webnovel

Hidup Normal

"Wah, dr. Strange sudah masuk ke Jepang. Kita harus mampir untuk nonton." Asuka, si ganguro di sampingku mengetik komentar dalam akun Instagram Marvel. Aku heran bagaimana dia bisa mengetik dengan kuku sepanjang kentang goreng itu.

"Kenapa kau memikirkan hal di luar sekolah? Belajar, Asuka. Kau butuh belajar untuk hidup." Pria berkaca mata di sebelah kiriku masih sibuk menghapal rumus. Aku tahu dia kesusahan dalam mengingat pelajaran, itu alasan mengapa dia selalu sibuk dengan catatan dan minus kacamatanya yang terus bertambah.

Asuka tertawa keras. Gadis itu semakin kukenal semakin menampakkan sisi liarnya. "Ayahku pemilik sekolah. Kalau aku lulus SMA, aku tinggal meneruskan saja jabatan yang kosong."

Tomohiro tak sepaham. "Kau tak punya ilmu manajemen. Sekolah buatan Ayahmu akan hancur kalau kau yang memimpin."

"Eh, manajemen itu pekerjaan menejer, kan? Gajinya besar. Manajer ayahku bisa beli rumah setelah memotong anggaran perawatan gedung Utara. Lalu ... "

Aku berhenti dan menarik nafas.

"Devon? Kenapa berhenti?" tanya mereka seperti anak kembar yang satu pikiran.

Haruskah aku menjawab bahwa aku stres bersama mereka?

Jujur saja, aku membayangkan hidup nyaman di sekolah ini. Aku ingin menghabiskan masa mudaku dengan santai, minum teh di kafetaria di siang hari, tidur tenang dengan alunan musik jazz, dan bangun pagi hari tepat waktu.

Tapi aku tak bisa mendapatkan surgaku bersama mereka.

Tomohiro, pria berkaca mata itu selalu mengajak ngobrol sepanjang malam. Dia punya semacam insomnia dan hanya tidur sebentar menjelang pagi. Imbasnya adalah staminaku yang menurun dan juga naiknya tekanan darah.

Aku sempat memikirkan sebuah cara untuk menaburkan bubuk racun yang kusimpan dalam pena hitam milikku. Jika Tomohiro mati, maka tidur malam ku akan setenang surga. Tapi aku membaca sebuah artikel tentang suatu hal yang disebut karma buruk. Buku itu mencontohkan timbal balik alam semesta pada tingkah mahluknya.

Jika kita melakukan hal jahat, alam akan membalik seribu kejahatan yang lebih berat untuk jadi hukuman, dan jika menabur kebaikan, maka alam semesta akan membalas dengan seribu hal yang lebih baik.

Bayangkan jika aku membunuh Tomohiro dan seribu Tomohiro datang sebagai balasan? Bisakah kau bayangkan neraka yang lebih menyakitkan dari itu? Seribu Tomohiro yang insomnia dan bicara bersamaan sepanjang malam. Aku pasti mati muda kalau itu terjadi.

Jika di kamar aku punya Tomohiro, di kelas aku punya Asuka. Sementara Tomohiro fokus dengan semua pelajaran yang aku yakin tak dia mengerti, Asuka akan berbaring di pangkuanku dan memperlihatkan bagaimana seorang wanita yang tertidur bisa membuat sisi diri pria gelisah.

Aku tak paham mengapa aku yang jadi korban? Hanya saja aku ingin Asuka tahu bahwa aku pria normal yang pada salah satu anggota tubuhnya memberontak setiap melihat lekuk tubuh Asuka yang tak tertutup jika dia tidur.

Tapi tentu saja aku juga tak bisa membunuh Asuka.

Bayangkan jika Asuka mati dan seribu Asuka datang untuk tidur di dekatku sepanjang sekolah. Tidak, tidak. Itu hal terburuk yang bisa kubayangkan.

Akhir pekan juga sepertinya neraka buatku. Setelah seminggu bersama mereka, Asuka dan Tomohiro masih mengikuti kemanapun aku pergi berjalan-jalan. Mereka itu super berisik, dan aku super tak nyaman.

Untungnya mereka cukup dermawan dalam banyak hal. Seperti makan, transportasi, biaya hiburan, dan juga kegiatan-kegiatan tak berguna yang menyita tenaga.

"Bagaimana kalau kita pergi ke Tokyo saja?"

Aku terkejut. Asuka mengajak kami ke Tokyo tiba-tiba? Wanita ini pasti sama tak pintarnya dengan Tomohiro. Dia pikir Aomori ke Tokyo hanya seperti ruang kelas dan toilet siswa? Bisa tua di perjalanan kalau kami bersikeras ke Tokyo siang ini.

"Oh, aku setuju."

Tomohiro setuju? Dua orang gila ini kombinasi yang menarik. Apa baiknya mereka ku kubur dalam satu lubang bersama saja, ya?

