webnovel

Modus Hans

Setelah berada di kamar dan sudah berbaring dengan nyaman, Naura malah tidak bisa tidur. Rasa mengantuk yang tadi sangat berat menggantung di matanya, kini hilang entah ke mana. Di kejauhan, terdengar suara tiang listrik dipukul 2 kali, artinya sekarang sudah jam 2 dini hari dan mata Naura masih terang menyala.

Naura bangkit dari kasur dan bermaksud ke dapur untuk mengambil air minum, tenggorokannya terasa kering. Setelah mengambil air di kulkas, dia duduk dan mulai meneguk isi botol yang baru dibukanya. Nyess! Rasanya dingin menyegarkan. Pandangannya tertuju ke pintu kamar belakang yang ada di sebelah dapur, mengapa pintunya terbuka dan lampu menyala?

Naura menepuk dahi. Dia lupa bahwa malam ini Sarah menginap di rumahnya. Sarah, menjadi salah satu nama yang menambah panjang daftar yang dibuat Naura tentang orang-orang yang sengsara setelah menikah. Dulu, siapapun anggota keluarganya pasti tahu bahwa Sarah adalah anak yang paling disayang. Tidak ada keinginannya yang tidak dipenuhi. Ini terjadi karena Sarah pernah sakit parah yang hampir merengut nyawanya. Sejak saat itu, dia menjadi putri kecil di keluarga Naura.

Terbiasa mendapat perhatian dan kasih sayang berlebih, Sarah menerima cinta Boby yang merupakan anak tunggal. Seperti yang sudah Naura perkirakan, mereka akhirnya saling berebut kasih sayang. Ditambah mama Boby yang selalu mencampuri setiap keputusan yang dibuat Boby, termasuk dalam rumah tangganya. Mamanya seperti tidak ingin lepas dari Boby, selalu mengikuti kemanapun anaknya pergi. Ini pula yang membuat Sarah marah karena dia tidak pernah punya privasi saat bersama Boby.

3 tahun menjadi nyonya Boby membuat Sarah kehilangan berat badan yang cukup signifikan, bukan karena diet tapi karena makan hati selama tinggal di rumah Boby. Dan puncak kemarahan Sarah diwujudkan dalam bentuk gugatan cerai tepat di hari ulang tahun pernikahannya yang ke-3. Tak butuh waktu lama, keputusan cerai sudah didapatnya. Namun Boby tidak ingin bercerai dari Sarah, dan sampai sekarang masih dalam proses naik banding. Ah, ribet sekali hidup kalian gara-gara pernikahan, batin Naura.

***

[ Pagi. Bisakah kita bertemu? Seperti yang kamu bilang kemarin, aku bisa menghubungimu untuk minta tanggung jawab. ]

Sebuah pesan di aplikasi hijau dari nomor tak dikenal masuk ke gawai Naura. Dahinya berkerut, siapa yang pagi-pagi mengirimi pesan spam begini?

[siapa ini? Dapat nomor saya dari siapa? ]

Karena penasaran, Naura membalas pesan itu. Ting! Sebuah foto dikirim sebagai jawaban. Naura membuka foto itu. seulas senyum tersungging di bibir tipisnya ketika melihat foto. Tergambar wajah seorang lelaki yang baru bangun dari tidur. Masih dengan rambut awut-awutan dan kumis tipis yang belum dicukur, mata sipitnya juga belum sempurna terbuka. Terlihat imut walau menyebalkan.

[ get it??? ] pesan tambahan masuk lagi ke gawai Naura.

[ Hari sudah terang. Mengapa masih ada hantu gentayangan? ] Naura mengetik sambil tersenyum.

[ What? Muka seganteng ini dibilang hantu? Ayo, pas ketemuan nanti, kuantar kamu ke dokter mata.] pesannya kali ini dibubuhi emotikon marah dan menangis.

