webnovel

Permintaan Zeze (Anak dari Bos Koko)

Di kampus, aku menceritakan semuanya kepada keempat temanku. Aku pusing, karena si Nenek Sihir terus menelepon. Wanita ular itu pasti bingung, kenapa Om Darmo tidak pernah mau mengangkat telepon darinya. Di sisi lain, Tante Siska mengalami banyak perubahan. Dia menjelma menjadi ABG yang sedang kasmaran. Daster yang biasa dia pakai, disimpan di gudang. Kini Tante Siska selalu memakai jeans selutut dengan kaus ngepres body setiap harinya. Tentu saja hanya di dalam rumah. Jika keluar rumah, dia tetap berpakaian syar'i seperti biasa. Entah jika di dalam kamar, tentu berbeda lagi ceritanya. Tante pun rajin perawatan, seminggu dua kali dia datang ke salon. Jogging setiap pagi, agar badan segar dan sehat. Om Darmo pun selalu dimanjakan dengan senyum dan sikap yang manis setiap harinya. Meskipun sesekali netraku menangkap Om Darmo seperti gelisah menatap layar gawai menunggu sesuatu, mungkin saja dia bingung dengan Citra yang tiba-tiba menghilang bak di telan bumi.

Malam ini, saat kami di kampus, aku meminta bantuan teman-teman untuk menuntaskan kegelisahan ini. Aku membeli kartu baru untuk menelepon Om Darmo, dan meminta salah satu dari mereka mengaku bahwa ini adalah nomor telepon pacar si Citra. Adegan pertama dimulai. Rehan menjadi pacar pura-pura Citra, sedangkan Heny menjadi Kak Citranya.

"Siap?" tanyaku pada Rehan sembari bersiap menelepon omku.

Sahabatku ini mengedipkan sebelah mata, tanda sudah siap. Melihat mereka telah bersiap, aku langsung mencari nomor Om Darmo di layar gawai, lalu langsung menekan tombol hijaunya. Selanjutnya, terdengar sambungan telepon terhubung.

"Halo. Saya Darmo. Ini dengan siapa, ya?"

Segera aku memberikannya pada Rehan.

"Halo, saya Ajun. Pacar baru Cintya. Maaf sebelumnya, Cintya kini sudah menjadi pacar saya. Karena itu, saya melarang dia menghubungi Anda," tukas Rehan.Dia hampir saja tertawa, tapi dengan cepat aku menutup mulutnya.

"Saya tidak percaya! Jangan coba-coba membohongi saya! Mana Cintya? Saya ingin bicara langsung dengan dia!"

"Cintya sedang ada di kamar mandi. Biasalah, kami baru saja usai memadu kasih. Saya lebih segalanya dari kamu. Bahkan, saya bisa memberinya uang dua kali lipat lebih besar dari pemberianmu."

Heny yang berjarak dua meter dari kami berteriak. "Sayang, siapa yang menelepon?"

"Bukan siapa-siapa, Sayang! Hanya seseorang yang tidak penting," sahut Rehan masih menahan tawa.

Aku menyentil dahinya berkali-kali, supaya dia lebih fokus dan tidak membuat Om Darmo curiga.

"Kamu dengar? Cintya bahkan sama sekali tidak mengingatmu. Kalau kamu masih berani mendekatinya, awas! Saya akan memberi tahu semuanya pada istrimu."

"Hah! Kamu mengancam? Ambil saja itu Cintya! Aku bahkan menyesal pernah mengenal gadis sepertinya. Istriku lebih dari segalanya! Dia hanya tempatku bersinggah, jika sedang merasa bosan!"

Tut ... Tut ....

Telepon dimatikan. Kami semua melompat kegirangan. Sekarang, giliran menelepon Citra. Kali ini, Teno menawarkan diri untuk menjadi Om Darmo. Kebetulan, suara mereka nyaris sama.

"Lihat nih aktingku!" kata Teno sambil mengusap rambut cepaknya ke belakang.

"Sebentar. Teno jadi Om Darmo, aku jadi suara anginnya saja. Kamu, Son, mau jadi apanya?" cecarku pada Sony.

"Gue jadi sinyal saja. Ceritanya kan nggak ada sinyal di desa," Sony melangkah, memungut tumpukan daun kering.

