webnovel

11

"Shit!" Lagi-lagi umpatan kesal itu keluar dari mulutnya, tidak terhitung berapa banyak umpatan yang sudah keluar dari mulut Atta. Namun tetap saja, keinginan untuk membunuh seseorang itu masih sama besarnya.

Sudah lima menit berlalu sejak mereka sampai di Apartemen laki-laki itu, dan untuk pertama kalinya Alea melangkah terlalu jauh dari batas yang seharusnya. Bagaimana dia bisa membatasi diri kalau terus di tarik ulur seperti ini? Iman boleh saja susah tergoda tapi kalau bicara soal hati, selalu mudah rapuh kalau di manis-manisin.

Menurut artikel yang Alea baca, sebagian besar hati perempuan tidak akan baik-baik saja apabila berada dalam satu ruangan dan hanya berdua dengan si doi. Laki-laki yang di sukai secara diam-diam, laki-laki pertama yang memberi rasa bahagia berlebihan, semangat berlebihan dan kecewa yang berlebihan juga meskipun tanpa laki-laki itu sadari. Suka, ingin memiliki namun tidak ingin bermimpi. Sakit tapi tak berdarah, kalau kata anak alay. Dan untuk anak SMA yang otaknya belum terbentuk dengan sempurna, suka sama orang sampai bikin diri sendiri itu kelihatan bodoh memang wajar pada masanya.

Ini bukan pertama kalinya Atta bersikap aneh dan sangat bertolak belakang dengan kata-katanya tempo hari. Namun hari ini sikap laki-laki itu naik satu level menjadi kekanak-kanakan. Sepanjang jalan menuju unitnya, Atta terus menggandeng tangan Alea. Menggenggamnya erat seolah takut Alea akan menghilang jika di lepaskan. Meskipun di landa kebingungan Alea bisa merasakan kehangatan yang menjalar ke hatinya. Seharusnya rasa takut itu muncul ketika Atta membawanya masuk ke dalam Apartemen laki-laki itu, tapi yang terjadi malah sebaliknya. Alea tersenyum sambil melihat tangannya yang saling bertautan dengan Atta. Alea tidak tau harus bersyukur atau mengutuk takdirnya, bagaimana bisa setelah bertahun-tahun Tuhan akhirnya mengabulkan satu persatu keinginan-keinginan recehnya ketika SMA.

Dan salah satunya adalah menggenggam tangan Atta.

***

Atta menarik salah satu kursi di meja makan lalu memaksanya duduk, laki-laki itu raih dua cangkir dari kabinet atas lalu mengisi salah satunya dengan air lalu memindahkan ke atas meja makan, "Minum." Titahnya tegas sebelum kembali mengisi cangkir kosongnya dengan wine.

Alea tidak bisa mengalihkan pandangannya dari laki-laki itu. Bagaimana caranya meneguk cairan merah itu hingga tandas dan menyisakan jejak basah di bibirnya, mata laki-laki itu memejam menikmati rasa sepat yang mengalir di tenggorokannya.

Setelah beberapa saat terdiam, Atta kembali membuka matanya. Tatapannya lurus tepat di manik mata Alea, "Kenapa lo diam aja pas dia megang-megang tangan lo?" Tanyanya datar namun tatapannya menusuk.

"Hah?"

"Kenapa lo biarin dia nyentuh lo?"

Alea mulai gelagapan ketika Atta semakin maju dan menyudutkan tubuhnya.

"A-Atta..." Alea berusaha menahan getaran aneh di dalam tubuhnya ketika Atta semakin menipiskan jarak di antara mereka. Posisinya saat ini membuatnya harus mendongak agar bisa menatap lawan bicaranya, namun sepertinya itu tindakan yang bodoh karena begitu tatapan keduanya bertemu, ada rasa hangat yang kembali menjalar di dadanya.

Atta menyusupkan jari-jarinya di antara helaian rambut Alea, menahan tengkuknya dan menatapnya dalam. "Gue bisa gila karena pengen bunuh orang, Aleanara."

Alea diam, menikmati tiap sentuhannya. Rasanya ini terlalu mustahil untuk di lakukan jika kesadaran Atta telah kembali, maka anggap saja perlakuan manis yang terasa nyata ini karena laki-laki itu kesurupan.

"Kenapa kamu harus bunuh orang?" Alea pikir tidak ada salahnya menyelam sambil minum air, menikmati momen sambil mencari jawaban atas keanehan Atta.

"Karena dia udah berani nyentuh lo." Tatapannya jatuh pada pergelangan tangan kanan Alea yang memerah. Atta menyentuh bagian itu, mengusap-ngusapnya dengan lembut. "Dan karena dia udah berani nyakitin lo." Ujarnya lagi masih dengan kesan dinginnya.

Deg!