Naura melanjutkan memasak sarapan untuknya dan Sarah. Diabaikannya gawai yang berbunyi lagi menandakan ada pesan masuk. Tak hanya sekali gawai berbunyi. Suara ribut ting ting ting memaksa Naura untuk meraih dan membukanya.

[ Jam 10 kutunggu di resto kemarin. Jangan telat dan harus datang ya! ] pesan yang sama dikirim lebih dari 10 kali.

Sepertinya lelaki yang satu ini sengklek, pikir Naura. Tapi mau tak mau dia harus datang karena sudah mengatakan akan bertanggung jawab. Jam di gawai masih menunjukkan angka 8. Aman, dia masih punya cukup banyak waktu.

***

Jam 10 kurang 5 menit, Naura sudah duduk di salah satu kursi resto cepat saji ini. Dia masih duduk santai, tangannya sibuk memegang gawai dan kepalanya menunduk. Dia sedang berselancar di dunia maya.

[ Ooiii, hampir jam 10. Kutunggu 10 menit. Bila dalam 10 menit kamu tidak muncul. Bye, lupakan permintaanmu untuk meminta tanggung jawabku. ] Send. Naura mengirim pesan ke Hans.

[ Sudah tiba di lokasi. Bentar, ngaca dulu karena mau bertemu bidadari. ] Pesannya langsung di jawab. Jawaban yang agak konyol untuk dua orang yang baru kenal. Hans, sesomplak apa kamu? Naura penasaran.

"Hai, sori. Aku langsung pesan tanpa nanya kamu dulu." Naura terlonjak kaget dan spontan menengadahkan kepalanya. Tiba-tiba Hans sudah berdiri di hadapan Naura dengan membawa nampan berisi makanan dari resto.

Tanpa diminta, Hans langsung duduk di depan Naura.

"Yuk, makan aja dulu. Setelah itu baru kita bicara. Aku laper banget." Hans bicara dengan mulut penuh berisi burger yang baru digigitnya.

"Main pesan aja. Kalo yang kamu pesan tidak sesuai dengan seleraku gimana?" Naura agak kesal dengan cara Hans yang terkesan kurang menghargainya.

"Kujamin itu sesuai seleramu. Kemarin kamu juga pesan menu yang sama, dan ternyata enak, emm." Hans terlihat sangat menikmati setiap gigitan.

Naura mengambil bagiannya. Benar! Ini adalah menu burger kesukaannya. Rupanya si Hans cukup teliti sehingga bisa tahu menu kesukaan Naura. Walau merasa aneh karena baru sekali ini dia makan dengan lelaki yang bukan karyawannya, berdua pula, tapi Naura mencoba untuk bersantai dan menikmati burgernya.

'Tunggu! Apa kemarin Hans melihatnya saat memesan makanan? Bagaimana dia tahu bahwa kemarin dia memesan menu yang sama dengan yang dipesan Hans sekarang?' Otak Naura dipenuhi tanda tanya.

"A, mengapa kamu meminta aku datang ke sini?" tanya Naura disela kunyahan mulutnya.

"Kan sudah kubilang, untuk minta tanggung jawabmu," jawab Hans tanpa melihat Naura. Matanya lebih tertarik melihat potongan burger.

"Separah apa lukamu? Tunjukkan buktinya supaya aku percaya," desis Naura kesal.

"Mau kubuka disini?" Hans meletakkan burgernya di piring, meraih tisu untuk membersihkan tangan dan memegang kaos yang menutup badannya.

"Gila! Tentu saja bukan dengan membuka kaos disini. Tunjukkan foto lukamu." Naura teriak tertahan. Sangat kaget melihat Hans hampir membuka bajunya.

"Aku belum memfotonya. Sekarang, antarkan aku ke dokter untuk memeriksa lukaku. Kamu harus tanggung jawab, karena aku sangat takut untuk datang ke dokter sendirian." Wajah Hans dibuat sememelas mungkin.

