Suasana di halaman terbuka tersebut tandus dan gersang. Beberapa prajurit yang berbaju zirah tampak tengah berlatih dengan gigih. Bunyi dentang pedang dan perisai yang digunakan terdengar beradu dan menimbulkan bunyi riuh.
Jongki tampak tengah menata pelana kuda serta memeriksa persenjataan. Semua harus dipersiapkan dengan baik. Apa pun yang terjadi, dia akan membawa Shinhye kembali.
Melihat kesibukan tersebut, Jiwon melangkah mendekat. Padahal biasanya ia berusaha menghindar dari tempat tandus dan berdebu seperti itu. Belum lagi bau kotoran kuda membuat ia tidak ingin berada di tempat tersebut. Akan tetapi, untuk kali ini dia harus bertahan dan berusaha mendapatkan hati Jongki.
"Apa sesuatu terjadi? Kau hendak ke mana?" tanya gadis itu pada pria yang tengah mengenakan baju zirah.
"Aku akan membawa kembali Shinhye!" tandas Jongki mantap.
"A-pa? Bagaimana bisa? Kau tidak boleh melakukannya."
Jongki menoleh cepat dan menatap gadis tersebut dengan tajam.
"Kau melarangku? Apa kau tidak peduli dengan nasib adikmu dan tidak ingin dia kembali?"
Jiwon berdiri diam. Dia tidak menginginkan Shinhye untuk kembali. Sudah cukup adiknya itu merebut semua yang menurut dia adalah miliknya. Akan tetapi, tentu saja Jiwon tidak bodoh. Ia tidak mengutarakan semua keinginan hatinya kepada Jongki. Sebaliknya dia malah mengangguk dan berkata,
"Tentu saja aku ingin dia kembali. Dia adalah adikku. Mana mungkin kubiarkan dia di negara asing? Aku benar-benar mencemaskannya."
"Aku juga sangat mencemaskan dia. Kehidupannya pasti sangat menyusahkan sekarang. Aku harus pergi menolong dia," timpal Jongki sambil bersiap naik ke atas kuda.
"Jika kau pergi, maka semua akan sia-sia. Peperangan akan kembali terjadi dan rakyat kembali menjadi korban. Aku tahu persis sifat Shinhye. Dia melakukan ini karena ingin tidak lagi terjadi perang. Jika kau dan yang lain pergi menyerang ke sana, maka pengorbanan dia akan sia-sia."
Jongki menggeleng dan tetap menatap lurus ke depan.
"Aku tidak peduli. Aku akan tetap menolong dia," ujarnya.
"Kamu tahu apa yang akan terjadi? Peperangan akan kembali terjadi. Apa itu yang kamu inginkan?" tanya Jiwon dengan suara agak keras karena Jongki sudah memacu kudanya diikuti anak buahnya.
Jiwon menghela napas putus asa melihat pria itu tetap saja bersikeras untuk pergi. Akan tetapi, tidak lama senyum kembali mengembang di bibirnya saat melihat pasukan kerajaan berpangkat tinggi menghalangi laju pasukan Jongki.
"Yang Mulia Raja telah mendengar hal ini dan memerintahkanmu untuk tidak melakukan apa pun!" ujar salah seorang prajurit tersebut.
"Aku melakukan ini untuk membawa kembali Putri Shinhye. Dia adalah calon istriku. Tidak seharusnya dia menjadi pengantin tawanan saat masih terikat denganku."
"Jenderal Song," tegur seorang pria paruh baya yang berjanggut kelabu bercampur putih. Alis matanya yang tebal dan berwarna senada menambah ketegasan yang terpancar di wajah persegi tersebut.
"Anda dilarang untuk pergi. Perjanjian pernikahan dua negara dibuat untuk mencegah peperangan terus berlanjut. Jika Anda pergi, konflik akan kembali muncul. Lagipula semua sudah terlambat, Tuan Putri Shinhye telah menikah dengan Pangeran Zhang dari kerajaan Ling."
Jongki menggeleng pasrah. Mau tidak mau ia harus patuh dengan perintah kerajaan.
"Dia pasti menderita seorang diri di sana. Entah bagaimana orang-orang di sana memperlakukannya," gumamnya pelan.
***
"Apa yang kau lakukan?" tegur Pangeran Zhang saat berjalan memasuki kamar. Sebuah pita berwarna merah melintang sepanjang kamar yang tidak seberapa luas tersebut.
"Ini adalah pembatas. Jika kau melanggar, maka aku akan ...."
