webnovel

Party

Nathan beserta Alam saat ini tengah berjalan santai menuju rumah. Saling merunduk menatap pijakan yang tertutupi rumput liar—lembab setelah diguyur hujan.

Keduanya bungkam untuk perkataan Alam yang nekat ingin ikut menjadi monster.

Lemas ketika Nathan membuka pintu, apalagi saat membayangkan adiknya terluka akibat ikut campur perihal bisnisnya nanti, hingga—Dorrr! "Arghh."

"kejutan... yeyeye." Nathan dan Alam serentak meremat dada masing-masing. Apalagi setelah mendapat tembakan kelereng di ambang pintu oleh Crystal yang tengah menari dan berputar dengan gembiranya.

Hal yang membuat kedua pria ini memegang erat jantungnya bukan karena hantaman si bola yang bukan apa-apa. Melainkan wajah Crystal berubah memakai topeng kelinci.

Mungkin bagi sebagian besar orang, hewan tersebut memanglah lucu. Hanya saja untuk kakak beradik ini, hewan tersebut sangatlah menyeramkan. Dipercaya membawa kesialan berturut-turut. Katanya.

"Jangan bercanda!" bentak Nathan. Bagaimana jikalau dia spontan melempar pisau pada Crystal? Namun si bungsu malah memicingkan mata seraya tersenyum benderang.

Lantas menarik kerah kedua kakaknya untuk—mengikutinya dengan setengah membungkuk akibat tarikan lengan Crystal.

Mau tidak mau, Nathan hanya bisa menuruti keinginannya. Bahkan bagi seorang monster pun, dia selalu sekoyong-koyong lemah andaikata berhadapan dengan orang berharga mereka.

Crystal sangat berseri sekali hari ini, walaupun selepas bekerja dan belajar di Zoger Company. Namun tak ada kata melelahkan karena—klap, sedetik sebelumnya Crystal telah memutar knop pintu kamarnya.

"Selamat ulang tahun. Kakak," ucap Crystal pada Nathan.

Pria itu tertegun melihat kamar adiknya, gelap serta hanya diterangi lilin elektrik warna-warni. Banyak balon gas di setiap sudut ruangan termasuk atap, hiasan dinding dari kertas glitters berwarna gold pun ikut meramaikan suasana.

Nathan melangkah masuk ketika ada sambutan hangat dari kue brownies di tengah ranjang bersama dengan api yang menari kecil di puncak lilin merah berbentuk angka tiga puluh tersebut.

Merunduk melihat lantai hingga kakinya spontan mundur beberapa senti ketika tersadar dia hampir saja menginjak klopak bunga mawar yang berserakan di sana.

"Tidak ada bantahan, berontak, atau bilang tidak menyukainya," tekan Alam. Alam menatap pria yang tengah memperhatikan Crystal mengambil kue tersebut. Beberapa detik kemudian, wanita itu sudah bergegas menghampiri dirinya dengan riang.

Ini sebagai antisipasi seperti tahun lalu, dimana Nathan yang mengamuk habis-habisan padahal mereka sudah bersusah payah mendekor ruang tengah berdua. Si sulung tidak mau ada yang namanya perayaan apapun, itu hanya akan membuat hatinya melemah.

"Aku harus bertemu orang." Nathan mencoba melarikan diri ketika lengannya dengan cergas ditahan Alam. Hal-hal seperti ini tidak menyenangkan bagi dirinya, kedua adik ini selalu berupaya keras setiap tahun meski berakhir dengan menelan kekecewaan.

"Setidaknya tiup saja dulu lilinnya," pinta Crystal. Gadis manis bersetelan baju tidur satin berwarna orchid polos itu membulatkan mata. Memohon pada sebuah batu untuk bisa meleleh barang sedetik saja untuknya.

Nathan benar-benar menempatkan mereka menjadi titik kelemahan. Ditambah sekarang Alam yang ingin terus bersama, ingin menjadi monster serta bertekad menghancurkan kakak tiri dan paman yang telah menyentuh lalu menikmati setiap inci tubuh ibunya.

Termasuk membunuh Ayah yang mencabik-cabik daging orang yang melahirkan mereka hanya karena di anggap sudah kotor. Seharusnya, salahkan si pelaku pelecehan. Bukan si korban ditembak mati pada kepala setelah mendapatkan siksaaan pedih.

"Buat permohonan baru ti—" fyuh.

"Arghh Kakak!" teriak Crystal. Dia kesal belum sempat menjelaskan apa-apa sudah main ditiup. Alam saja sampai melongo, sebab belum sempat mengabadikan momen langka satu ini.

