Langkahnya terhenti untuk membuka kamar kosong di hadapannya. Semua kamar kosong yang ditunjukkan oleh Sumirah ternyata sama besarnya dengan kamar miliknya.
"Kalau semuanya sama, saya pilih kamar yang tadi saja, Bu. Kamar itu lebih dekat dengan dapur, jadi lebih mudah untuk saya menghemat waktu."
"Baiklah. Ibu memberikan kamar itu, karena kamar itu berada di samping kamar ibu," ucap Sumirah sambil melangkah pergi. Ia mengulum senyum tipis saat Zesa terkejut mendengar pernyataannya.
"Ibu sengaja mengajak Zesa berputar-putar dulu, baru pergi melihat kamar Ibu?"
"Yah, anggap saja godaanku sebagai salam perkenalan. Haha …." Dengan santainya Sumirah menjawab pertanyaan Zesa. Diiringi gelak tawa yang terdengar sangat riang. Ia sangat senang bertemu dengan gadis itu.
Zesa mengikuti wanita itu sampai di kamar. Milik Sumirah justru merupakan kamar yang lebih besar dari kamar-kamar kosong lainnya. Pantas saja Sumirah sedikit ketakutan kamarnya diambil oleh gadis itu.
"Apa kau ingin tinggal di sini? Tapi, kau jangan berharap aku akan keluar dari kamar ini," kelakar Sumirah sambil tertawa kembali.
"Tidak, Bu. Kamar yang di sebelah juga sudah cukup besar." Zesa menolak dengan halus.
Ia harus merapikan baju-bajunya. Sumirah memberikan sebuah buku yang berisi makanan dan minuman kesukaan para tuan muda. Zesa harus menghafalnya sebelum mereka tiba nanti malam.
"Kalau begitu, Zesa pamit ke kamar dulu," pamit gadis itu sambil membawa buku itu bersamanya.
"Jangan lupa untuk mengingat nama mereka dengan baik. Kalau salah sebut, kau mungkin akan dihukum," ucap Sumirah memperingatkan.
Kelima tuan muda itu memiliki sikap yang berbeda. Zayden termasuk yang paling pendiam, berbeda dengan si bungsu yang lebih cerewet, berkepribadian ramah dan supel. Namun, ada satu orang yang harus diwaspadai oleh Zesa, tuan muda ketiga yang orangnya selalu berubah secepat angin jika ada yang membuatnya tersinggung.
Setelah merapikan bajunya ke dalam lemari, Zesa duduk di sofa di dalam kamarnya sambil membaca buku yang diberikan oleh Sumirah. Ia tidak hanya membaca, tapi juga harus menghafal semua tentang tuan muda di mansion itu. Zesa mulai membaca dengan suara pelan.
"Zayden Uno Wicaksana, putra angkat pertama. Usia 28 tahun. Makanan favorit sup iga panggang. Minuman favorit kopi pahit yang cukup kekentalannya. Tidak boleh terlalu kental atau terlalu encer.
"Tch! Apa enaknya kopi pahit. Week …. Membayangkan rasanya saja sudah terasa pahit." Zesa membalik lembaran buku dan melanjutkan membaca. Masih seputar anak angkat pertama.
"Suka olahraga angkat beban, menyukai warna hitam, suka membaca, dan gila kerja. Saat ini menjabat sebagai CEO Damar Pelita Grup. Wah! Dia cukup hebat juga. Hoam … aku lanjut membaca nanti, deh. Rasanya mengantuk sekali."
Zesa tertidur di sofa sambil memeluk buku. Ia ingin memejamkan matanya sejenak, beristirahat sebentar sebelum para penghuni mansion pulang. Gadis itu tidak menyadari, ada seseorang yang membuka pintu dan mengintipnya dengan senyum smirk.
*BERSAMBUNG*