Alea balas menatap mata laki-laki itu dengan intens, menerka-nerka isi kepala Atta yang selalu berubah-ubah. Jujur saja, meskipun rasa sukanya tidak se-lebay dulu namun getaran itu masih tetap ada. Dan semakin menggila setiap kali laki-laki itu memperlakukannya seperti 'seseorang' meskipun kerap kali bersikap dingin dan tidak tersentuh.

"Kenapa kamu peduli?"

Atta membeku, lidahnya kelu. Pertanyaan yang sama sedang berputar di kepalanya, menanyakan kepada diri sendiri 'kenapa kamu peduli?'

Wajah perempuan itu berubah murung, kali ini sudah tidak lagi menatap Atta. Kedua tangannya saling meremas di atas pangkuannya.

"Kenapa kamu harus semarah ini? Di saat kamu sendiri nggak tau alasannya. Jangan bikin aku makin bingung dengan sikap kamu." Alea kembali menatap Atta, "Kamu mau aku berhenti tapi kamu sendiri yang narik aku masuk ke hidup kamu, Atta."

Atta melepaskan tangannya dari wajah Alea, berbalik membelakangi Alea yang kini merasakan patah untuk yang kedua kalinya.

"Karena lo... karyawan gue, tanggung jawab gue. Sudah sepantasnya gue melindungi lo." Tegasnya meskipun dia sendiri meragukan itu. Ada pergulatan batin yang tidak bisa dia bagi.

Alea tersenyum miris, memilih beranjak dari duduknya. "Oke, aku ngerti. Terimakasih atas pertolongannya tadi, Mas. Kalau begitu aku pamit." Alea berlalu begitu saja tanpa melihat kebelakang lagi, dia tidak ingin membiarkan Atta melihatnya jatuh untuk kesekian kalinya.

"Kenapa harus nunggu satu orang itu peka sementara di luar sana masih banyak yang single?"

Entah siapa yang memulai duluan, pembicaraan mengalir begitu saja. Oji dan Reza secara terang-terangan mencibir penganut bucin yang rela melakukan apa saja demi pasangan, apalagi untuk seseorang yang bertahan dengan cinta bertepuk sebelah tangan. Bagi mereka yang menjunjung tinggi kebebasan, terikat dalam satu hubungan serius dengan seseorang jelas bukan prioritas utama.

Sementara Alea dan Rani jelas-jelas merasa tersindir dan mendadak ingin menelan hidup-hidup kedua laki-laki itu, sebagai seseorang yang pernah merasakan cinta sepihak jelas saja Alea murka jika perasaannya di salahkan. Apalagi Rani yang terkenal sebagai bucin garis keras, baginya apa yang dia lakukan kepada pasangannya adalah sebagai bentuk ungkapan cintanya dan selama pasangannya nyaman-nyaman saja, itu bukan masalah.

"Kalau gue sih, No. Gue nggak akan buang-buang waktu, tenaga dan pikiran hanya untuk orang yang belum tentu juga jadi jodoh gue." Ujar Oji sok bijak.

Reza mengangguk menyetujui, "Gue setuju! Buat apa berjuang mati-matian kalau ujung-ujungnya pisah juga? Makanya jangan terlalu pakai hati, biar nggak mewek kalau putus di tengah jalan. Cinta sih, boleh aja. Asal jangan berlebihan."

Setelah hampir dua bulan bekerja bersama, Alea sudah mulai terbiasa dengan kebiasaan ceplas-ceplos kedua orang itu. Mungkin, di antara empat laki-laki di lingkungan pekerjaan---hanya Dito dan Atta yang terlihat normal sebagai seorang laki-laki.

Rani melempar keduanya dengan gulungan tissu, saking emosinya, "Cowok bisa ngomong gitu karena emang dari awal kalian nggak pernah pakai perasaan, bedalah sama cewek." Ujarnya berapi-api.

"Yee... lagian siapa suru baperan? Rugi sendiri kan?" bantah Oji, tidak ingin di salahkan.

Dengan wajah memerah menahan emosi, Rani mengepalkan kedua tangannya di udara. "Eh anjir! Gue gampar juga lo, emosi gue." Ujarnya kesal lalu mengetuk pelan kepala dan permukaan meja secara bergantian, "Amit-amit, jangan sampai jodoh gue itu salah satu dari lo berdua. Gue mending perawan seumur hidup." Tambahnya lagi sambil bergindik ngeri.

Alea terkekeh geli, merasa lucu karena perdebatan yang hampir berujung pada baku hantam antar karyawan ini. "Lo berdua cuma belum ketemu sama orang yang tepat. Orang yang bisa bikin lo bahagia cuma karena hal-hal kecil, orang yang bisa bikin lo ngerasa stuck dan gak bisa jauh-jauh dari dia. A special person will change your life." Jelas Alea dengan seulas senyum di wajahnya.

"Pengalaman pribadi ya?" tanya Reza tiba-tiba dan Alea mengangguk yakin. "Dan... siapakan orang itu? Orang yang udah bikin lo bego karena cinta?"