webnovel

Vidio tak Senonoh

Aku bingung harus menjawab apa. Aku menatap binar bahagia makhluk Tuhan paling imut di hadapanku ini. Bos Koko sendiri terus memperhatikan raut wajahku yang membuatku bahkan tidak berani membalas tatapan itu. Tanganku mulai basah oleh keringat, dan satu sama lainnya saling bergenggaman erat. Hingga baru kusadari, jika tangan mungil Zeze tidak lagi menggenggam jemariku, karena ternta sudah berganti dengan tangan Bos Koko yang meremasnya dengan lembut. Kami saling bertatapan, cukup lama, hingga membuat hati ini rasanya semakin tidak keruan. Zeze melompat turun dari ayunan. Dia berlarian bermain di halaman. Tinggallah kami berdua duduk ayunan ini.

"Pak, maaf. Sepertinya saya harus pulang," pamitku dengan sangat hati-hati.

"Bisakah tetap di sini sebentar lagi? Hanya beberapa menit, Rey. Temani saya."

Aku tidak menjawab, hanya memalingkan muka menatap Zeze yang sedang melompat-lompat sambil bernyanyi. Semakin lama, pegangan ini semakin erat. Jantungku pun degupnya semakin tidak bisa dikendalikan. Perlahan, aku berusaha menarik tangan, tapi Bos Koko menahannya. Tiba-tiba ponsel bergetar di saku celana. Aku tersenyum samar, bersyukur, karena memiliki alasan untuk melepaskan tanganku dari genggamannya.

"Maaf, Pak. Ponsel saya bergetar."

Akhirnya tangan ini bebas juga dari cengkeramannya. Aku menarik napas lega, dan segera merogoh saku celana. Setelahnya melihat pesan siapa yang ada di sana. Ternyata pesan dari Citra. Katanya, dia ingin memberi kejutan. Dahiku mengerut, bingung. Kejutan untuk nanti malam? Maksudnya, kejutan apa yang akan dia berikan pada Om Darmo?

Aku turun dari ayunan tanpa menghiraukan Bos Koko yang masih saja terus menatap. Kudekati Zeze, menggendongnya, lalu membawanya masuk untuk menuju ke ruangan. Setelah sampai di atas, kududukkan Zeze dikursi kerjaku, sedangkan aku berjongkok di hadapannya. Kuraih jemari mungil itu dan menggenggamnya.

"Sayang, Kakak harus pulang. Nanti dimarahi tantenya Kakak, kalau pulangnya terlambat."

"Kakak enggak mau ya, jadi mamanya Zeze?" tanyanya polos.

Aku membingkai wajah lucunya dengan tangan, lalu mengecup keningnya sesaat.

"Sepertinya nggak harus jadi mamanya Zeze, Kakak sudah bahagia banget."

Aku tersenyum sambil menatap hangat wajah cantik itu, lalu menarik tubuh kecilnya untuk kudekap. Kuusap punggungnya untuk menunjukkan rasa sayang. Beberapa saat kemudian, aku melerai pelukan dan membelai lembut pucuk kepalanya. Mulut mungil anak itu tampak cemberut mendengar kalimatku. Matanya memerah hendak menangis.

"Nggak boleh nangis. Nanti nggak cantik lagi."

Dia diam saja. Bibirnya mengerucut 5 senti. Aku kembali menggendong Zeze, dan berdiri di depan jendela. Kuceritakan dongeng singkat tentang burung-burung yang beterbangan di luar sana sambil menunjuknya ke beberapa arah. Lama-lama, raut kesedihan itu memudar. Dengan saksama, dia mendengarkan ceritaku. Sesekali anak itu menganggu, lalu tertawa jika ada yang lucu. Setelah yakin jika dia baik-baik saja, aku menurunkannya.

"Jangan sedih lagi, ya. Kakak bakal selalu ada buat Zeze, kapan pun itu," bisikku sembari mengacak rambutnya perlahan. "Sekarang, Kakak pulang dulu. Zeze sama Papa, ya."

Aku membungkuk, lalu membelai kembali kepala Zeze. Selanjutnya, aku mengambil tas dari dalam laci. Bos Koko datang. Dia mendekat dan menggendong anaknya. Bos Koko sempat mencium pipi si cantik itu.

"Rey, saya antar, ya?"

"Terima kasih, Pak. Saya bisa pulang sendiri."

