Vote sebelum membaca😘😘
.
.
"Mau bicara apa?"
Gunner mendesah pelan, dia tidak suka Sophia yang langsung bertanya pada intinya begitu mereka duduk di kursi yang ada di caffe. Dengan berbagai upaya, akhirnya Sophia bersedia bicara dengannya.
"Bagaimana kabarmu, Sophie?"
"Jika kau ingin menagih hutang-hutangku padamu, aku sedang berusaha mengumpulkannya. Jadi jangan khawatir, aku pasti akan melunasinya," ucap Sophia membuat Gunner sedikit kesal.
"Aku menanyakan kabarmu, Sophia."
"Bisa kau lihat, 'kan? Aku baik-baik saja."
"Bagaimana dengan pernikahanmu?"
Sophia terdiam seketika, dia memperlihatkan ekspresi tidak percaya. Karena sebelumnya hanya orang tertentu saja yang tahu. "Dari mana kau tahu?"
"Menurutmu kenapa aku tidak muncul selama satu bulan ini, huh?"
Bahu Sophia terangkat. "Tentu saja aku tidak tahu," ucapnya dengan polos.
Gunner berdecak, dia mengangkat tangannya meminta pelayan untuk memberinya dua teh hangat. Menurutnya percakapan tidak akan seru jika tidak ditemani dengan teh atau pun yang lainnya.
"Lalu apa yang ingin kau bicarakan denganku?"
Gunner tidak langsung menjawab, dia menyeruput teh hangatnya terlebih dahulu sambil mrnyandarkan punggungnya di kursi. "Minumlah dulu," ucapnya menyimpan kembali cangkir teh berwarna putih tulang itu di atas meja.
"Tidak, terima kasih. Jika tidak ada yang ingin kau bicarakan aku akan pulang."
Tangan Gunner menahan Sophia saat perempuan itu bangkit berdiri, dia memaksanya untuk kembali duduk dengan tatapan memohon.
"Kenapa kau buru-buru sekali?"
"Aku harus pulang, Gunner. Aku ini seorang istri."
Gunner terkekeh. "Seorang istri yang tidak diakui suaminya," ucapnya yang masih bisa di dengan oleh Sophia.
Perempuan itu terdiam, tangannya mengepal tidak suka dengan apa yang diucapkan Gunner. "Apa maksudmu?"
"Tinggalkan pria itu, Sophia. Dia bukan pria baik yang tepat untukmu."
"Siapa kau yang begitu berhak atas diriku?" Sophia berdiri dengan kesal, tapi tangannya kembali di tahan oleh Gunner.
"Lepaskan aku," ucapnya mencoba melepaskan tangan Gunner yang mencekalnya dengan kuat.
"Dia akan meninggalkanmu begitu Sara kembali."
Gerakan Sophia yang mencoba melepaskan tangan Gunner itu terhenti, dia menatap dengan kaget. "Kau mengenal wanita itu?"
"Duduklah dulu," pintanya dengan lembut.
"Kau mengenal Sara?"
"Duduk, Sophia."
Dia kembali mendaratkan bokongnya di atas kursi. "Bagaimana kalian saling mengenal?"
"Dia temanku."
"A.. apa yang kau tahu?" Nada bicara Sophia mulai ketakutan. Dia takut mendengar kenyataan, apalagi yang berhubungan dengan Edmund dan pernikahannya. Dia tidak ingin anak yang ada dalam kandungannya itu kehilangan kasih sayang ayahnya.
"Yang aku tahu? Sara adalah tunangan suamimu. Namun, dia meninggalkan pria itu begitu hari pernikahan tinggal beberapa hari lagi."
Sophia membungkam mulutnya, pantas saja Edmund terlihat begitu frustasi malam itu. Dia kehilangan Sara beberapa hari sebelum pernikahannya. "Di mana dia sekarang?"
Gunner mengangkat bahu. "Aku tidak tahu," ucapnya tidak berhenti menatap Sophia yang mulai gelisah.
"Jangan bohong."
"Aku benar-benar tidak tahu," ucap Gunner dengan nada merendah. "Percayalah, pria itu akan meninggalkanmu saat Sara kembali."
Sophia menggeleng tidak setuju. "Dia sudah berjanji kalau dia tidak akan pernah meninggalkanku."
"Janji dibuat untuk tidak ditepati."
"Tidak, dia tidak akan melakukam itu. Setidaknya tidak pada dia," ucap Sophia sambil menunduk menatap perutnya yang masih datar, dia mengusapnya pelan seolah itu adalah benda yang rapuh.
Melihat itu Gunner menggeram marah, dalam hatinya dia tidak menerima Sophia mengandung benih pria lain. Demi Tuhan, Gunner begitu mencintai Sophia, bukan obsesi semata.
"Jika aku yang memperkosamu, apa kau bersedia menikah denganku?"
Pandangan Sophia beralih pada Gunner yang masih menatap perutnya, dia mulai takut dengan tatapam tajam pria itu. "Apa yang kau pikirkan?"
Gunner menggeleng. "Aku hanya bertanya. Tidak mungkin aku menyakiti makhluk kecil itu." Dia menunjuk perut Sophia dengan tatapan.
"Tentang hutang-hutangku, aku akan mel-"
"Semuanya sudah dibayar oleh suamimu."
Mata Sophia mengerjap beberapa kali, dia kembali mendapatkan kejutan dalam percakapannya dengan Gunner. "Oleh Edmund?"
"Ya, pria itu," ucap Gunner dengan malas.
"Kapan dia membayarnya padamu?"
