webnovel

Winter Flower

Atmosfer lereng perbukitan terpencil di Bandung bagian barat kala itu—terdengar lebih berisik dari tempat lainnya. Sebab 'Kandang Anjing' yang diguyur hujan lebat sejak tadi sore. Membuat kontur tanah yang sudah gembur tersebut, makin acak tatkala beragam cairan merah pekat ikut bergabung lewat celah pintu.

Tembakan yang menggelegar seakan bersaing ketat dengan bahana petir, sebelum gonggongan anjing yang tiada hentinya menggaur kelaparan terdengar lantang. "Bereskan!" titah pria dalam setelan jas licin berwarna gelap tersebut. Maniknya tampak nyaman menatap kuku-kuku jari dengan angkuh. Berkuasa. Nathan kemudian mengukir smirk menawan, ketika menyaksikan darah telah tiba hingga ujung alas kakinya. Seolah memang berbondong-bondong keluar tanpa izin dari si pemilik tubuh yang sedang terengah mengais dalam kesakitan.

Ini merupakan penyiksaan pedih bagi Anwar, sebab beberapa kali mendapat interigasi dengan penyiksaan pedih.

"A–ampun pak," Anwar terbata-bata saat memelas karena bibirnya sudah tidak sempurna. Dia adalah seorang perwira polisi. beberapa bulan lalu melamar pekerjaan pada Zoger Company; perusahaan Nathan yang berkedok utama di bidang supplier makanan beku.

Perusahaan ini melesat jauh lebih cepat dari usaha sejenis. Mungkin itu pula salah satu faktor pendukung, mengapa perusahaannya jadi menimbulkan banyak spekulatif di kalangan masyarakat.

"Cium sepatuku!" kata Nathan dengan bangkit dari duduk. Lantas mensejajarkan kaki menuju kepala Anwar yang mati-matian mendongak dengan wajah babak belur miliknya.

Anyir sekali aroma di ruangan tersebut. Namun, Nathan tampak begitu terbiasa hingga ia berani membungkuk dengan berkacak pinggang. Tersenyum sinting ketika laki-laki dihadapannya sedang mengiba, barangkali pemuda berusia dua puluh delapan tahun itu mau berbelas kasih pada sang perwira tersebut.

"Wow... kau luar biasa," puji Nathan pada akhirnya. Batin pria tersebut seketika bertepuk tangan dengan riang, sebab Anwar menggusur dirinya sendiri, demi bisa menjangkau sepatu seorang Nathan Dia tergelak dalam tawa hebatnya sambil melepas sepatu.

Hidung mancung Nathan tampak berkerut dengan lugu, saking senangnya.

Kendati demikian, dia puas sekaligus murka melihat Anwar menderita. Heran, pria ini masih bisa hidup meskipun telah dipukul tiga bawahan terlatih Nathan—sebelum tiba ke sini.

Nathan kemudian mengambil napas kasar selagi menegakan diri dengan pongah. Informasi yang dia butuhkan, kali ini kembali menelan kegagalan. Itulah alasan, kenapa ia begitu marah akan keadaan.

Rencana yang ia susun rapi tersebut, otomatis buntu hingga mau tidak mau tertunda kembali. Sial!

Nathan melancarkan umpatan setelah berbalik badan. Menjauh dengan pikiran tidak karuan hingga membanting pintu dengan kasar, berpindah pada ruangan lain. Menikmati saja sendirian dari balik tembok, erangan sekaligus rontaan membabi buta dari Anwar

Lima detik kemudian jeritan manusia itu terdengar menggema tipis setelah suara jeriken terlempar ke atas lantai. Nathan mengatupkan mata sambil tersenyum miring, karena si perwira tersebut bisa jadi telah terbakar seutuhnya. Dilalap rakus oleh si jago merah.

Berpindah menuju sofa tunggal, Nathan tampak menjambak rambut dengan frustasi di sana. Seiring dengan keriuhan yang mulai mereda.

