webnovel

Hansamu Pradipta

Percakapan singkat antara Naura dan orang tuanya memberi dampak yang cukup signifikan ke dirinya. Pagi ini dia bangun dengan perasaan malas dan badannya lemas. Andai hari ini tidak ada event pernikahan, Naura lebih suka tinggal di rumah dan tidur seharian. Namun apa daya, pekerjaan sedang menanti untuk dituntaskan. Mau tak mau, Naura bangun dan segera bersiap menuju ke lokasi event.

Di tengah perjalanan ke lokasi event, perut Naura berbunyi nyaring, menagih haknya agar ditunaikan. Maka dengan setengah hati, Naura memasuki area parkir sebuah resto cepat saji. Dia tidak mungkin bekerja dengan perut keroncongan begini. Setelah memarkir mobil, dia berjalan cepat ke dalam resto.

Tadinya dia berniat memesan makanan 'take away', namun diurungkannya. Dia akan makan sambil memikirkan cara agar bisa menolak keinginan papa dan mamanya yang ingin menikahkan dengan segera.

Dengan nampan berisi makanan di tangannya, Naura memilih meja di pojok dekat jendela sehingga dia bisa menikmati pemandangan khas perkotaan di pagi hari. Lalu lintas yang padat dan lalu lalang orang berjalan tergesa-gesa menuju tujuan masing-masing. Ditaruhnya nampan di meja dengan hati-hati lalu menghempaskan badan di kursi.

Dengan pandangan menerawang keluar jendela, Naura mulai menyuapkan sarapan ke mulutnya. Apa yang harus dilakukannya agar papa dan mama bisa menerima keputusannya? Naura benar-benar tidak bisa mengikuti jalan pikiran orang tuanya. Mengapa harus menikah? Apa tujuan sebuah pernikahan? Bila memang alasan sebuah pernikahan adalah untuk menghasilkan keturunan penerus generasi, mengapa tidak mengembangkan teknologi bayi tabung sehingga lebih canggih dengan tingkat keberhasilan 99%? Atau cara yang sedikit lebih gila, menyewakan Rahim untuk mengandung bayi. Dan setelah bayi lahir, maka pemilik rahim dan pemilik bayi akan sama-sama diuntungkan. So simple, pikir Naura. Mengapa harus ribet diikat sebuah pernikahan yang ternyata malah menyengsarakan keduanya?

Bila tujuan pernikahan adalah saling melengkapi, Naura merasa bahwa dirinya sudah lengkap, dillihat dari sisi manapun. Dia punya pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup, dia punya rumah dan kendaraan untuk membuat hidupnya nyaman, dia punya teman-teman tempat berbagi cerita sehingga sama sekali tidak merasa kesepian.

'Cantik, ada telepon. Angkatlah.' Ringtone gawai yang berupa rekaman suaranya sendiri berbunyi. Ada telepon masuk. Wati, salah satu karyawannya menelepon.

"Ya Wat, ada apa?" Naura menjawab panggilan Wati.

"Sudah otw belum, Mbak? Ini mempelai ada tambahan permintaan. Ingin menambah tayangan video kompilasi perjalanan cinta mereka. Gimana?" Wati meminta pendapat Naura.

Naura menunduk, melihat jam mungil yang melingkar di pergelangan tangannya. Masih ada waktu 2 jam. Cukuplah untuk menambah tayangan video sesuai permintaan kliennya.

"Oke. Bilang ke Yan agar mengedit dan menambah video sesuai permintaan mereka. Setengah jam lagi aku tiba. Dah ya?" Naura menutup telepon.

Naura menghabiskan sarapan dengan cepat. Dengan sedikit tergesa dia mengambil tas, gawai, sedang tangan kanannya memegang gelas kopi yang masih berisi tiga perempat. Dia berdiri dan mengayunkan kaki keluar dari bawah meja. Naura memutar badan untuk keluar dari resto.

Tiba-tiba, bruk! Aduh! Waduh! Aw, panas … panas.

Gelas kopi di tangan Naura jatuh, isinya menyiram orang yang lewat di sebelah mejanya. Naura terpaku, tak bergerak juga tak bersuara. Sementara lelaki di depannya berteriak tertahan.

"Maaf, maaf … saya tidak tahu ada orang di sebelah saya. Aduh, bagaimana ini? Aduh, kemeja anda jadi kotor kena kopi saya." Naura ikut panik melihat lelaki di depannya kepanasan terkena tumpahan kopi.

"Duh, lain kali hati-hati dong, Mbak. Untung yang kena tumpahan kopi perut saya. Kalo lokasinya sedikit ke bawah, dan menimbulkan luka ataupun yang lain, apa Mbak mau tanggung jawab?" lelaki jangkung itu mengomel dan melotot pada Naura.

"Lha, kan saya nggak sengaja, Mas. lagian, kopi saya juga sudah nggak terlalu panas, kok. Nggak mungkin menimbulkan luka bakar ataupun luka yang lainnya. Tapi sebagai bentuk rasa tanggung jawab saya, ini kartu nama saya. Bila anda mengalami luka serius, bisa menghubungi saya di nomor itu. Saya akan bertanggung jawab sepenuhnya sampai anda sembuh kembali. Permisi, saya pamit dulu karena ada hal yang harus saya kerjakan." Naura menaruh kartu namanya di meja lalu mengangguk dan pergi meninggalkan lelaki itu termangu.