"Beri aku magis, untuk menghancurkan iblis," papar Nathan.

Kedua adiknya merasa kecewa, tidak bisakah sehari saja agar Nathan berhenti memikirkan ketiga orang itu? Dia terlalu kaku. Luar biasa tidak menyenangkan.

Nathan pun berlalu begitu saja meninggalkan mereka berdua.

Lantas pergi lagi untuk membersihkan sampah-sampah penghalang jalan, sebab itu... merupakan pesta yang sesungguhnya Nathan ketika merayakan ulang tahun.

***

Derap langkah Nathan terbetik cepat masuk pada ruang bawah tanah—kandang anjing miliknya. Suara nyaring mesin potong rumput pun terdengar menyala disertai dengan erangan seorang pengantar barang.

"Ah, kau orangnya?" tanya Nathan. Dengan santainya ia duduk pada kursi kayu, berhadapan langsung dengan seseorang yang sudah terkena ratusan hujaman dari anak buah Nathan.

Darah dan peluh pun telah menyatu menjadi satu, menghadirkan rasa perih menusuk. Siapapun itu, mereka lebih memohon untuk mati dalam sekali tembakan dibanding harus tersiksa pedih di tangan psikopat gila satu ini.

"Dimana barang-barangku?" tanya Nathan. Si pengantar barang ini adalah pelaku utama pencurian obat minggu lalu, untung saja tertangkap dengan mudah ketika melakukan pengantaran barang untuk Cristian Ayah Nathan beberapa jam lalu.

Nathan bersabar menanti sebuah jawaban yang tak kunjung hadir tersebut, sangkat membuat Jodi dengan cepat menyodorkan kerling untuk dipakai Nathan saat mengeksekusi pria malang di depannya.

Bugh! Nathan memberikan sebuah pukulan telak yang membuatnya mengerang lemas.

"A-aku hanya, p-pengantar barang," rintihnya. Bugh!

Nathan menghantamnya lagi pada bagian pelipis. Ia terkekeh geli melihat si korban kehabisan gigi, setengah sadar serta pasrah dengan hidup di ujung tanduk.

Tujuannya saat ini bukanlah menggali informasi, hanya sekedar melepas penat di hati yang beberapa puluh menit lalu terjadi.

"Apa yang kau dapat?" tanya Nathan pada Jodi. Tangan kanan sekaligus orang yang paling dipercaya olehnya. Jelas Jodi pun ikut terjun dalam dunia ini karena mendedikasikan dirinya untuk melindungi Nathan.

Dahulu, dia merupakan salah satu incaran Cristian, sampai nyaris ingin ikut mati ketika keluarganya dibabat habis hanya karena terlilit hutang yang semakin membengkak. Cristian juga berencana akan menjual organ tubuhnya sebelum Nathan datang untuk membantu.

Rasa syukurnya berkali-kali lipat dia panjatkan kala mengetahui Nathan juga telah menyelamatkan Ayah serta Adik bungsunya. Walaupun tidak bisa semuanya, namun Alam luar biasa menghormati Nathan apalagi ketika dia dan keluarganya dijanjikan akan aman dari ancaman apapun oleh pria yang sama persis susahnya perihal bertahan hidup.

"Tidak ada," celetuk Jodi dingin. Sontak itu berhasil memberhentikan tinju Nathan kepada manusia dengan sisa beberapa hembusan napas.

"Yang aku dapat hanya pernyataan bahwa dia..." Jodi menggantung kalimatnya. Sengaja, sebab jika adik Nathan menjadi peluluh hati, maka Jodi merupakan sosok penyulut emosi.

"Apa kera!" tekan Nathan. Ia memasang wajah datar, napasnya tersegal pelan menahan emosi yang datang entah dari setan jenis apa mengghinggapi tubuh. Ber antisipasi, jangan sampai kerling di genggamannya ini menginginkan wajah Jodi juga.

"Dia seorang pengantar barang." Jodi membalas tatapan Nathan dengan memasang raut wajah yang sama. Sempat-sempatnya mengedikan bahu kanan hingga Nathan mendengkus sebal sampai mengusap surai frustasi.

Beberapa detik kemudian, Nathan mengayunkan lengannya dengan kencang hingga dalam sekali hantaman, Nathan mengakhiri hidup orang yang sudah terlanjur dia siksa.

Apabila dibiarkan hidup pun percuma, antara buta tidak bisa melihat atau mati kelaparan perlahan karena tidak bisa mengunyah serta menelan.