Di luar masih gelap sekali. Karena ini masih pukul dua pagi, Tembok-tembok dengan kertas dinding bermotif abstrak itu saja sampai geleng-geleng menyaksikan pria tampan ini merajuk kesal.

'Aneh, mulai jelas sekali gilanya.' itu mungkin yang akan benda katakan jika bisa berbicara.

Makin kacau lagi otak Nathan ketika suplai barang, terus saja digagalkan oleh si kakak tiri Rey. Ia mendengus sebal ketika merogoh kantung celananya kemudian mengambil ponsel dan mendapat pesan, bahwa paman luar biasanya yakni: Raihan, berhasil menggagalkan upaya pengiriman obat-obatan yang akan Nathan distribusikan ke luar negeri.

"Ahh ibu, beri anakmu ini kekuatan," Nathan setengah bergumam. Ia membayangkan paras cantik sang ibunda, Dewi, Hatinya terenyuh dalam gelisah, perihal bagaimana wanita tersebut meregang nyawa.

Cristian, menghujamkan belati puluhan kali pada tubuh dewi. Sampai bisa membangunkan jiwa-jiwa monster yang sejak dahulu bersemayam dalam raga Nathan, Dia dendam karena figur ayah yang sempat Ia agung-agungkan itu, ternyata tidak jauh bejatnya dengan Raihan serta Rey.

Mereka bertiga itu harus berubah jadi batu atau udang rebon saja sekalian, kalau kata Nathan saat mengepalkan tangannya di atas kulit sofa. Dia harus kuat agar bisa disegani, maupun satu tingkat lebih tinggi agar bisa melawan ketidakadilan ini.

Tidak berselang lama setelah itu. "Tuk tuk tuk, boleh masuk?"

Nathan menyipit sangsi menuju bingkai pintu. Kemudian memutar bola mata malas, ketika pemuda berusia dua puluh lima tahunan tersebut melemparkan senda gurau. Dengan seember eskrim chochomint dipelukan, Alam malah melangkahkan kakinya ke bidang yang sama. "Pergilah, ini bukan tempatmu!"

Sambil memijat dahi, Nathan berusaha mengabaikan presensi adiknya yang telah duduk bertumpang kaki di seberang. Berulang kali, Nathan juga menyuruh Alam untuk mengelola Zoger Company, kemudian menjauh dari hal-hal keji seperti ini. "Kau kalah lagi," ejek Alam.

Membuat seorang Nathan mengelus dada dengan prihatin. Ia kini menengok ke arah dimana adiknya itu tampak sedang menyumpal gendang telinga dengan AirPods sebelum menutup wajahnya dengan buku berjilid dominan hijau.

Nathan lantas sedikit berjingkat untuk menyahut es krim di atas nakas. "Argh, polisi itu!" geram Nathan kesekian kali. Ia terus menyendok es krim sampai mulutnya penuh dengan makanan dingin tersebut. Sementara Alam, tengah memasang wajah serius dengan mata yang terpaku melihat Kakaknya uring-uringan.

Membuka perlahan lembaran sebelum mengangkat wajah dan berujar, "Kak... apa kau percaya magis?" Alam bangkit dari posisi duduk. Turut melepas earphone setelah menutup singkat buku tersebut. Menyisakan Nathan yang tertegun dengan alis menukik tidak mengerti.

"Mana ada?" kata Nathan kelewat santai. Alih-alih menjawab ujaran adiknya tersebut, Ia malah memberikan respon yang terdengar seperti pertanyaan sekaligus pernyataan di kuping pemuda bernama Alam itu.

"Kau benar," tungkasannya terjeda dengan kekehan kecil, "Jika saja ada, aku pasti akan mendapatkannya untukmu kak..." imbuh Alam. Kemudian Ia berjongkok membawa tungkai sang kakak bertumpu pada lututnya. Menarik cepat sebuah kotak, dan memakaikan sepatu pada kaki Nathan yang telanjang.

Woah! Mulut pria ini spontan menganga berkat mencerna situasi tersebut. Menatap kepala adiknya yang malah semakin membuatnya tertegun, "Jangan terlalu dipikirkan. Aku dan Crystal akan baik-baik saja, kami bukan anak kecil lagi. Kakak tidak usah khawatir sebanyak itu... nanti tampannya, terkalahkan olehku, Mau?" tantang Alam.