Tidak, tidak. Devon, kendalikan akal sehatmu. Kau tak mau diberi seribu Tomohiro dan Seribu Asuka, kan? Tahan. Tahan nafsu membunuhmu, Devon.

"BRAK!" Suara tabrakan dan juga jerit melengking dari kerumunan manusia di tepi jalan mengejutkan kami. Sebuah truk pendingin sepertinya kehilangan kendali. Dari yang kulihat, supir itu seperti separuh sadar dan kekhilaffannya mengakibatkan seorang wanita tergilas.

Aku terdiam dan memperkirakan besar luka korban truk itu setelah melihat genangan darah yang tak bisa dibilang sedikit.

Tomohiro dan Asuka segera berlari. Dia dan kerumunan manusia lain yang melihat kecelakaan itu terlihat sibuk dan panik. Bahkan tanpa pikir panjang Tomohiro melepas kemejanya untuk menekan luka di kepala si wanita yang menurutku sudah tak lagi bisa diselamatkan.

"Devon, kenapa kau diam? Panggil ambulan!" Jeritan Tomohiro membuat telingaku sakit.

Kutatap cara dia memberikan pertolongan. Aku tahu pasti dia tak punya pengetahuan di bidang p3k, dan tenggorokanku sedang kering untuk mengeluarkan suara. Jadi keputusan terbaikku adalah meminum soda di tangan, dan berharap mereka berhenti melakukan hal yang percuma.

"Devon? Panggil ambulan!"

"Buat apa?"

"Apa?" Tomohiro tampak terkejut dengan ekspresi cuekku.

"Biar aku yang panggil." Jari berkuku panjang Asuka segera menekan nomor darurat. Dia memberitahukan kondisi kecelakaan di depanku ini, dan menjerit histeris agar rumah sakit segera mengirimkan bantuan.

Ambulan di Jepang adalah ambulan terbaik. Mereka datang secepat mungkin, bahkan mungkin lebih cepat dari pada datangnya Superman.

Tomohiro dan Asuka berjejal dalam ambulan sebagai wali bagi korban kecelakaan, sementara aku menahan kesal karena soda di tanganku habis, padahal hanya soda ini yang bisa meredakan mualku.

Wanita kasihan itu masuk ke ruang gawat darurat secepat dia diantar. Dan tinggallah aku, Tomohiro, dan Asuka di ruang tunggu dengan pendingin yang cukup untuk membekukan kekakuan yang entah kenapa muncul di antara kami.

"Devon," Tomohiro hendak meledak setelah menahan amarahnya sepanjang jalan. "Kenapa kau tak menolong?" Ah, jadi itu alasannya. "Kenapa kau justru sibuk dengan soda di tangan dan tak membantu menolong wanita itu?"

Aku menarik nafas dan tersenyum. "Tomohiro, aku hanya bersikap rasional."

"Rasional?"

"Percuma menolong manusia yang tak punya harapan hidup. Wanita itu sekarat, kehilangan lima puluh persen darah, dan tengkoraknya hancur setengah. Siapa manusia yang bisa hidup di kondisi itu?" Tomohiro melongo. Tampaknya dia cukup terkejut dengan jawabanku. "Kalaupun bisa, apa dia tak akan menanggung stres dengan cacat di tubuhnya? Dia tak akan bisa hidup normal lagi, Tomo."

"Devon!" Tomo menjerit. Tak hanya itu, aku bahkan merasakan sebuah tangan berkuku panjang yang menamparku.

Sepertinya Asuka sama marahnya dengan Tomo. Aku sendiri tak mengerti mengapa mereka begitu marah. Toh aku hanya bicara realita.

Asuka siap untuk meledak dengan umpatannya jika saja suara dokter yang menangani wanita korban kecelakaan itu tak datang.

"Siapa walinya?" tanya dokter itu dan aku tak akan heran jika kedua teman anehku mengangkat tangan. "Sebaiknya wali sesungguhnya datang untuk mengurus wanita ini. Kami sudah mencoba yang terbaik untuk menyelamatkan nyawanya, tapi sepertinya takdir berkata lain.

Ruangan dingin itu semakin dingin. Kematian tidak pernah jadi hal yang menyenangkan, dan sepertinya akan lebih baik kalau suara di mulut kami ditahan untuk sementara.

Di saat penuh duka cita seperti itu, sebuah kamera handphone merekam apa yang kami lakukan selama di ruangan gawat darurat. Dia menekan tombol berhenti dan mencari tempat yang lebih nyaman untuk mengecek isi rekamannya.

"Percuma menolong manusia yang tak punya harapan hidup. Wanita itu sekarat, kehilangan lima puluh persen darah, dan tengkoraknya hancur setengah. Siapa manusia yang bisa hidup di kondisi itu? Kalaupun bisa, apa dia tak akan menanggung stres dengan cacat di tubuhnya? Dia tak akan bisa hidup normal lagi, Tomo."

"Wah, wah, ada mata-mata rupanya."

Manusia perekam itu terkejut dan mencari sumber suara yang tanpa ia sadari memperhatikan kelakuannya selama ini.