Shinhye berjalan pelan bersama Pangeran Zhang. Mereka hendak menuju kediaman ibu suri. Pemandangan di luar kediaman sang pangeran membuat gadis itu takjub. Semua tertata indah dan mewah. Sangat berbeda dengan kediaman pria yang berdiri di sampingnya.
"Kenapa kau terkesima seperti itu?" tegur Pangeran Zhang sambil menatap gadis di sampingnya itu. Sekali lagi dia terpesona. Gadis itu benar-benar cantik dan memikat. Mata beningnya yang lebar memancarkan keingintahuan. Hidung mungil dan bibir tipis bergincu merah tersebut membuatnya gemas. Meski dalam balutan busana yang terbilang sederhana, istrinya itu terlihat sangat cantik.
Shinhye hanya diam. Dia tidak ingin menjawab. Mungkin jika dia bersika cuek dan berpura-pura tidak mengerti, pangeran dari kerajaan Ling tersebut akan melepaskannya dan membiarkan dia pulang.
"Bukankah sudah terlambat untuk berpura-pura? Kau mengerti semua kukatakan. Kau bahkan mengobrol dengan para pelayan di kediaman," cetus Pangeran Zhang lagi.
"Aku tidak tahu apa yang kaubicarakan," sahut Shinhye dengan bahasa korea.
"Kalau kau menolak berbicara denganku dengan bahasaku, aku akan berbicara dengan bahasamu," sahut sang pangeran dengan bahasa korea yang fasih.
Langkah Shinhye terhenti seketika. Dia menoleh dan menatap pria di sampingnya tajam.
"Kau mengerti yang kukatakan? Kalau begitu ...."
"Tentu saja aku mengerti. Aku seorang pangeran. Meski di sini kedudukanku tidak diakui, tetap saja kedudukanku tinggi. Kau juga sama bukan? Sebagai seorang putri raja tentu kau juga mempelajari banyak bahasa," potong Pangeran Zhang cepat.
Shinhye kembali tercenung. Sang pangeran yang berada di sampingnya segera meraih dan menariknya untuk melanjutkan langkah.
"Kita sebaiknya cepat. Jangan sampai terlambat memberi hormat kepada ibu suri."
"Tapi ...."
"Saat ini bukan waktu yang tepat. Aku akan menjelaskan nanti padamu tentang semua yang terjadi."
Shinhye akhirnya mengangguk. Dia lalu kembali menarik tangannya.
"Jangan bertindak melewati batas. Aku masih belum percaya bahwa kita memang sudah menikah," ujarnya.
***
Pangeran Zhang dan Shinhye berdiri di halaman depan sebuah kediaman yang tampak tertutup rapat.
"Kenapa kita tidak masuk?" tanya gadis itu.
Pria di sampingnya menggeleng.
"Kita berdiri dan memberi hormat di sini saja," sahutnya. Gadis itu menatap dia dengan rasa penasaran. Akan tetapi, sang pangeran justru mengisyaratkan padanya untuk berlutut dan memberi hormat. Seorang pelayan yang melihat mereka mengabarkan hal tersebut pada orang di dalam.
"Apa kita akan masuk sekarang?" tanya Shinhye sekali lagi. Akan tetapi, lagi-lagi pria di sampingnya itu menggeleng.
Shinhye kebingungan. Apalagi saat ia melihat orang-orang berpakaian resmi dan mewah tampak berjalan masuk tanpa mengindahkan mereka.
"Kenapa mereka ...?"
Kata-kata Shinhye terhenti saat melihat raut wajah pangeran Zhang. Apalagi kemudian pria itu meraih tangannya.
"Ayo kita pergi sekarang!" ajaknya.
Shinhye tampak kebingungan tetapi dia tetap menurut dan bergegas bangkit berdiri mengikuti pria tersebut.
Seorang gadis dengan tatanan rambut yang anggun dan mahkota di kepala berjalan memasuki tempat tersebut diiringi oleh beberapa orang berseragam pelayan. Pakaian dan jubah putih yang dikenakan gadis berparas rupawan tersebut bersulam benang emas dengan motif bunga dan naga.
Gadis tersebut berhenti melangkah saat berpapasan dengan pangeran Zhang dan Shinhye. Netranya menatap lekat ke arah Shinhye, bahkan menatap Shinhye dari atas ke bawah. Diperlakukan seperti itu membuat Shinhye merasa kurang nyaman. Akan tetapi, dia justru membalas tatapan tersebut.
"Kurang ajar. Gadis tidak tahu tata krama. Beraninya kau menatap putri mahkota seperti itu!" gertak seorang pelayan yang berdiri di samping kanan gadis yang berpapasan dengan mereka tersebut.