Seperti panah yang tepat mengenai sasaran, hati Nathan spontan mencelos. Pada dasarnya, Alam menyadari betapa Nathan tidak mau dirinya terluka maupun terbunuh jika berkecimpung di dunia kelam ini. Nyawanya, tentu saja adalah jaminan di mana Crystal juga bisa ikut terseret karena profesi tersebut. Mungkin itu alasan mengapa Nathan begitu sensitif, akhir-akhir ini.

Musuh itu bisa datang kapan saja bukan? Nathan lantas menatap buku yang sedang Alam baca, judulnya itu cukup klise yakni: The Greatest Magic In This World. Dari sampulnya saja gambar kerajaan era Victoria, sudah pasti membosankan—Nathan mulai membatin sebelum menyambar dan bugh!

"Aww kak! Kenapa kau memukulku dengan buku setebal itu? Sakit!" Alam refleks mengaduh lengkap dengan bibir bawah yang dimajukan ke depan. Dia memang jagonya kalau soal drama, itu yang ada dalam tangkapan seorang Nathan.

"Pelajari manajemen, bukan sampah semacam itu Dek!" celetuk Nathan sekenanya. Seraya menaruh kasar benda tersebut ke atas nakas. Sementara yang sedang diberi wejangan kehidupan, hanya menggerakkan kepala—mengolok-olok.

"Kau tahu aku tidak punya sepatu?" Nathan tertawa hambar ketika bertanya demikian. Merebut snack bar dari genggaman sang adik, lantas memakannya dalam dua gigitan.

"Menjilat sepatu sebelum membunuhnya, terkesan monoton dan itu-itu saja!" sarkas Alam. Membuat Nathan memusatkan atensi penuh pada laki-laki berkemeja kasual bergaris tersebut.

Alam sudah terlalu banyak mengetahui. Apa-apa yang menjadi kebiasaan Nathan, sebelum mengakhiri hidup para pembangkang tersebut. Lebih tepatnya, mungkin pengganggu ulung di setiap kegiatan kakaknya. Karena jika sudah disiksa seperti itu, mustahil pula mereka dapat hidup normal bukan?

Spontan Nathan membalasnya, "Aku membiarkan mereka tetap menjadi penjilat sebagai pen—."

"Iya, penjilat harus tetap jadi penjilat. Api dibayar dengan api. Nyawa ditukar dengan nyawa, bahkan monster harus dilawan dengan monster kembali... benarkan?" potong Alam dengan percaya diri. Kalimat itu sudah seperti santapan sehari-hari Nathan, hingga membuat sang adik menyeringai tipis, menatap tidak kalah sengit.

Bersamaan dengan itu lampu ruangan tiba-tiba berkedip, gorden bertiup lebih kencang setelah Alam berucap asal, "Ajari aku juga untuk menjadi monster Kak, kita harus menjadi gila untuk tetap waras!" petir seketika menyambar pepohonan di luar sana.

Seakan-akan semesta ikut menyetujui sumpah serapah adiknya tersebut. Nathan mematung tanpa berniat sedikitpun menyergah karena itu memang kenyataan. Brak! Bukan berarti dia akan semerta-merta menyetujui.

Hanya saja kenapa buku hijau di atas nakas itu, tiba-tiba terjatuh tepatdi antara kedua raga mereka? Setiap halamannya bahkan bergerak, membuka. Seolah angin yang entah dari mana datangnya itu, akan menunjukan sesuatu.

Perlahan namun mencekam.

Hingga kakak adik tersebut menunduk guna memperhatikan dengan seksama. Bagaimana gemelatuk kertas tersebut, berotasi dengan sendirinya. Sebelum berhenti di salah satu halaman dengan tagline: Magic Is All Around Us. Without Even Knowing It.

*Magis itu ada di sekitar kita. Bahkan tanpa kita sadari*

To Be Continued...