webnovel

Mencari Informasi

Melihat ekspresi terkejutnya, kurasa pria perekam itu bukan seorang mata-mata profesional. Apa mungkin aku salah kira? Saat itu aku bersalto dan memposisikan diriku dengan berdiri di belakang pria itu. Dia tampaknya tak punya cukup pengalaman dalam satu lawan satu dan aku semakin yakin kalau dia bukanlah sejenis ancaman yang aku bayangkan.

Dengan cepat tanganku menyambar handphonenya yang masih menyalakan vidio. Aku tersenyum dan memberitahukan sesuatu yang sangat penting bagi perekamku itu.

"Seharusnya kau rekam dengan engle lebih tinggi. Akan muncul kesan dramatis dari sudut itu. Bawa juga penahan kamera agar gambarnya tak goyang." terbengong dan lebih terkejut saat aku dengan mudahnya menjatuhkan gawai dan menginjak remuk gadget itu. "Tapi akan lebih baik lagi kalau kau tak merekamku sembarangan."

"Handphoneku! Aku butuh waktu setahun untuk bisa membeli iPhone pro max ini." Dia gemetar dan semakin histeris setelah memegang bangkai handphone itu.

"Menyedihkan." Kuinjak gawai itu, namun secepat kilat kakiku dihujani serangan yang tak kukira. Perekam misterius itu memegang kakiku, menggigitnya dan menyambar bangkai handphone untuk kabur bersamanya.

Aku memang tak merasakan tendensi berbahaya dari pria itu, tapi membiarkannya lolos juga merupakan ancaman serius.

Dia berbelok untuk mencari jalan keluar yang terhalang tower air. Dia tak tahu kalau aku cukup lincah untuk mencari jalan pintas dari celah tower dan menendang kakinya hingga ia limbung dan terperosok pinggir atap yang tak memiliki pembatas.

Seharusnya dia jatuh saja, tapi aku tahu jika aku tak punya cukup waktu untuk menghapus bukti jika dia mati setelah kami berkejaran. Jadi tanganku terpaksa menahan jatuhnya pria itu dan membuatnya bergelantung dan mengompol.

"Jangan lepaskan tanganmu! Kumohon jangan lepaskan!"

"Jangan menjerit, bodoh! Tanganmu itu licin! Kalau kau panik kau bisa jatuh lebih cepat!"

Dia menangis. Aku tak pernah bisa menahan tawa melihat wajah seseorang yang menangis ketakutan. Bentuknya sangat lucu seperti kerupuk yang remuk.

Dengan susah payah aku menarik manusia itu dan membiarkannya tergeletak lemas di sebelahku.

"Berikan handphonemu." Dia tak menjawab. Mungkin masih syok.

Dengan tanpa ijinnya kubawa gawai itu bersamaku. Akan ku teliti lagi apa saja yang ia simpan dalam handphone itu. Sepertinya tak ada senjata jika diperhatikan cara gawai ini remuk, tapi bisa saja ada info penting yang tak aku tahu tersembunyi di dalamnya.

Segera aku berlari menuju ruang gawat darurat. Kupikir aku akan disambut oleh amarah manja dari kedua teman anehku, tapi mereka sudah pergi meninggalkanku begitu saja.

Apa mereka masih meninggalkanku?

Kutekan tombol virtual di handphoneku. Salah satu dari mereka harus menjawab alasan mereka pergi begitu saja, tapi sepertinya mereka tak ada niat mengangkatnya, bahkan setelah banyak suara bip yang terdengar.

"Woy! Siapa yang bayar ongkos pulangku?" Rekaman suara kukirim dengan nada panik.

***

Hari ini cukup aneh. Aku tidur sangat nyenyak tanpa Tomohiro yang menggangguku. Lebih aneh lagi keberadaannya yang lenyap dengan cepat bahkan sebelum waktu makan pagi datang.

Yang menyambutku dengan berisik justru sosok konyol berhoodi yang giginya dilapisi kawat. Kalau kuingat, bentuk wajahnya seperti pria perekam misterius yang handphonenya kurusak kemarin.

"Hai!" Tawanya cukup ceria setelah adegan aksi kami yang hampir menewaskannya.

"Handphonemu sudah kubakar." Aku melewatinya dan sedikit bersyukur saat tahu kalau dia hanya sejenis orang aneh yang mengintaiku. "Mau sampai kapan kau mengikutiku?"

Dia melompat di sebelahku dengan ceria. "Sampai sekolah, lah. Aku kan sekolah di tempat yang sama denganmu."

Lagi-lagi satu orang menyebalkan mengenaliku. Apa sekolah ini hanya berisi mahluk yang tak penting? Apa belum cukup hidupku diganggu Tomohiro dan si kulit gosong Asuka?

"Pergilah. Aku tak suka didekati manusia aneh."

Dia menutup wajahnya dan pura-pura sedih. "Kejamnya. Apa karena itu kau membiarkan wanita itu sekarat?"

