webnovel

BAB 26: "Ngerumpi bareng bapak-bapak"

"Mending kamu pergi jalan-jalan sore, deh. Daripada di rumah terus, malah makin nggak tahu jalan."

Begitulah kata Naraya tadi siang pada Sakha saat sedang makan. Sakha yang kerjaannya mengekori Naraya merasa mendapat pekerjaan baru. Dalam hati dia membenarkan ucapan perempuan itu, memangnya mau sampai kapan dia tidak tahu jalan?

Sakha menatap jalanan yang lumayan lengang ini. Untung ponsel sudah ada di tangan, jadi kalau dia tersesat bisa langsung lihat Google maps.

Di tengah perjalanannya, Sakha tersenyum sendiri mengingat kenangan-kenangan yang telah ia ukir bersama Naraya. Mereka jauh lebih dekat daripada sebelumnya. Siapa sangka kehidupan pernikahan dadakan ini akan sebaik ini?

"Mas Sakha?"

Langkah kaki Sakha berhenti ketika ada suara seorang perempuan yang memanggilnya. Saat kepala Sakha menoleh untuk melihat siapa yang memanggilnya, langsung saja pria itu mengingat malam panas waktu itu.

Iya, itu perempuan yang Naraya kenal itu. Siapa sih namanya? Tissue?

"Eh, siapa ya?" Sakha benar-benar lupa namanya. Andai dia tidak melihat hal tidak senonoh malam itu, pasti Sakha tidak akan mengingat perempuan ini!

Perempuan itu tersenyum manis sambil memainkan ujung rambutnya, yang membuat Sakha sedikit menatapnya ngeri. "Masa nggak ingat aku sih Mas?" tanyanya dengan nada manja. "Tissa. Ingat ya Mas, namaku Tissa."

Sakha mengangguk pelan. "Ada perlu apa ya?" tanya Sakha, dia berusaha mati-matian agar tidak mendengus malas.

Tentu saja dia malas melihat tingkah genit Tissa padanya. Dilihat dari segi manapun Naraya jauh lebih oke. Dari cantiknya, dari kelakuan, semuanya! Apa sih yang Tissa incar dari pria beristri sepertinya? Bukannya Sakha geer, tapi bukankah tingkah Tissa ini sangat jelas ingin menggodanya? Ada lusinan wanita yang bertingkah sama sepertinya untuk menggoda Sakha, jadi dia tahu betul. Seharusnya kejadian tak senonoh yang Tissa perbuat malam itu Sakha laporkan pada pak RT, agar ibunya tahu rasa dan tidak mengatai Naraya sembarangan sementara anaknya berbuat liar sesuka hati.

"Memangnya harus ada perlu ya baru bisa ngomong sama Mas Sakha?"

"Ya, enggak. Cuma nggak enak dilihat orang," ujar Sakha beralasan.

Tissa memberengut manja. "Kan kita cuma ngobrol. Ini di tempat terbuka, kok."

Kamu di tempat terbuka aja udah begini, sindir Sakha dalam hati. Sakha memilih untuk tak menjawab dan membiarkan Tissa berceloteh sendirian. Padahal Sakha sudah berkali-kali mengacuhkannya, mendengus kasar, dan macam-macam, tapi kenapa perempuan ini masih setia berjalan di sampingnya? Mana pakai jalan dempet-dempet lagi!

Badan kamu bau asem tahu! Lagi, Sakha mengomel dalam hati.

Diam-diam Sakha melirik ke sekitar, sampai matanya melebar karena senang ketika melihat sekumpulan bapak-bapak yang sedang duduk bercerita di sebuah warung.

"Eh, Tissu-"

"Tissa Mas!" potong Tissa, sok ngambek.

Sakha mengibaskan tangannya. "Iya, Tissa, aku mau ke tempat bapak-bapak itu dulu." Setelah berkata begitu Sakha langsung kabur meninggalkan Tissa yang mencak-mencak sendiri di tempatnya.

Mampus! Ucap Sakha dalam hati, dia terlampau senang meninggalkan Tissa.

Suara canda tawa semakin terdengar jelas ketika kaki Sakha semakin mendekat ke arah warung itu. Dalam hati Sakha merasa lega sebab mereka tampaknya tidak membicarakan sesuatu yang serius, sehingga tak membuatnya sungkan untuk ikut gabung.

"Permisi," ucap Sakha dengan senyuman sopan.

Para bapak-bapak yang kebanyakan tidak Sakha kenali itu menyambutnya dengan ramah. "Wah, nak Sakha. Mari-mari duduk."