"Maafkan dia, Putri Mahkota. Istriku ini adalah orang baru. Dia tidak tahu peraturan di tempat ini," ucap Pangeran Zhang sambil membungkuk hormat.
Gadis bergelar putri mahkota tersebut hanya mengangguk dan bergegas berlalu, tetapi Shinhye sempat melihat air mata menggenang di netra beningnya.
***
Shinhye menatap pria di hadapannya tersebut lekat. Ia lalu menghela napas panjang dan menggeleng.
"Aku lapar," ucapnya.
"Kapan makanan akan diantar atau aku harus memasak sendiri?"
Pangeran Zhang balas menatap gadis itu sambil mengerutkan kening.
"Hidupmu pasti sangat menyenangkan hingga di saat seperti inipun kau masih bisa berpikir soal makanan," ujar pria itu.
"Aku tidak bisa berpikir jernih saat yang terlintas di benakku hanya makanan. Tapi ada apa dengan wajahmu? Kau terlihat sedang kesal dengan seseorang."
"Apakah kita sedekat itu hingga aku harus memberitahukan semua hal padamu? Kau bahkan tidak menjalankan kewajibanmu sebagai seorang istri."
"Aku sendiri bahkan tidak tahu bahwa kita telah menikah. Kurasa kau hanya menipuku!"
"Kalau begitu, apa alasanmu untuk meminta makanan di kediamanku sedang kau sendiri tidak yakin kalau kau adalah istriku?"
Shinhye menggebrak meja dengan marah. Matanya menatap tajam pria tersebut.
"Meski aku tidak percaya, tapi setidaknya kau harus bertanggungjawab padaku. Dasar bodoh!" makinya geram. Pangeran Zhang terkekeh melihat gadis itu. Entah mengapa saat sedang marah, istrinya itu terlihat begitu menarik.
"Apa yang kau tertawakan? Apa aku terlihat lucu bagimu?" gertak Shinhye lagi.
"Tidak. Sama sekali tidak lucu karena kau justru terlihat sangat cantik."
Wajah Shinhye berubah kaku. Pangeran Zhang tidak tinggal diam. Dia meraih dan menarik tangan gadis itu hingga duduk di pangkuannya.
"Apa yang kaulakukan? Lepaskan aku!" seru Shinhye sambil berusaha mendorong sang pangeran. Akan tetapi Pangeran Zhang justru menariknya makin dekat dan mencium bibirnya.
Di luar, para pelayan yang hendak masuk hanya bisa berdiri menanti sambil tersenyum kecil. Tidak lama mereka saling berbisik satu sama lain.
"Apa yang kalian lakukan? Beraninya kalian membuat gosip di istana. Apa kalian ingin dihukum?" tegur seorang wanita paruh baya yang paginya merias Shinhye.
"Tidak, Bibi Shan. Hanya saja kami ikut senang. Setelah sekian lama akhirnya pangeran bisa membuka hatinya untuk gadis lain," sahut salah seorang dari mereka.
Bibi Shan menggeleng sambil menghela napas panjang. Memang sudah lama. Terlalu lama untuk pangeran yang sudah diasuhnya semenjak bayi itu untuk kembali dekat dengan wanita.
"Kalian benar, tapi meski begitu kalian jangan lupa hal lain yang lebih penting. Gadis itu, dia juga harus mencintai pangeran. Jangan sampai dia merasakan lagi sakit hati untuk kedua kalinya."
Penuturan wanita berambut kelabu tersebut membuat mereka termenung sejenak.
"Bibi, Anda jangan cemas. Jika pangeran memang menyukai tuan putri Korea itu, kami pasti akan membantu agar sang putri juga memiliki perasaan yang sama."
***
Suara bising di luar mengejutkan Shinhye. Dia segera mendorong pria tersebut dan bergegas bangkit berdiri. Matanya nanar menatap Pangeran Zhang.
"Aku sudah bilang aku belum percaya padamu jadi jangan bertindak melewati batas. Pernikahan kita yang kausebutkan itu bagiku tidak pernah terjadi dan di hatiku masih ada orang lain. Jadi jangan berharap kau akan bisa menempati hatiku," tandasnya seraya bergegas pergi dari situ.
Di halaman belakang yang tumbuh aneka bunga rumput, Shinhye duduk termenung seorang diri untuk meredakan degup jantungnya.
'Aku terlalu mudah tergoda, tapi Jongki, aku berjanji, aku tidak akan melupakanmu. Kuharap kau juga merasakan hal yang sama,' bisiknya.
Gadis itu tidak menyadari bahwa Pangeran Zhang sedang menatap dirinya diam-diam. Berdiri tidak jauh darinya.