Orang-orang kini memanggil Troy dengan sebutan Mr. Workaholic, bukan lagi Mr. Darren. Tapi tentu saja mereka tidak bisa mengatakan dengan lantang nama itu. Memang Troy sudah mendengar sebutan itu, tapi dia tidak merasa keberatan. Mau bagaimana lagi, karena memang begitu itulah dia sekarang.
Sekembalinya dari Canberra, Troy lebih banyak menghabiskan waktunya di kantor. Melupakan rencana mereka untuk menikmati liburan. Ini sama saja Troy hanya mengantar rombongannya untuk berlibur, sedangkan dia bekerja dengan keras tanpa kenal waktu.
Sehari sebelum kepulangan rombongan itu ke Indonesia, Troy mengajak para lelaki, kecuali Timo, untuk mengunjungi bar terdekat.
"Maaf Alea, kamu harus menjaga Timo. Nanti kalo ada kesempatan, aku pasti akan mengajak kamu." ucap Aaron, berusaha menenangkan istrinya.
Memang terlihat tidak adil, dan juga diskriminasi gender. Tapi mau bagaimana lagi, karena Alea sendiri pun tidak mau menyerahkan Timo untuk dijaga oleh orang lain. Dengan berat hati Alea menganggukkan kepalanya.
Ketiganya langsung menuju pantai terdekat. Rencana awal mereka memang berkunjung ke bar, tapi ditengah jalan, Troy mengganti rencana. Atau memang sengaja mengganti? Karena di dalam mobil sudah disiapkan beberapa botol minuman. Dan kesemuanya adalah favorit Troy.
"Kenalin aku ke temen perempuan kalian. Aku pikir sekarang saatnya menikmati hidup." ucap Troy sambil menenggak minumannya.
"Serius nggak nih? Nanti udah dicariin tahunya cuma dicuekin." kata Aaron.
Bukan tanpa alasan Aaron berkata seperti itu. Dulu, saat Troy putus dengan Belle, pun Troy mengatakan hal itu. Yang nyatanya beberapa perempuan yang dia kenalkan semuanya tidak memenuhi kriteria. Entah itu terlalu berisik, terlalu menor, terlalu pendek, terlalu tinggi, terlalu kurus, dan masih banyak lagi kata yang diawali dengan 'terlalu' itu.
"Nggak lah. Aku juga harus mikir masa depan. Aku harus punya anak untuk melanjutkan nama Darren." meski belum mabuk, omongan Troy sudah melenceng jauh.
"Kita masih muda, Boy. Cuma keluarga kita aja yang ribet." kilah Digta. Karena dari ketiga pemuda itu, hanya dia seorang yang belum menikah.
"Eh ngaca dong. Bentar lagi umur kamu udah 40 tahun. Dan masih lajang. Damn, sesekali nikmatilah berkat Tuhan, Boy. Apa guna Tuhan menciptakan perempuan kalau bukan untuk dinikmati?" Aaron yang sangat mencintai makhluk berlebel perempuan merasa terhina.
"Paling nggak masih ada 3 tahun lagi sebelum umur 40 kan. Emang apa salahnya?" Digta mulai membela diri.
Well, sebenarnya mereka baik-baik saja dengan menjadi jomblo. Mereka bertiga menikmati hidup dengan kejombloan mereka, bebas kesana kemari tanpa ada aturan. Yang menjadi penghalang kesenangan mereka adalah orangtua. Dan sejak kapan harus ada aturan untuk menikah setelah mencapai umur 30 tahun?
Contoh lah Aaron. Andai dia tidak menghamili Alea terlebih dahulu, mungkin sampai sekarang dia akan bernasib sama seperti Digta. Padahal orangtuanya sudah menjodohkan dirinya dengan banyak perempuan. Mulai dari artis hingga anak pejabat. Politisi hingga konglomerat. Tapi tak pernah ada yang sreg dihati Aaron. Berbeda cerita dengan pertemuan Aaron dengan Alea, hanya sekali pertemuan itu lalu muncullah Timothy. Betapa takdir memainkan perannya.
Bagaimana dengan Digta?
Jangan ditanya. Papa Digta adalah seorang jendral di angkatan darat. Beliau bercita-cita menjadikan semua anaknya bagian dari kesatuannya. Memang 2 adik Digta mengikuti jejak ayahnya, tapi Digta tak pernah tertarik untuk ikut bergabung. Sebagai anak tertua, orangtuanya terus saja meminta dirinya untuk menikah. Tak berbeda jauh dengan Aaron yang dijodohkan sana sini, tapi tetap saja belum bertemu jodohnya. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk mengabdikan diri di rumah sakit.
