"Ketika aku ke rumah mu saat itu untuk kamu mengantar ku ke rumah dengan mobilmu, kenapa aku tak melihat satu orang pun di sana? Dimana orang tua mu?" Ima menatap.
"Oh, soal itu, mereka sudah tidak ada 2 tahun yang lalu, ibu ku terkena kanker stadium akhir dan ayah ku kecelakaan, mereka pergi bersamaan, benar-benar suatu takdir yang kebetulan."
"Astaga.... Maafkan aku... Aku turut berduka," Ima menatap panik.
"Tak apa, itu juga sudah lama, aku tinggal sendirian tapi aku selalu berjalan jalan untuk mengisi waktu luang ku, kadang bertemu orang baru dan sekarang aku senang bisa menjalin hal dekat seperti ini bersama adik kelas ku dulu," Hendar menatap.
Ima yang mendengar itu langsung berwajah merah, tapi ia menggeleng. "(Apa yang aku pikirkan, aku hampir saja terbawa oleh nya, aku tak boleh tersipu malu begitu saja,)" ia menyadarkan dirinya.
"Oh Ima, apa kau benar-benar tak punya pacar?" Hendar menatap.
"Eh, kenapa tanya begitu?"
"Aku hanya melihat mu selalu tak bareng sama lelaki, apakah kau tidak punya pacar?"
"Um... Memang nya jika aku punya pacar? bagaimana konsep nya aku dapat pacar?"
"(Kenapa malah memberikan pertanyaan?) E... Mungkin lelaki nya yang menyatakan perasaan nya dulu?" Hendar menatap.
"Yah begitulah, aku lebih suka lelaki yang seperti itu, tapi sejauh ini aku tidak tertarik dengan lelaki dan tidak ada tuh lelaki yang menyatakan perasaan nya padaku, jadi aku tak punya pacar..." balas Ima membuat Hendar terdiam kaku mendengar itu tadi.
"Oh, ngomong-ngomong soal membahas pacar, apakah Mas Hendar juga tidak punya pacar?"
"Menurutmu?"
"Punya?"
"Hah, kenapa kau bisa berpikir begitu?" Hendar menatap terkejut.
"Yeah, Mas Hendar memiliki tubuh yang di sukai banyak wanita, wajah tampan, karir lurus dan yang lain nya, kamu seperti sudah mapan saja... Begitulah aku menilai mu sudah dapat pacar, atau malah istri."
"Hm? Bukankah kau berpikir aku sendirian, kau bahkan sudah mengira rumah ku kosong tak ada orang."
"Ya, aku juga berpikir begitu, itu karena Mas Hendar juga bilang soal kebiasaan mu... Terlalu overprotective," tatap Ima.
"Ah, aku mengerti, kamu ingat yah... Ya, sebenarnya... Aku belum punya pacar karena mereka juga meninggalkan ku karena kebiasaan ku ini," kata Hendar.
"Sabar ya Mas Hendar, aku yakin di luar sana banyak wanita yang mau menerima anda dan tidak akan merasa terganggu, justru malah nyaman."
"Ya, terima kasih," Hendar menatap dengan senyum nya.
Ima juga ikut mengangguk lalu menatap ke jam ponsel nya. "Oh astaga, aku benar-benar menghabiskan waktu di sini, Mas Hendar, maaf dulu ya, aku harus ke kampus," Ima langsung berjalan pergi.
"Ya, hati-hati dan rajin belajar. (Wah wah.... Gadis itu benar-benar baik, dan juga menarik... Apakah ini bisa di atasi, apa dia salah satu gadis yang akan menerima sikap ku ini?)" pikir Hendar, sepertinya dia mulai menyukai Ima.
Di kampus, Ima berjalan akan ke kelas nya, sama seperti biasanya, melewati halaman kampus dan di saat itu juga, dia di lihat oleh Mose.
"Oh, itu Ima," Mose menatap Ima yang berjalan hanya lurus ke depan tidak melihat ke sana ke sini.
Mose yang kebetulan sedang bermain basket dengan tim nya di halaman luar, menoleh ke sekitar, banyak sekali wanita yang berdiri menatap nya dan tim nya bermain basket, sambil meneriaki nama Mose juga, sudah jelas, para wanita itu sedang menarik perhatian Mose dan kagum padanya.