"Aku jadi bosnya saja. Hahay," timpal Rehan terbahak-bahak.

"Aku ... jadi apa, ya?" lanjut Heny kebingungan.

"Kamu jadi bidadari di hati aku saja. Hahaha," jawab Rehan tertawa sampai jungkir balik dari tangga.

"Ish! Apaan, sih?" sungut Heny kesal.

"Serius, dong. Ayo, mulai," gerutuku.

Aku pun memencet tombol hijau di layar ponsel sekali lagi, kemudian terdengar sambungan telepon terhubung.

"Iya. Halo, Sayang. Akhirnya aku bisa dengar suara kamu juga. Kamu ngerti nggak, sih, aku tu kangen, Mas!"

"Iya, Sayang. Maaf ya, Mas lagi banyak kerjaan."

Aku memberi aba-aba supaya akting dimulai. Satu ... dua ... tiga ....

Sony mulai meremas-remas daun kering di dekat telinga Teno, sedangkan aku mengibaskan buku.

"Halo, Sayang. Enggak kedengaran suara merdumu. Enggak ada sinyal, Sayang!"

"Mas, berisik banget, sih! Mana anginnya kenceng banget. Mas, lagi di jalan, ya?"

"Iya. Sinyalnya nggak ada. Ini di pelosok, Sayang."

"Sebel aku tu. Sudah susah ditelepon, kita sudah hampir satu minggu nggak bertemu. Sinyal juga nggak mendukung! Mas, kapan pulanggg?"

"Darmo! Kamu bukannya kerja, malah asyik teleponan! Kamu mau saya pecat?!" bentak Rehan.

"Sayang, ada Bos. Nanti aku telepon lagi ya. Muaachh."

"Tapi, Mas!"

Tut ... Tut ....

Telepon dimatikan. Kami bersorak serentak, lalu tos secara bergantian.

"Kalian memang luar biasa!"

Teno bertepuk tangan berkali-kali. Tawa kami berderai bersamaan. Diantara tawa semringah kami, hanya Sony yang terlihat diam. Dia menatapku dengan tatapan yang ... entah. Jujur, sulit kuartikan.

***

Hari Minggu.

Seperti biasa, hari libur aku dipaksa kerja oleh bos koko. Aku pikir, dia jauh lebih baik dari sebelumnya. Namun, ternyata sama saja. Dengan gontai, aku memasuki ruangan. Sepi, tidakada satupun manusia. Aku datang terlalu pagi, baru juga pukul 06.30 sampai di sini. Aku membuka ruangan, lalu masuk dan menghidupkan komputer.

"Rey," sapa Bos Koko yang sudah berdiri di belakangku. Dia menarik salah satu kursi dan duduk tepat di sisiku. "Ada yang mau saya tunjukkan ke kamu," ucapnya seraya menancapkan flashdisk ke CPU.

Aku memperhatikan dia yang sibuk dengan komputer di hadapanku. Tangannya mulai memainkan mouse dengan lincah. Dibukanya sebuah folder dengan judul 'Rumah Impian'. Dahiku mengerut bingung. Maksudnya apa, ya?

Dia mulai membuka satu persatu foto rumah itu.

" Rey, lihat, deh. Menurut kamu, rumah mana yang bagus?" tanyanya sambil terus membuka foto itu satu per satu.

"Kamu suka rumah yang mungil atau yang gede, sih?"

Aku masih menatap wajahnya lekat, bingung dengan sikapnya.

"Saya suka rumah yang sederhana, Pak. Kecil, yang penting penuh dengan kebahagiaan."

"Kamu suka rumah yang kecil? Kalau anaknya banyak, bagaimana? Kan sempit, Rey," sambungnya dengan mata yang masih fokus ke layar.

Refleks, aku menoleh ke arahnya. Menatap penuh tanda tanya.

"Eh, lihat. Yang ini bagus nggak?" tanyanya lagi dan kini beralih menatapku.

Aku mengalihkan pandangan, saat sorot mata kami bertemu. Aku menarik napas panjang, lalu mencoba melihat foto rumah yang ditunjukkan olehnya. Sebuah rumah bercat biru tiga lantai. Memiliki halaman yang luas, dan ditumbuhi rumput hijau serta beberapa pohon hias.

"Bagus, Pak."

"Oke. Yang ini saja, ya?"