Sebelum benar-benar keluar aku mendekat, kemudian mengusap pipi mulus Zeze yang bersandar di bahu kiri papanya. Sesaat, pandangan mataku dan bos koko bertemu. Aku tersenyum samar, kemudian sekali lagi pamit pada anak kecil yang ada di gendongannya. Setelah itu dengan mantap kulangkahkan kaki untuk keluar ruangan. Entah mengapa perjalanan pulang, di atas ojek aku terus memikirkan permintaan anak itu. Zeze, dia anak yang cantik dan lucu. Kemudian sikap bos koko hari ini juga cukup menggangguk pikiranku. Bukankah ... selama ini dia bos yang jutek dan ketus? Mengapa baru-baru ini sikapnya berubah padaku? Apakah aku terlalu naif jika berpikir, bahwa dia menyukaiku?

***

Hujan mengguyur bumi, suara petirpun bersahut-sahutan. Aku menarik selimut sampai menutupi tubuh, cuaca malam ini rasanya dingin sekali. Tiba-tiba saja aku teringat wajah lucu Zeze. Aku masih tidak menyangka, dia akan mengajukan pertanyaan yang membuat mulutku tidak mampu berkata, degup jantung berdetak lebih cepat dan grogi menguasai diri ini. Aku tersenyum kecil seraya menggelengkan kepala, lalu menatap ponsel saat benda pipih itu bergetar. Dengan cepat, aku memeriksanya. Ternyata sebuah pesan dari Sony.

[Rey, tidur yang nyenyak!]

Bibirku mengukir senyum membacanya, lalu mengetik balasan.

[You too ... ]

[Kalau saja aku tahu jawabannya seperti itu, aku akan mengatakan I Love You.]

Reflek aku tertawa membaca balasan pesan darinya.

[Emoji melet]

[Emoji cium]

Idih!

Si Sony sudah mulai berani kirim emoji seperti ini. Aku menutup telepon dan berbaring. Ponsel kembali bergetar. Oh, kali ini dia menelepon. Tanpa melihat nama, langsung saja aku mengangkatnya.

"Sony! Apalagi, sih? Sudah berani, ya, rayu-rayu aku? Pakai bilang I love you segala," kataku seraya tertawa.

"Rey, saya bukan Sony."

Suara ini mampu membuat tawa ceria di wajahku berubah jadi takut. Mampus! Ini sepertinya suara Bos Koko. Wah, sudah ngomong seperti itu lagi. Aku memukul kepala beberapa kali. Ceroboh sekali, sampai tidak melihat nama di layar tadi.

"Ha ... lo, Pak. Maaf, saya kira ...."

"Saya buka Sony, pacar kamu. Tapi saya Very, calon suami kamu!"

Hah!

Mataku membulat sempurna mendengar kalimat itu. Tiba-tiba, rasa hangat menjalar ke seluruh wajah. Bos koko apa apaan sampai bilang seperti ini?

"Cuacanya dingin. Kamu jangan keluar rumah, nanti kena flu," pintanya.

Setelah itu, dia memutus sambungan telepon begitu saja.

Aih!

Aku menggigit bibir dan memejamkan mata. Harusnya kulihat dulu siapa yang menelepon tadi. Ini, main ngomong sembarangan saja. Ponsel kembali bergetar. Ini Sony atau Bos Koko yang kirim pesan, ya? Saat kucek, ternyata dari Nenek lampir. Jadi ingat katanya yang mau kasih surprise. Segera kubuka isi chat-nya.

[Mas, ini ungkapan rinduku buatmu!]

Sebuah video? Lama aku berpikir, harus membukanya atau tidak. Kuputuskan membukanya. Kemudian betapa syoknya aku melihat isi dari vidio ini. Mulutku tidak berhenti beristigfar. Bahkan, aku tidak berani menontonnya sampai selesai. Citra, perempuan itu bahkan berani mengirim videonya sendiri tanpa busana kepada Om Darmo, kemudian dia melakukan adegan tidak senonoh di sana. Astagfirullah.

Aku berlari ke kamar mandi, karena tidak tahan melihat adegan demi adegannya yang 'bermain' sendir. Aku benar-benar mau muntah karena jijik. Perutku rasanya teraduk-aduk menonton beberapa menit saja video itu. Begitu pendek akal wanita itu! Demi mendapatkan yang bukan haknya, dia rela bersikap serendah itu. Wanita bodoh yang mau mengirim video dan melecehkan dirinya sendiri untuk seorang lelaki yang telah beristri. Bagaimana kalau video itu tersebar? Apa dia mau bunuh diri dan menggali kuburannya sendiri?

Ya Allah .....