"(Aku sudah biasa dengan mereka... Menurutku, gadis tertutup sama seperti Ima patut di sebut sebagai selera ku yang telah berubah, aku suka pada gadis itu,)" Mose terdiam, dia masih di tempat nya menatap Ima yang kemudian masuk ke gedung kampus tak terlihat lagi.
"(Bagi ku, mungkin gadis itu sedang memiliki orang lain yang dia kagumi dalam hidup nya, yang pasti aku tak bisa menjadi orang itu, karena dia benar-benar bersikap tidak sama seperti mereka, dia tidak baperan dan juga tidak banyak cari perhatian. Ima sangat menjaga diri nya sendiri, bahkan orang lain pun tak akan berimajinasi maupun berfantasi soal dia, keturunan apa dia sehingga tak mau menunjukan tubuh nya yang sama seperti mereka tapi lebih berbeda, lebih istimewa... Aku terlalu berpikir begini mungkin karena tidak memahami apa itu perempuan yang sangat tertutup.)"
--
"(Ha... Akhirnya, aku sampai dan tidak terlambat, aku benar-benar tepat waktu,)" Ima menghela napas panjang sampai di lorong kampus, ia akan masuk ke kelas tapi seseorang memanggil.
"Ima!"
Hal itu membuat nya menoleh dan rupanya yang memanggilnya adalah Naya.
"Oh Naya," Ima menatap menyapa.
"Ima, sudah lama tidak bertemu."
"Hm? Belum bertemu satu hari saja karena libur bekerja kemarin kamu sebut sudah lama tidak bertemu?"
"Ehehe, mungkin karena pacar ku, aku selalu menghabiskan waktu bersama nya dengan lama dan waktu kami jadi terasa lama," kata Naya, dia seperti menggunakan nada sombong.
"(Hmp.... Dia benar-benar membuat ku iri,)" Ima menatap kesal.
"Oh benar, Manajer Hinko ingin bertemu dengan mu nanti, dia ruangan manajer."
"Apa? kenapa dia mau memanggil ku? Ada apa?"
"Entahlah, aku pernah loh di panggil, dan dia bilang aku terlalu banyak melakukan kesalahan, ini seperti dia memprovokasi ku, jangan sampai kau juga begitu ya."
"Apa?! kamu serius saja, aku benar-benar takut di panggil, aku juga tidak melakukan kesalahan apapun, selama ini aku berhati hati," Ima menatap takut.
"Yah, tinggal berdoa saja, semoga berhasil," kata Naya, ia lalu berbalik dan berjalan pergi membuat Ima terdiam dan menghela napas panjang.
"Sudahlah... Pasrah saja," ia akhirnya pasrah.
Di tempat kerja, Ima mengetuk pintu ruangan manajer.
"Masuk saja," suara manajer Hinko membalas dari dalam.
Lalu Ima berjalan masuk. "Manajer, permisi, apa benar anda memanggil ku?" tatap Ima.
"Ya, kemari Ima," Hinko membalas. Ia sudah berdiri agak jauh dari sana. Lalu Ima berdiri di hadapan nya.
"Manajer, apa aku melakukan kesalahan karena manajer memanggil ku begini."
"Tidak, kamu tidak melakukan kesalahan apapun, aku hanya memanggil mu bukan soal urusan pekerjaan di sini."
"Eh, lalu apa? (Kupikir yang di katakan Naya benar, ternyata dia salah... Jika tidak soal kesalahan, lalu apa?)" Ima terdiam menunggu.
"Ima, aku memanggil mu mungkin karena sesuatu, aku ingin bertanya sesuatu, mungkin jika ini pertanyaan pribadi maafkan aku," Hinko menatap.
"(Manajer mengatakan nya dengan sopan, aku juga tidak akan segan, aku suka sikap orang yang begini...) Ya, ini baik-baik saja, aku akan melihat dulu apa pertanyaan nya," tatap nya.
"Baiklah, e... Apa kau sudah punya pacar?"
"(Huh? Pertanyaan ini lagi? Sudah beberapa kali aku dengar dari banyak orang.... Ini benar-benar agak menyakiti ku karena terus saja di ajukan pertanyaan yang sama....) Um... Belum, kenapa manajer tanya begitu?" Ima menatap.