"Apa yang akan kaulakukan?" tantang Pangeran Zhang sambil menahan senyum.
"Aku akan melukaimu dengan ini," jawab Shinhye sambil menghunus sebuah belati kecil yang berwarna perak.
Pangeran Zhang terkejut saat melihat belati tersebut.
"Belati itu. Bagaimana bisa kau menemukannya? Keterlaluan. Apa kau membongkar kamar ini?" tukasnya sambil menunjuk benda di tangan Shinhye.
"Tentu saja aku melakukannya. Aku harus mencari perlindungan dari pria mesum sepertimu."
"Apa katamu? Kaupikir aku tertarik padamu?" tanya sang pangeran lagi sambil melangkah maju.
"Jangan mendekat!" gertak Shinhye sambil menodongkan belati tersebut.
"Jika kau tidak macam-macam padaku semalam, aku pasti tidak akan berbuat seperti ini."
"Aku? Macam-macam? Saat kau bangun pakaianmu saja masih utuh, jadi mana mungkin aku melakukannya."
"Tapi yang kaulakukan saat aku bangun, kau bahkan ...."
Kata-kata Shinhye berhenti. Wajahnya berubah merah padam.
"Kau benar-benar keterlaluan. Kau pasti sengaja melakukan ini untuk mempermalukan aku," tukasnya lagi, kali ini dengan nada yang lebih pelan.
"Kau kembali menyalahkan aku? Padahal waktu itu kau juga merespon."
"Itu karena kau yang memancing lebih dulu," sergah Shinhye cepat.
"Sudah ah, aku malas bicara denganmu. Sebaiknya kau keluar saja dari sini!"
"Tapi bukankah ini kamarku?"
"Apa kau tidak mau mengalah? Ingat aku adalah istrimu!"
"Kau benar-benar licik!" tukas Pangeran Zhang sambil menunjuk gadis itu.
"Demi kepentinganmu sendiri, kau berkata bahwa kau adalah istriku. Aturan macam apa itu?"
Akan tetapi istri yang baru dinikahinya tersebut justru bersikap tidak peduli. Shinhye malah berbaring dan menutup tubuh mungilnya dengan selimut.
"Sudah ya, aku mau tidur dulu. Aku lelah. Jangan lupa tutup pintunya. Dan ingat jangan macam-macam atau aku akan melukaimu dengan belati ini."
Pangeran Zhang keluar dari kamar sambil mendengus kesal. Gadis itu benar-benar keterlaluan mempermalukan dirinya. Ia kemudian bergegas pergi ke tempat latihan para prajurit untuk melampiaskan kekesalannya.
"Istri tawanan apanya? Kurasa dia sudah membuat hidupku berantakan," gerutunya sambil membanting prajurit muda yang tampak ketakutan.
"Pangeran," tegur seorang pria paruh baya yang berjalan mendekat.
"Ada masalah apa? Kelihatannya kau sedang marah dan menjadikan mereka sasaranmu."
Lelaki bijak tersebut menunjuk para prajurit yang kebanyakan masih belia tersebut tampak pucat dan gemetar. Beberapa dari mereka yang coreng-moreng karena debu berlutut memohon agar Pangeran Zhang melepaskan mereka.
Sang pangeran mengangguk dan melangkah menjauh. Para prajurit muda tersebut lega dan bergegas pergi dari tempat tersebut.
"Mereka semua benar-benar kurang terlatih. Bagaimana bisa menghadapi musuh dan menjaga kerajaan?" gumam Pangeran Zhang dengan nada geram.
"Kurasa masalahnya bukan itu. Apa mungkin ini berkaitan dengan istrimu? Ada apa dengannya? Kenapa dia membuatmu begitu kesal?" tanya Paman Chang bertubi-tubi. Hal itu justru Pangeran Zhang semakin kesal.
"Ini tidak ada hubungan dengannya. Aku seorang pangeran. Mana mungkin aku kalah dengan seorang gadis asing sepertinya?" sahutnya seraya bergegas.
Paman Chang tertawa terkekeh.
"Sudahlah sebaiknya kau mengalah saja. Kau tidak akan menang melawan seorang wanita. Apalagi dia adalah istrimu sendiri!" serunya dari belakang sang pangeran kemudian kembali tertawa.
"Paman tidak tahu saja yang sebenarnya. Dia itu orang yang sangat licik. Masa dia merebut kamarku?" dumel Pangeran Zhang sambil melangkah cepat tanpa menoleh lagi.