"Kau pulang, nak?"
Ibu Lia tersenyum begitu melihat anaknya berkunjung ke rumah. Sudah beberapa pekan sejak mereka terakhir bertemu. Mereka pun berpelukan hangat.
Lia sendiri tinggal di kontrakan yang letaknya lebih dekat dengan agensinya. Alasan dia tidak tinggal di rumah orang tuanya karena itu terlalu jauh. Pekerjaan dia mengharuskan dia pergi ke sana kemari tidak menentu setiap harinya.
Jadi dia lebih memilih tinggal di kontrakan yang disediakan agensi. Sementara Diana yang dulu tinggal bersamanya sekarang sudah bisa membeli rumah sendiri dan meninggalkan Lia sendirian.
"Bagaimana kabar ibu?" Lia bertanya saat mereka melepas pelukan dan berjalan ke dapur di mana tadi ibunya sedang memasak.
"Ibu baik. Kau sendiri bagaimana? Tidak sakit, kan?"
Lia tersenyum menenangkan. "Aku baik-baik saja, Bu. Sehat dari ujung kepala sampai kaki."
Ibunya terkekeh geli pada lelucon garing putri semata wayangnya itu. Kemudian dia mendekat pada kompor, mengecek masakannya yang sudah mulai dia buat sejak sebelum Lia datang.
"Masak apa, Bu?" Lia bertanya dari meja makan. Kepalanya mencoba melongok, mengintip apa yang ada di dalam panci di atas meja kompor itu.
"Sayur sup. Tadi ibu juga sudah menggoreng tempe. Kau sudah makan malam belum?"
Lia menggeleng.
Tadi sehabis bertengkar habis-habisan dengan bosnya, dia langsung pulang ke rumah sang ibu. Pikirannya kacau sejak saat itu. Karena itulah dia sengaja berjalan kaki untuk menenangkan pikirannya di tengah angin malam yang dingin.
"Ya sudah, kita makan malam dulu." Ibunya mulai menatap nasi dan lauk pauk ke atas meja. Lia membantu dengan menata piring dan alat makan lainnya.
Sebelum memasukkan satu suapan pertamanya, Lia tiba-tiba menyadari sesuatu. Ada yang kurang di rumah itu.
"Ayah di mana?"
Ibunya menghela napas. Dia memaksakan senyum. "Masih belum pulang."
Ayah Lia sudah tidak ada kabar sejak tiga hari terakhir. Mereka tidak melaporkan ke polisi karena sosok kepala keluarga itu meninggal sebuah surat yang meminta agar tidak ada yang mencarinya. Dia bilang akan kembali tidak lama lagi.
Sayangnya ini sudah tiga hari, dan masih belum ada tanda-tanda kepulangan lelaki itu.
"Sudah coba ibu hubungi?" Lia bertanya gelisah.
"Sudah berkali-kali, Nak. Tidak ada satu pun pesan yang dibalas. Telepon juga tidak diangkat. Tadi sore bahkan nomornya sudah tidak bisa dihubungi. Sepertinya ponselnya mati," ibu Lia mencoba untuk tetap berpikir positif meski keadaan mereka sedang tidak baik.
Perempuan yang melahirkan Lia itu mencoba untuk sabar dan menunggu sampai suaminya kembali pulang.
Lia hanya bisa menggenggam tangan ibunya, memberi semangat tanpa kata. Karena dia tidak punya hal lain yang bisa dia lakukan pada keadaan itu.
Satu-satunya yang bisa mereka lakukan adalah menunggu.
Mereka pun melanjutkan makan malam.
"Bagaimana dengan pekerjaanmu?"
"Lancar," jawab singkat Lia. Dia tidak ingin membicarakan masalah pekerjaan saat ini karena masih teringat tentang ucapan bosnya tadi.
Ibunya tersenyum. "Kalau ada masalah, cerita saja pada ibu. Sekali pun belum tentu bisa membantu, ibu selalu bersedia mendengarkan ceritamu."
Lia mengangguk. "Tentu saja, Bu. Hanya ibu tempatku bercerita."
Dalam hati dia bersyukur karena memiliki ibu yang begitu baik dan mendukung dirinya dalam keadaan apa saja. Ibunya tidak pernah mengabaikan dirinya meski dia tidak mencapai ekspektasi sekali pun.
Di saat para tetangga membicarakan tentang kegagalan karirnya sebagai artis, ibunya tidak malu. Dia masih bangga dengan Lia tidak peduli dia tidak terkenal sekali pun.
Hal inilah yang membuat Lia tidak mau terlibat dalam skandal apa pun. Hati ibunya terlalu baik, dia tidak ingin menyakitinya.