"Aku hanya bertanya saja, maaf jika ini pribadi, lalu kenapa kau tidak mencari pacar?" Manajer Hinko menatap.
"(Tapi kan... Itu benar-benar pertanyaan pribadi, apakah dia benar-benar yakin tidak akan bertanya lebih dalam, aku mulai menganggap ini berlebihan,)" Ima menjadi khawatir akan pertanyaan Hinko yang akan datang.
"Apa aku boleh meneruskan?" Hinko menatap, lalu Ima mengangguk pelan.
"Jika kamu tidak memiliki pacar, lalu kenapa kau tidak mencari pacar?" Manajer Hinko menatap.
Hal itu membuat Ima terdiam sebentar. "Um... Aku ingin lansung menikah saja."
"Menikah? Wah... Ini adalah pernyataan yang paling unik pertama kali seumur hidup ku mendengar dari seseorang seperti mu Ima, kau benar-benar unik.... Bisa aku tahu alasan mu?"
"Alasan ku?"
"Ya, alasan mu untuk memilih menikah, bukan pacaran dulu."
"Um... Begini, sebenarnya, ada beberapa faktor yang membuatku memilih alasan yang seperti itu, jika aku memandang dari segi dunia nyata begini, banyak sekali kasus wanita tidak perawan di luar sana dan itu benar benar menganjurkan masa depan mereka apalagi lelaki yang membuat mereka begitu tidak mau tanggung jawab dengan tidak mau menikahinya, jadi mungkin itu menjadi salah satu faktor kenapa aku memilih untuk ingin langsung menikah," kata Ima.
"Ah begitu ya... (Ini benar-benar argumen yang unik. Dia mungkin berpikir bahwa yang dilakukan pasangan tanpa garis resmi itu akan melakukan lebih dari nafsu mereka...) Jadi selama hidup mu ini, selama umur mu sampai saat ini, kau belum pernah melakukan ciuman?" Manajer Hinko menatap.
"Um.... Ya... (Kenapa dia mulai tanya pertanyaan yang sangat pribadi begitu...)"
"Bagaimana dengan seks? Kau tidak mau melakukan nya? Banyak di luar sana, wanita wanita menjual tubuhnya hanya untuk merasakan apa itu kenyamanan dalam seks ataupun bercinta lain nya."
"Manajer, anda mulai berkata yang tidak tidak... Apakah ini memang bagian dari pekerjaan atau tidak? Jika ini bukan bagian dari pekerjaan, aku tidak akan segan segan melaporkan hal ini pada pihak kepolisian karena anda telah melecehkan ku dengan cara yang seperti ini," Ima menatap serius. Kini tatapan canggung nya menjadi serius membuat manajer Hinko terdiam.
Manajer Hinko tersenyum kecil dan mengangguk. "Ima, kau gadis yang cantik, sangat menarik perhatian besar sebagian lelaki yang mengerti sifat mu yang bahkan lebih berbeda dari wanita lain, apakah kau menerima perkataan ku ini?"
"Tentu, terima kasih, tapi jika kata-kata itu di gunakan untuk merayuku, maafkan aku, aku tidak suka hal yang seperti itu, bukan nya bersikap tidak sopan, tapi aku ingin manajer hanya menganggap ku karyawan biasa saja.... (Aku tidak tahu apa yang aku bicarakan dengan manajer, benar-benar tidak nyambung, intinya manajer sepertinya ingin menarik perhatian ku dan menawarkan ku sesuatu yang tidak baik, dan aku mencoba menolak nya dengan memutar balikan logika... Aku harus menjaga harga diri ku, meskipun aku harus berubah serius begini,)" pikir Ima, ia masih memasang wajah serius itu.
"Yeah, baiklah, jika perkataan ku ini tidak mempan untuk mu, mungkin aku anggap aku gagal mendekatimu, tapi... Lain kali saja, lupakan hal ini dan anggap ini semua tidak terjadi apa-apa, aku hanya bercanda tadi, dan juga, semoga kau mendapatkan pria yang kau inginkan di luar sana," tatap manajer Hinko.
Lalu Ima ikut tersenyum kecil. "Ya, manajer juga begitu, ada banyak wanita baik yang akan menunggu anda," tambah nya.