"Maksud, Bapak?" tanyaku kebingungan.

Bos Koko tidak menjawab, dia hanya meng-copy foto rumah itu ke sebuah folder baru yang diberinya nama

'Rumah Pilihan Rey'.

Aku berusaha berpikir positif. Mungkin saja Bos Koko ingin membangun sebuah rumah, tetapi bingung dengan model rumahnya, sehingga meminta pendapatku. Setelah selesai, dia menatapku sekilas, tersenyum tipis, dan beranjak kembali ke meja kerjanya. " Rey," panggilnya setelah kembali duduk.

"Iya, Pak?"

"Setiap saya tanya tentang apapun, kamu selalu menjawab sukanya yang sederhana. Menurut kamu, uang 250 juta apakah cukup untuk melangsungkan pernikahan yang sederhana?"

Wah, 250 juta. Itu tergolong mewah, Pak, jawabku. Tentu saja hanya di dalam hati.

"Rey?"

"Oh, eh ... saya kurang paham masalah seperti itu, Pak. Karena saya belum pernah mengalaminya."

"Cepat ataupun lambat, kamu akan melewati masa itu, Rey. Pikirkanlah dari sekarang," ucapnya menatap wajahku lekat.

Aku hanya tersenyum samar mendengar ucapannya.

Kreak ....

Pintu terbuka seketika. Aku dan Bos Koko menoleh ke arah pintu. Terlihat seorang gadis kecil tersenyum menatap kami berdua. Aku tersenyum saat melihatnya. Dia, Zeze--putri dari bos koko. Zeze berlari kecil ke arahku. Setelah itu, Bos Koko meminta pengasuh Zeze supaya pulang lebih dulu. Zeze melompat ke pangkuanku.

"Halo, Cantik. Sudah mandi belum?" tanyaku sembari mencium pipi tembamnya gemas.

Zeze tampak lucu dengan dress berwarna silver. Rambutnya dikuncir dua, dan dia memakai tas mungil berwarna senada dengan pakaiannya.

"Sudah, dong, Kak!" jawabnya mencium balik pipiku.

"Kita main, ya! Nih ada permainan bagus di komputernya Kakak."

Aku membuka sebuah permainan yang bernama 'Onet'. Permainan simpel pengasah otak. Aku sering memainkannya, jika merasa bosan.

Zeze terlihat sangat antusias memainkannya. Meskipun selalu kalah, tapi dia tidak pantang menyerah. Sedangkan diujung sana, Bos Koko memperhatikan kami dengan senyum bahagia. Entah apa tujuannya memintaku lembur hari ini. Padahal, tidak ada pekerjaan apapun di sini. Hanya mengajak dan menemani Zeze bermain. Puas bermain, aku mengajaknya main di taman belakang kantor. Kami duduk di ayunan berdua, sedangkan Bos Koko berdiri di depan kandang anjing, melempar makanan.

"Kak, Zeze mau deh kalau diberi mama seperti Kakak," ucapnya ketika kami sedang duduk di sebuah ayunan di taman belakang.

Bos Koko yang mendengar itu, tiba-tiba menoleh ke belakang. Dia yang sedang melihat dan memberi makan bull dog di dalam kandang berbalik seketika. "Sayang, kakak itu pantasnya jadi kakak kamu. Bukan mama kamu," jawabku tertawa.

"Tapi kata Papa, Kak Rey itu bisa jadi calon mama Zeze yang baik!"

Mendengar kalimat Zeze, rasanya aku sulit bernapas. Aku menelan saliva beberapa kali. Terlebih, langkah Bos Koko yang semakin mendekat ke arah sini. Aku mencoba tersenyum, meskipun gemuruh pada jantung semakin kuat bertabuh. Kini Bos Koko sudah bersama kami. Dia ikut masuk ke ayunan dan duduk di hadapanku. Sedangkan Zeze berpindah ke pangkuannya. Tangan mungil itu menuntun jemariku ke tangan papanya. Wajahku berubah pias, tapi Bos Koko tampak baik-baik saja. Mata tajam itu seolah menguliti wajahku yang membuat aku tertunduk kikuk.

"Kak, jadi mamanya Zeze aja, ya?" tanya gadis kecil itu dengan polosnya.

Senyum di bibirnya mengembang dengan mata berbinar dan penuh harap.