Aku terdiam. Sensasi apa yang barusan saja lewat di benakku? Apakah ini rasa tersinggung? Apa aku marah? Apa pria yang memperhatikan ku dengan sangat dekat ini tengah mencoba menyindirku?

"Ternyata kau tidak sepengecut yang aku kira, ya?" Saat itu aku sudah menggemeretakkan jari, dan wajah pria sok akrab itu berubah pucat. Kutepuk pundaknya dan berkata, "urusi saja urusanmu. Aku tak suka ada yang sok meraba alasan yang aku perbuat dalam hidup."

Kakiku melompat pada sisi jendela dan bertumpu pada sebuah undakan agar bisa sampai ke lantai di tingkat kedua. Semua siswa di kelasku bertepuk tangan dengan kagum dan aku memberi hormat dengan penuh percaya diri. Setidaknya hanya semenit sampai aku sadar kalau baru saja berbuat sesuatu yang sangat mencolok.

"Pagi, Tomohiro." Aku menatap pria yang mendadak jadi serius itu, tapi dia sedang berpura-pura tuli. Sebenarnya kenapa dia bertingkah seperti itu? Apa tingkahku yang super cuek di rumah sakit membuatnya marah? Tapi kenapa? saja pria itu dengan sikap diamnya dan beralih pada Asuka. "Temanmu kenapa? Apa dia ambeien?" Itu lelucon yang susah payah kubuat, dan hebatnya mereka tak tertawa. Memang apa yang salah sih dari tingkahku? "Kalian mendiamkan ku karena aku bersikap dingin pada mayat itu, ya? Kan aku sudah bilang, wanita itu tak butuh bantuan, dia itu pasti mati."

"BRAK!"

Mataku mengerjap. Baru saja Tomohiro menggebrak meja dan membuat kelas hening karena sifatnya.

"Kau tahu, Devon? Kurasa aku tak mau dekat-dekat dengan manusia yang mengerikan sepertimu."

"Menge ... apa?"

"Kau itu seperti setan. Bagaimana bisa kau bicara tentang kematian sedingin itu? Devon. Aku rasa pertemanan kita sampai di sini saja."

Pria aneh itu pergi.

"Hei, Tomo? Kau ini kenapa?"

"BRAK!"

Lagi-lagi gebrakan meja yang membuatku terkejut.

"Kau tidak dengar, Devon?" Oh, Asuka juga emosi seperti Tomo? "Menjauh dari kami! Kau itu setan mengerikan!" Dan gadis itu menyusul perginya Tomohiro.

Aku biasa melakukan banyak hal yang dibenci orang lain. Bahkan aku seringkali menentang aturan yang Ayahku, Hades, sudah tetapkan dalam keluarga kami.

Aku juga banyak melihat mayat. Aku tahu betul sekarat macam apa yang tak tertolong. Jadi apa aku salah jika merespon kematian dengan caraku yang rasional ini?

Haha ... Ternyata berteman itu menyebalkan.

"Menjauh dari kami. Kau itu setan mengerikan." Kalimat hinaan itu bergaung di kepalaku.

Mengerikan? Mereka bilang aku mengerikan? Apa mereka tahu jika dunia ini penuh dengan hal mengerikan?

Kupejamkan mataku. Ada banyak hal yang lebih mengerikan yang kedua teman polosku itu tak tahu. Mereka belum pernah melihat darah di tangan mereka. Mereka belum pernah merasakan trauma hingga harus dalam penanganan dokter jiwa selama lima tahun.

Mereka tidak tahu.

Ada sebuah pengalaman yang kuanggap sebagai sesuatu trauma. Sebuah pengalaman pertama di satu pulau yang keluargaku sewa untuk berlibur.

Saat itu aku bahagia dengan liburan keluarga itu, aku bahkan sudah berlatih benjo selama seminggu untuk menghibur semua yang kutemui. Tapi ternyata makna liburan di keluarga kami berbeda. Seharusnya saat itu aku sadar bahwa keluargaku bukan keluarga normal yang biasa bahagia.

Aku masih ingat ketika Ayah membawa ku ke sebuah rumah, meletakkan aku di sebuah kursi kayu hanya untuk melihatnya mempraktikkan cara mencari informasi dari seorang saksi mata. Dia berkata bahwa hal yang harus dia lakukan adalah bertanya, mencabut kuku, bertanya lagi, mencabut gigi, dan bertanya lagi, lalu merobek telinga. Saat itu teriakanku agar Ayah berhenti tak didengar, dan aku sudah kehabisan suara ketika korban Ayah berlumuran darah.

Aku masih bisa merasakan tangan penuh darah Ayah mendorong tubuhku mendekati mayat itu. Dia berbisik, "Kalau kau tak membunuhnya sekarang, maka aku yang akan membunuhmu."

Lalu aku terbangun dengan keringat bercucuran dan dadaku berdebar keras.