webnovel

BAB 27: "Boleh Aku Peluk?"

Suara langkah kaki terburu-buru yang bergesek dengan tanah mengisi keheningan di jalanan sore hari.

Apa yang tengah Naraya rasakan? Takut? Panik? Entahlah, Naraya rasa tidak ada kata yang bisa menggambarkan suasana hatinya sekarang.

Yang jelas Naraya merasa menyesal sudah menyuruh Sakha pergi untuk jalan-jalan. Apakah pria itu tersesat? Bukannya Naraya berlebihan, tapi pria itu tidak pulang-pulang padahal hari sudah mulai malam. Bagaimana kalau traumanya kumat di tengah jalan dan tahu-tahu dia pingsan? Atau dia tersesat karena kan Sakha itu buta arah.

Naraya menggelengkan kepalanya kuat-kuat. "Jangan mikir aneh-aneh!" Dia memperingatkan dirinya yang sudah berpikir macam-macam.

Kepala Naraya sedari tadi menoleh ke kanan dan ke kiri. Pegal? Dia tidak merasakannya karena sudah kepalang merasa bersalah dan mungkin sedikit panik pada Sakha.

Naraya ingin teriak-teriak memanggil nama Sakha, tapi takut kalau dugaannya salah kalau Sakha sedang tersesat.

Suara tawa khas bapak-bapak yang awalnya terdengar samar kini terdengar semakin jelas beriringan dengan langkah Naraya yang semakin mendekat ke sebuah warung.

Langkah Naraya melambat saat menemukan wajah yang ia cari dari tadi. "Sakha?" panggilnya pelan.

Sakha menoleh cepat, senyuman di wajahnya semakin melebar. "Naraya!" Sapanya riang sambil menggoyangkan telapak tangan menyapa perempuan itu.

"Aku cariin ternyata kamu di sini," Naraya mati-matian menahan diri untuk tidak mengomeli Sakha di hadapan banyak orang.

Sakha tersenyum polos sementara bapak-bapak lain tertawa menggoda.

"Aduh, ini nih pengantin baru. Nggak mau jauh-jauh!"

"Aduh nak Naraya, Sakha cuma main bentaran doang ini, masa langsung pulang."

"Maklum lah pak, pengantin baru."

Dan ucapan-ucapan lain yang membuat Naraya bersemu kemerahan. Diam-diam dia mengumpat dalam hati, seharusnya dia tidak berperilaku seperti ini di depan orang lain. Ujungnya dia digoda begini kan?

"Mukamu merah lho Naraya!" saut pak RT, semakin mengundang tawa menggelegar yang lainnya.

Sakha langsung berdiri di samping Naraya, dan Naraya refleks langsung menggenggam tangan Sakha.

"Udah dong, bapak-bapak. Jangan godain Naraya. Kasihan dia malu," pinta Sakha.

Para bapak-bapak itu mengangguk masih sambil tertawa.

"Sudah, pulang kamu sana. Istri kamu kangen, tuh!"

Sakha mengangguk. "Kalau gitu kami pulang duluan, bapak-bapak." pamit Sakha, sementara Naraya semakin menyembunyikan dirinya di balik badan Sakha yang besar.

"Pamit, bapak-bapak." Naraya berpamitan dengan suara kecil.

Bukannya tersinggung dengan kelakuan Naraya, para pria paruh baya itu malah tertawa.

Sakha sendiri paham kenapa para pria itu menertawakan Naraya. Bukannya apa, tapi dia sangat lucu sekarang. Kalau diibaratkan Naraya itu seperti kucing yang sedang malu.

Akhirnya Naraya tak dapat mendengarkan godaan para bapak-bapak itu karena dia sudah ditarik Sakha menjauh. Meski begitu Naraya masih tak dapat menahan rasa malunya dan semakin mengeratkan genggamannya pada Sakha.

Perempuan itu menoleh cepat saat mendengar kekehan tertawa dari sampingnya. Matanya langsung menatap Sakha tajam. "Kok kamu ketawa?!"

"Habis kamu lucu banget." Sakha menjawab di tengah-tengah kekehannya.

Naraya mengerjapkan matanya cepat. Naraya yakin bahwa wajahnya semakin memerah sekarang. "Dih, apaan!"

Suara kekehan Sakha perlahan hilang dan membuat suasana menjadi hening, hanya ada suara langkah kaki yang terdengar, kemudian disusul suara decitan pagar yang dibuka Sakha, disusul lagi suara decitan pintu.

"Kamu kalau pulangnya lama kabarin dong. Aku kan takut kalau yang kemarin terulang lagi." Akhirnya Naraya bisa meluapkan kata-kata yang sejak tadi ia tahan.

Sakha tersenyum. "Iya, maaf karena aku nggak kabarin kamu dan bikin kamu khawatir."

"Siapa yang khawatir?" Naraya bertanya dengan nada retoris. "Aku cuma takut kamu nggak tahu jalan."

Senyuman Sakha berubah jadi tawa pelan. "Itu namanya khawatir, Naraya."

Kerjapan mata Naraya melambat. Khawatir? Ulangnya dalam hati. Jadi itu maknanya khawatir? Masa sih? Tapi Naraya memang merasakan ini ketika Poppy tidak pulang berhari-hari, berarti ini benar khawatir? Tapi kenapa Naraya khawatir pada Sakha?

"Omong-omong, Naraya. Aku boleh nanya sesuatu?"

Naraya menatap Sakha. Kenapa tiba-tiba dia terdengar serius?

"Boleh,"

Sakha terlihat ragu, tapi dia tetap menyuarakan pertanyannya. "Pak RT... Tahu rahasia kamu?"

Naraya terdiam dengan tenggorokan yang kini tercekat. Perempuan itu mengerjapkan matanya cepat sembari menunduk. Dia terdiam.

Rahasia, apa yang Sakha maksud adalah rahasia kedatangannya di RT ini? Rahasia sebesar gunung yang belum siap ia ceritakan pada suami dadakannya ini?

Perlahan, Naraya mengangguk. "Pak RT, istrinya, Bu Tias, dan anaknya Bu Tias," jawabnya pelan.

Sakha mengangguk mengerti. "Aku cuma mau tau itu aja."

Naraya kemudian mendongak menatap mata Sakha yang ternyata melihatnya dengan tatapan teduh. "Maaf Sakha," ucapnya penuh penyesalan.

"Maaf kenapa? Kan kamu nggak salah apa-apa."

"Maaf karena aku belum bisa berbagi rahasia besar aku."

Senyuman Sakha yang selalu menenangkan itu terbit. "Enggak apa-apa." jawabnya lembut. "Boleh aku peluk kamu?"

Naraya mengangguk memberi izin.

Dengan lembut tangan Sakha melingkari punggung kecil Naraya, membungkusnya dengan tubuh hangatnya dan menyalurkan kenyamanan yang selama ini jarang Naraya dapatkan.

Jantung kedua insan itu berdetak cepat. Apakah mereka sudah jatuh cinta? Pertanyaan itu kerap hinggap di kepala masing-masing, tapi bagaimana mereka bisa saling mencintai kalau mereka belum mengenal satu sama lain?

Cinta tak sesederhana dengan menyukai seseorang. Level cinta jauh di atas itu.

Lantas, bisakah mereka mencintai satu sama lain?