"Sebelum kalian menikah."
Keheningan menyelimuti keduanya beberapa menit.
"Aku harus pulang," ucapnya berdiri dari tempatnya duduk, tangannya bergerak menjauh saat Gunner kembali akan menahannya. "Kumohon."
"Akan aku antar," ucapnya ikut berdiri.
Sophia menggeleng. "Tidak perlu, aku harus pergi. Sampai jumpa." Dia melangkah keluar dari caffe itu.
Setelah beberapa langkah keluar dari caffe, Sophia merasakan seseorang berlari ke arahnya. Dia menengok ke arah belakang saat lampu penyebrangan berwarna merah. Keningnya berkerut melihat Gunner mendekat.
"Aku bilang, aku akan mengantarmu," ucapnya kembali memegang pergelangan tangan Sophia.
Perempuan itu menggelengkan kepala. "Tidak perlu."
"Aku hanya mengantarmu, Sophie. Bukan berniat yang lain, lagi pula suamimu tidak datant menjemput."
"Dia akan datang. Lepaskan tanganku!" Teriak Sophia membuat Gunner segera melepaskan tangan perempuan itu. Dia mundur selangkah, menjauh dari Gunner.
Tiba- tiba sebuah mobil menepi di dekat Sophia, seseorang dari dalamnya menurunkan kaca mobil.
"Naik, Sophie," ucap Edmund dengan dingin.
Mendengar suara suaminya yang serius, Sophia segera memasuki mobil dan meninggalkan Gunner yang masih berdiri mematung menatap kepergian mobil ferarri itu.
Sepanjang perjalanan hanya keheningan yang menemani. Dia takut mengawali percakapan saat melihat wajah tegas milik suaminya. Rahang Edmund mengeras, dia tampak sangat marah.
Bahkan dia mengenadarai mobilnya dengan cepat, menyalip mobil-mobil di depannya dan menekan klakson berulang-ulang layaknya orang marah. Sophia ketakutan, dia meremas sabuk pengaman yang melindungi tubuhnya.
Ketika sampai di tempat parkir apartemen pun Edmund berjalan terlebih dahulu, dia meninggalkan istrinya jauh di belakang hingga membuat Sophia kesal. Perempuan itu menghentakkan kakinya dan berjalan menyusul suaminya.
Sophia berjalan menaiki tangga menuju kamarnya, dia menghela napas saat melihat Edmund sedang mengganti pakaiannya dengan wajah yang datar.
"Edmund," ucap Sophia sambil mendekat, dia berniat membantu pria itu membuka pakaiannya. Namun, Edmund menghindari sentuhan Sophia.
"Ada apa, Ed? Kau kenapa?"
"Ada apa? Kau bertanya ada apa?" Pria itu menatap tidak percaya. "Kenapa kau tidak menghubungiku dan malah berduaan dengan pria itu!"
Sophia tersentak kaget mendengar Edmund menaikan nada bicaranya, dia menggeleng pelan. "Dia mengajakku bicara, lagi pula yang kami tidak melakukan apa pun selain duduk dan bicara."
"Cih." Edmund berdecih sambil membalikan badan membelakangi Sophia. "Apa yang kau bicarakan dengannya?"
"Banyak, termasuk tentang Sara dan semua hutangku yang telah kau lunasi."
Edmund hanya menatap sekilas istrinya lewat cermin besar tanpa bicara.
"Jadi, semuanya benar? Kau melunasi semua hutangku?"
"Ya, memang. Dan apa balasan yang aku dapatkan? Kau membicarakanku dengan pria itu!"
Sophia menggeleng. "Dia yang memaksaku tinggal."
"Dan kau dengan bodohnya bersedia menemaninya!" Teriak Edmund marah sambil membalikan badan menatap istrinya. "Kau seharusnya menghubungiku."
Dia mengeluarkan ponselnya yang rusak dari dalam tas dan menunjukannya di depan wajah suaminya. "Ponselku rusak."
"Kau bisa meminjam ponsel temanmu itu."
"Kekasihnya datang, aku tidak mungkin masuk dan mengganggu mereka," ucap Sophia terdengar frustasi.
"Kau bisa menghubungiku lewat telpon umum, Sophia!"
Sophia menghela napas tidak percaya, dia menganggukan kepalanya berulang kali sambil menunduk. Lalu dia melangkah keluar dari kamar itu. Berapa kali pun dia menjelaskannya pada Edmund, pria itu tidak mendengarnya. Amarah menyelimuti pikirannya hingga membuat Sophia kesal.
Perempuan itu masuk ke dalam kamar tamu yang ada di lantai satu. Sophia mengganti pakaiannya dengan kaos yang ada di lemari itu, tatapan kosong memikirkan percakapan terakhirnya dengan Edmund.
Dia membaringkan tubuhnya di atas ranjang setelah mematikan lampu kamar. Sophia menyeka air matanya yang hampir saja keluar, dia berusaha memejamkan matanya untuk tertidur.
Beberapa menit kemudian, di saat Sophia hampir memasuki alam mimpi, dia mendengar pintu kamar terbuka. Seseorang melangkah masuk dan duduk di samping ranjang. Sophia merasakan usapan pada kepalanya, sedetik kemudian dia merasakan sesuatu yang kenyal menyentuh dahinya.
Bibirnya membentuk senyuman kecil, dia berpikir Edmund yang datang ke kamar dan mengecupnya itu adalah mimpi. Padahal, itu adalah kenyataan.
***
LOVE,
ALIANNA ZEENATA