"Waktuku tidak sebanyak itu. periksalah sendiri. Setelah itu tagihannya tinggal kamu kirim ke aku, kuganti tagihannya." Naura mulai terlihat tidak sabar.

"Kalau untuk membayar dokter, aku bisa. Tapi aku nggak ingin datang ke dokter sendirian, aku takut." Hans merengek.

"Baiklah. Karena aku sudah berjanji, tunggulah. Sore nanti setelah jam kantor, kuantar kamu ke dokter." Naura memutuskan untuk mengalah.

"Yes! Aku jemput di kantormu ya?" Hans kegirangan.

"Nggak usah. Kamu kirim saja alamat dokter tujuanmu, kita ketemu di depan ruang prakteknya."

"Ogah. Aku minta dikawanin mulai dari berangkat," sambar Hans.

"Baiklah. Jemput aku jam 5 sore, tepat. Sedikit saja kamu terlambat, aku batal mengantarmu. Dah, makanku sudah habis. Aku pamit, ada hal yang harus kuselesaikan." Naura berdiri berjalan keluar resto meninggalkan Hans yang masih duduk meminum tehnya.

***

Hans sudah menunggu di lobi kantor Naura sebelum jam 5. Dia takut Naura benar-benar membatalkan janji mereka. Hans tersenyum geli. Permintaan untuk ditemani periksa ke dokter, hanya muslihatnya saja agar bisa lebih akrab dengan Naura. Untungnya ada temannya yang berprofesi sebagai dokter mau membantu, jadi ke sanalah sekarang Hans mengajak Naura.

Tepat jam 5 Naura muncul di lobi. Sepertinya dia atasan yang disukai bawahannya sehingga terlihat akrab. Dia berjalan keluar kantor dengan bercanda bersama-sama karyawan kantornya.

"Ra, aku sudah menunggu 2 jam. Yuk, kita berangkat." Hans menghadang langkah Naura. Teman-teman Naura menyingkir melihat ada lelaki yang menjemput bosnya.

"Mbak, ini klien kantor atau klien pribadi?" salah satu karyawannya menggoda.

"Bukan keduanya. Hanya orang lewat yang tidak sengaja kutubruk," jawab Naura cepat, kuatir karyawannya salah sangka.

"Sepertinya sudah akrab dengan Mbak Naura? Panggilnya 'Ra'," yang lain menimpali.

"Lha, kan namaku Naura. Wajar dong dia panggil Ra. Tenang aja kalian, aku masih seperti yang dulu," tegas Naura.

"Dah! Sana berangkat. Itu si Mas-nya sudah nggak sabar ngajak berangkat." Karyawan laki-laki menyuruh segera pergi.

"Oke. Aku duluan ya. Jangan lupa, persiapan event minggu depan dimatangkan lagi." Naura melambaikan tangan lalu beranjak mengikuti langkah Hans keluar kantor.

"Pake mobilmu ya. Tadi aku ke sini naik ojek online." Hans menadahkan tangannya ke depan Naura.

"Ngapain nadahkan tangan? Minta recehan?" iseng Naura.

"Weh! Kunci mobil mana? Biar aku yang bawa. Kamu boleh duduk manis di samping pak sopir yang sedang bekerja. Mengendali mobil supaya lancar jalannya," Hans menjawab dengan menyanyikan lagu anak-anak yang dulu sangat akrab di telinga Naura.

Naura melemparkan kunci mobil ke arah Hans. Lumayan, dia merasa bisa istirahat sejenak tanpa harus menyetir mobil. Mobil bergerak meninggalkan halaman kantor setelah Naura dan Hans masuk, bergerak perlahan menyusur tepi jalan raya. Naura melotot dan memandang heran, mengapa mobilnya berjalan seperti keong? Hans hanya nyengir dan tertawa melihat Naura melotot. Yes! Menang! Batin Hans.