Dan dengan senang hati Sakha mengikuti perintah pak RT.

"Ini nih, pemuda paling ganteng di RT kita," puji salah satu bapak-bapak.

Sakha tersenyum malu. "Bapak bisa aja,"

"Iya, toh? Kamu paling ganteng. Meskipun kami semua jadi muda sekalipun nggak ada yang bisa menandingi kegantengan kamu," lanjutnya.

Senyum Sakha melebar mendengar itu.

Bapak lain menyaut semangat, "Iya, dong. Makanya Naraya, perempuan cantik tapi jomblo itu mau sama Sakha. Apalagi selain dia kelihatan kaya sama ganteng?"

"Aduh bapak-bapak muji saya nanti saya terbang nggak ada yang nangkap," canda Sakha, yang disambut tawa menggelegar khas bapak-bapak.

"Tapi ya, nak Sakha," panggil Pak RT di saat tawa semua orang sudah surut. "Naraya memang nggak menerima satupun lamaran yang datang," katanya dengan serius.

Dalam hati Sakha sudah mencibir Pak RT habis-habisan. Seharusnya pria tua menyeramkan itu tahu mengapa Naraya ikhlas tak ikhlas menikah dengan Sakha. Sakha sendiri sangsi, andai dia setampan Nabi Yusuf Naraya belum tentu mau menikah.

"Memangnya kalian ketemunya gimana, sih?" tanya bapak lainnya. "Naraya itu kayak anak yang nggak pernah keluar rumah. Gimana bisa dia tiba-tiba menikah?"

Suara terbatuk menjawab pertanyaan si bapak. Bukan, bukan Sakha yang terbatuk melainkan Pak RT.

"Loh, pak? Minum dulu, nih."

Pak RT mengambil gelas yang disodorkan padanya dan langsung menegak setengah isi gelas tersebut.

"Kami ketemu di kota, pak." jawab Sakha santai, seolah tidak mengerti apa yang sedang dilakukan pak RT. "Dia nggak suka sama saya, tapi saya maksa sih. Jadi ya gini, deh." Sakha mengakhiri kebohongannya dengan tawa pelan.

Terlihat natural kan? Ucapnya dalam hati. Kata-kata itu ia tujukan pada pak RT yang tampak panik mendengar pertanyaan dan langsung merasa lega mendengar jawaban penuh kebohongan dari Sakha. Tentu saja terlihat natural, Sakha ini ahlinya berbohong.

"Omong-omong, pak. Saya boleh tahu tentang Naraya? Kami menikah mendadak, dan banyak yang ingin saya tahu tentang dia tapi saya terlalu segan buat nanya." Sakha beralasan panjang, tapi separuhnya benar kok.

Pak RT menatap Sakha tajam, tapi dia tidak mengatakan apapun. Malah bapak-bapak lain senyum-senyum sendiri mendengar pertanyaan Sakha.

"Kamu kelihatan mencintai dia, ya."

Sakha hanya tersenyum dan sesekali melirik pak RT yang hanya diam.

"Kami sendiri nggak tahu, cuma tiba-tiba dulu Bu Tias bilang dia punya anak angkat. Nah, anak angkatnya itu Naraya,"

Mata Sakha memancarkan kebingungan. "Bu Tias siapa ya, pak?"

"Dia pemilik asli rumah yang kalian tinggalin itu. Dia juga yang punya rumah kontrakan yang banyak itu. Nah, Naraya yang merawat rumah kontrakan itu sekarang sebagai ganti ibu Tias yang sudah nggak ada," jelas bapak lain.

Sakha terdiam, sibuk dengan pikirannya. Jadi itu benar-benar bukan rumah Naraya? Dan Naraya mengurus rumah kontrakan? Kenapa selama ini Sakha tidak tahu ya? Komunikasi mereka benar-benar kurang sekali.

"Tapi dulu Naraya itu aneh sekali," saut salah seorang bapak-bapak tiba-tiba, membuat atensi Sakha kembali mengarah pada kumpulan ini. "Saya ingat, sehari setelah Naraya datang, wajahnya itu kayak orang mati!"

Orang mati? Batin Sakha mengulangi ucapan bapak itu.

"Sudahlah!" potong pak RT cepat dan langsung membuat bapak-bapak itu terdiam. "Tidak baik membicarakan orang. Dan nak Sakha, ada baiknya mengenal Naraya dengan bertanya langsung. Bukan bertanya pada orang lain."

Detik itu Sakha tahu, bahwa pak RT mengetahui sesuatu yang sangat besar, yaitu rahasia sebesar gunung yang Naraya sembunyikan darinya.