Kenapa usia menikah di Indonesia relatif muda? Contoh lah di negara maju, mereka akan menikah diusia 30 tahun ke atas. Dan mereka menikmati masa-masa single mereka. Tanpa usikan dari orang tua dan orang sekitar yang terus saja menuntut mereka untuk menikah.
"Tapi bener kata Aaron, kita memang harus menikah dan memiliki keturunan. Biar besok kalau kita punya anak, kita masih kuat gendong. Dan orang akan mengerti kalau itu ayah dan anak, bukan kakek dengan cucunya." garing sih, tapi ketiganya tertawa mendengar ocehan Troy.
Mereka terus saja minum hingga botol terakhir kosong. Waktu tak mereka hiraukan karena besok mereka hanya akan tiduran, menghilangkan hangover lalu kembali ke Indonesia dengan penerbangan terakhir. Bahkan ketika Alea akhirnya menelepon pun tak ada yang mengangkat.
Aaron dan Digta sudah terkapar tak bisa bangun. Jangankan bangun, mengangkat kepala mereka saja tidak kuat. Dengan sedikit sisa kesadarannya, Troy menelepon Mr. Khan untuk membawa keduanya pulang.
"Aku pulang dulu. Kalian nanti dijemput Khan." ucap Troy, sambil menepuk kepala kedua sahabatnya.
Apa Troy sudah sadar dari mabuknya? Oh bahkan dia merasa bahwa dirinya belum mabuk sama sekali. Tapi kalau dilihat dari cara jalan yang sudah tidak beraturan, jelas bahwa Troy sudah mabuk.
Dengan susah payah Troy mencapai parkiran. Mencoba memasang kunci mobilnya yang ternyata lebih sulit dari biasanya. Entah percobaan yang keberapa, akhirnya kunci terpasang.
Seketika perasaan hampa menyergap Troy. Dia kesepian di mobil ini. Tidak, dia kesepian dalam hidupnya. Yang dia inginkan hanya istrinya, Fenita Miracle. Kilasan tentang semua kejadian dalam hidupnya bersama Fenita berputar. Masa indah dan masa suram. Membuat Troy semakin merasa bahwa dia adalah orang paling malang di dunia.
"Fenita, aku harap kamu bahagia. Jadilah siapapun yang kamu mau. Entah itu Fenita atau Freya atau siapapun."
Mabuk memang membuat siapapun menjadi berbeda. Seolah sisi lain dari dirinya terangkat kepermukaan dan menguasai diri. Sama halnya dengan Troy. Dia yang tak pernah menangis karena hal remeh, tapi beberapa kali dia menangis ketika mabuk. Digta dan Aaron memergokinya.
Dan sekarang pun begitu. Tangisannya pecah hanya dengan mengingat perempuan yang berharga dalam hidupnya. Tapi malam ini dia sudah bertekad bahwa dia akan merelakan perempuan itu untuk hidup bahagia. Meski itu bersama laki-laki lain.
Perlahan dia melajukan mobil, keluar dari parkiran untuk kembali ke rumahnya. Jalanan sepi, karena ini sudah hampir subuh. Melajukan dengan kecepatan tinggi, seolah Troy tak bisa merasakan bahwa mobil itu telah melebihi batas kecepatan. Beruntungnya dia masih sempat mengerem ketika lampu merah menyala.
Satu lampu merah lagi dan dia akan sampai di rumah. Ketika lampu berubah menjadi hijau, Troy tak sabar menginjak pedal gasnya dan melesat.
Pandangannya yang kabur karena air mata membuatnya tak bisa melihat dengan jelas. Ditambah lagi rasa pusing akibat mabuk. Beberapa kali dia hampir menabrak. Beruntungnya dia masih bisa mengendalikan mobil.
Tinggal satu belokan dan dia sampai di rumah. Lalu suara keras yang memekakkan telinga itu terdengar, suara tubrukan itu menghantam. Entah berapa kali Troy merasa tubuhnya berputar di dalam mobil, semua terjadi begitu cepat. Hal terakhir yang dia lihat adalah bayangan yang sangat ingin dia lihat. Fenita. Berlari kearahnya.