Sekali pun tidak terkenal, dia ingin ibunya bisa membanggakan dirinya yang tidak terlibat dengan satu masalah pun sejak terjun ke dunia hiburan.
"Bagaimana dengan pekerjaan ibu? Lancar juga, kan?" Lia mengalihkan topik.
Ibunya langsung sumringah ditanyai itu. "Tadi jualan ibu habis."
Perempuan itu sangat senang kalau dagangannya bisa terjual habis. Selain karena dia bisa mendapatkan keuntungan, dia juga senang karena gorengan buatannya itu tidak sia-sia.
"Syukurlah kalau begitu," ujar Lia lirih. Dia sedih sebenarnya karena masih belum bisa menafkahi ibunya.
Sekali pun selama ini ayahnya masih tetap bekerja, tapi Lia selalu ingin menghasilkan banyak uang supaya ayah dan ibunya bisa bersantai di rumah saja tanpa perlu banting tulang.
Sayangnya dia sendiri masih kesulitan mendapatkan uang untuk biaya kehidupan sehari-harinya.
***
Tok tok tok
Ibu dan anak itu saling bertatapan, sama-sama tidak tahu siapa yang datang.
Kemudian sang ibu lah yang bangkit untuk membukakan pintu untuk si tamu di malam hari itu. Lia melanjutkan makan malamnya dengan tenang, mencocol tempe goreng pada sambal buatan ibunya.
Dia melirik ke belakang saat sadar ibunya belum juga kembali.
"Ada siapa, Bu?" seru Lia sambil berjalan menuju pintu utama.
Begitu sampai, di sana ibunya sedang berdiri kebingungan. Di hadapannya ada dua laki-laki berbadan besar dengan pakaian serba hitam. Mereka tampak menyeramkan.
"Mereka siapa?" bisik Lia sambil merapat ke samping sang ibu.
"Mereka mencari ayahmu," jawab ibunya yang tampak sedikit kebingungan.
Salah satu dari laki-laki itu bertanya, "Jadi di mana suami anda? Tolong kerjasamanya, jangan sembunyikan suami anda karena kami ada urusan dengan dia."
Mereka tidak menyembunyikan ayah Lia. Lelaki itu sendiri yang sudah menghilang selama tiga hari dan belum ada tanda-tanda kembali. Mereka tidak menyembunyikan siapa pun di sini.
Lia sendiri bingung harus menjawab apa pada kedua lelaki berbadan besar itu.
Lia pun bertanya, "Ada urusan apa kalau boleh tahu?"
"Bisa tolong panggil ayah anda lebih dulu?" Laki-laki itu meminta. "Sudah kami katakan berkali-kali, kami ada urusan dengan dia."
"Tolong beritahu kami saja ada urusan apa. Nanti saya sampaikan pada suami saya," pinta ibu Lia. Dia sudah pusing menghadapi kedua lelaki menyeramkan yang keras kepala itu.
Sejak tadi dia sengaja tidak mengatakan kalau suaminya minggat karena entah kenapa dia merasa malu. Dia tidak ingin ada yang tahu soal itu selain keluarganya saja.
Dengan enggan laki-laki itu mengalah. "Ini. Tolong serahkan ini pada suami anda secepatnya."
Lia langsung mendekat saat ibunya membuka sebuah amplop yang diserahkan laki-laki itu. Di dalamnya terdapat sebuah surat. Begitu lipatan suratnya dibuka, mereka berdua terkejut setengah mati membaca kata demi kata di dalamnya.
"A-apa ini? Apa maksudnya surat ini?" Sang ibu mendadak gagap saat bertanya.
"Itu jumlah hutang yang perlu dibayar suami anda," laki-laki itu menegaskan, "Totalnya 500 juta, sudah tertera dalam surat itu.
Lia membeku di tempat. Sementara tangan ibunya gemetar memegang surat hutang itu.
Lia bahkan tidak pernah melihat uang sebanyak itu. Lagi pula, apa yang ayahnya lakukan dengan semua uang itu?
Laki-laki itu menambahkan, "Jangan lupa untuk menyampaikan kepada suami anda secepatnya."
"Tapi …."
Kedua lelaki yang hampir pergi itu berhenti bergerak mendengar suara Lia. Mereka menatap gadis itu yang tampak ingin mengatakan sesuatu.
"Tapi apa?" tanya si laki-laki.
"Ayah saya pergi dari rumah tiga hari lalu."
Kedua lelaki itu saling menatap, lalu mengangguk seakan menyetujui sesuatu. "Kalau begitu pihak keluarga lah yang harus membayar hutang tersebut beserta bunganya."
Dunia Lia seakan runtuh saat itu juga.