"Berarti kubunuh orang yang tidak bersalah?" Nathan mengatur napas sembari melepas kerling. Jeritan dari ruangan lain pun telah meredup bersamaan dengan mesin rumput yang sudah berhenti.

Sebuah pantangan bagi Nathan membunuh orang yang tidak ada sangkut pautnya. Dia bersikap psikopat gila hanya kepada para musuh yang menghalangi jalan.

"Tentu ada, makanya aku biarkan," ucap Jodi. Selepas berucap, dia pun lantas membuka pintu untuk kedua anak buahnya yang tengah bersusah payah menggiring seorang wanita bermodal sehelai kain tipis berwarna ivory cream membungkus paha hingga dada.

Jika dilihat sekilas, seperti tidak berpakaian sama sekali.

Dengan kedua tangan terborgol serta kepala ditutup kain hitam sampai leher. Nathan terdiam dipijakan—sabar menunggu ketiganya masuk apalagi dengan cara berjalan wanita itu pincang—terseok, menggeret kaki kanan yang terluka di bagian pergelangan dan tungkainya.

Dari jauh pun Nathan bisa melihat paha atas yang terluka akibat sayatan. Entah gergaji atau pun benda lainnya, yang jelas bukan pisau.

"Dia pengantar seorang jalang untuk pak Cristian," jelas Jodi.

Jalang yang dijemput dari Lilac ini terbang menuju Wisteria dimana kala itu Ayahnya sedang bermalam di sana. Karena berhasil memuaskan Jodi, paginya dia di berangkatkan menuju rumah bordil di Ringlight.

akan tetapi malah melarikan diri ke pedalaman hutan papua, kemudian ditemukan sembunyi beberapa bulan bersama suku setempat.

Nathan terkekeh kala mendengar ocehan anak buahnya. Menggerakkan telunjuk agar kedua ajudan tersebut membuka kain penutup dan melihat wajah wanita lemah satu itu.

"Dari hutan berarti yah?" tanya Nathan menghampiri.

Meskipun ditutup dengan kain sampai leher, mata serta mulutnya tetap saja diikat dengan ikatan terpisah.

Nathan terlalu fokus melihat pipi lembutnya itu penuh lebam kebiruan, bahkan dahi atas bagian kirinya saja seperti baru terkena benda tumpul dengan keras.

Bisa Nathan perkirakan—itu akan berdenyut sampai pada tulang frontal nya.

Wanita ini terkejut, sebab jari Nathan bergerak menuju perpotongan lehernya. Menyibakkan rambut sampai menganalisis bahu yang ikut mendapat luka oleh benda tumpul.

Nathan mulai memperhitungkan dari seluruh badan babak belur ini, sudah pasti dia tidak mendapat perlakuan baik dari Cristian.

Sungguh membuat kedua pengawalnya cemburu kerena pasalnya, mereka berwajah pucat serta lesu. Entah apa yang menyebabkan mereka menjadi sangat lelah, hanya saja Nathan bahkan tidak menaruh perhatian sedikitpun kepada mereka.

Wanita dihadapan Nathan gemetar saat hantaran sengatan listrik kecil pada tubuhnya terjadi, kepalanya terasa berat setelah ikatan penutup mata terlepas.

Atensinya mengerjap beberapa kali menyesuaikan cahaya yang sama gelapnya. Hingga pertama kali yang dia lihat, adalah sesosok seorang pria berlumur darah menaikan satu alisnya sembari menelisik masuk ke dalam mata dihadapannya.

Nathan mengamati untuk kedua kali dari ujung kaki sampai pucuk kepala. Apa yang spesial dari wanita yang Ayahnya cari selama berbulan-bulan hingga masuk pedalaman?

Kuku jari kaki dan tangannya saja terlihat sangat kotor—panjang, serta rambut berminyak yang sudah Nathan pastikan dia tidak keramas selama dua minggu itu. Bukanlah tipe Cristian sekali ketika banyak jalang bersih serta bersolek di kota ini.

Nathan menarik tali dari mulut si wanita yang menatapnya tajam.

Sontak terkejut, sebab wanita itu mengeluarkan seringaian secara tiba-tiba. Tingkahnya membuat raut wajah Nathan tertimpa ribuan tanda tanya besar. Apalagi saat wanita itu membicarakan sebuah omong kosong.

"Hai Nathan, do'a mu kukabulkan," celetuk si wanita. Nathan sempat melirik pada Jodi yang sama terkejutnya. Bagaimana bisa dia tahu nama kakaknya? Makin lebih parah membuat Nathan terkejut.

"Kau butuh magis?"

To Be Continued...