"Mbak, oooii, jangan songong dong." Lelaki bermata sipit itu berteriak memanggil Naura, tapi Naura tak menghiraukannya lagi. Pikirannya konsen untuk segera sampai di lokasi dan mengecek persiapan acara, waktunya tidak banyak lagi.

***

Naura berlari kecil masuk ke hotel tempat acara pesta dilaksanakan. Dia langsung menuju toilet untuk berganti baju. Setiap acara resmi seperti ini, Naura selalu menyiapkan pakaian khusus yang membuatnya tampil feminin. Berbeda dengan kesehariannya yang lebih suka berpakaian kasual dan tomboy.

Di depan kaca toilet, Naura merapikan make up wajahnya. Rambutnya yang sebahu diikat cepol ke atas, diberi pemanis pita dengan warna senada baju. Siip, penampilannya sudah sempurna. Naura siap untuk bertempur.

Masuk ke hall tempat acara, Naura segera berkeliling mengecek kesiapan semua kru. Setengah jam sebelum acara, semua persiapan sudah tuntas. Tinggal menunggu acara dimulai.

Naura mengambil posisi di depan, di sebelah kanan panggung. Matanya beredar ke segenap ruangan. Memastikan tidak ada yang salah.

Tamu-tamu sudah memenuhi ruangan, mempelai laki-laki dan perempuan juga sudah berada di pelaminan. Semua prosesi resmi sudah dilalui, tinggal acara ramah tamah. Bila sudah sampai di ramah tamah begini, artinya tugas Naura sudah selesai 80%. Maka dia berjalan keluar dari ruang pesta, ingin menghirup udara segar sejenak.

Naura duduk di lobi hotel. Dia tersenyum miring mengingat senyum bahagia mempelai yang bersanding di pelaminan. Mungkin mereka mengira akan selamanya tertawa bersama. Mereka tidak tahu bahwa perpisahan sedang menghantui hidup mereka. Mereka hanya akan menjadi raja dan ratu sehari. Setelahnya, mereka akan kembali ke dunia nyata yang keras.

"Big bos, masuk. Big bos masuk." Alat komunikasi internal di tangan Naura berbunyi memanggilnya. Big bos adalah kode ketika mereka sedang bertugas seperti sekarang ini.

"Ya, big bos di sini. Ada apa?" Naura menjawab.

"Keluarga mempelai ingin berfoto dengan big bos sebagai kenang-kenangan. Tolong segera mendekat ke panggung." Jawab orang di seberang handy talkie.

"Oke. Big bos meluncur ke lokasi." Naura masuk kembali ke ruang resepsi.

***

"siap? Satu dua tiga." Fotografer memberi aba-aba untuk pengambilan foto.

Sekedar menghormati dan memenuhi keinginan pengantin, Naura berdiri di sudut kiri untuk ikut sesi pemotretan. Di sampingnya berdiri anggota keluarga mempelai.

"Sekarang gaya bebas dong," lelaki disamping kanan Naura bersuara keras, membuat Naura sedikit terkejut dan spontan mengibaskan tangan ke arah suara.

"Hush, nggak usah ngegas. Tuh suara apa petir?" omel Naura.

"Hah?" lelaki itu menoleh melihat Naura. Naurapun melihat ke arah lelaki di sebelahnya. Kali ini Naura harus menengadahkan kepala karena orang di sebelahnya jauh lebih tinggi.

Blush. Naura merasakan mukanya memanas. Orang yang barusan diomelinya adalah orang tadi terkena tumpahan kopi di resto. Sama seperti Naura, lelaki itupun terbelalak melihatnya.

"Wah, ternyata Mbak datang ke sini. Teman Bayu atau Rara?" dia bertanya pada Naura.

"Teman keduanya," jawab Naura singkat.

"Saya Hans. Hansamu Pradipta. Nama kamu siapa?"

"Kan sudah saya kasih kartu nama, kok nanya lagi," Naura menjawab acuh.

Hans menepuk dahinya, "oh iya ya … eh, berarti kamu adalah pemilik wedding organizer yang menangani pernikahan saudaraku dong?"

"Ya gitu deh." Naura semakin malas menjawab Hans yang dirasanya bawel.

"Tunggu. Apa kita pernah kenal sebelumnya?" mata Hans mengamati Naura.

"Tidak. Maaf, saya masih harus mengurus yang lainnya. Permisi." Naura turun dari panggung dan menghilang di kerumunan tamu.

Hans menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia merasa pernah mengenal Naura sebelumnya, tapi entah di mana?

***

Naura melepas sepatu dan melemparnya ke rak di pojok teras. Membuka kunci pintu lalu berjalan masuk rumah. Dilemparnya tas ke kursi lalu melempar badannya ke sofa empuk di ruang tamu.

Badannya serasa remuk karena capek berkeliling seharian, tapi dia puas karena sekali lagi berhasil mengadakan pesta yang sukses. Pujian yang terus didengarnya dari para tamu dan keluarga pengantin, membuat capeknya menguap karena tunai dibayar dengan kesuksesan.

Naura memejamkan mata sejenak, mengusir penat di tubuhnya. Tanpa terasa sudah lebih dari tiga puluh menit dia tidur di sofa.

Tok! Tok! Tok!

Ketukan di pintu membangunkan Naura dari tidur.

"Siapa yang bertamu malam-malam begini." Batin Naura berkata. Dilihatnya jam di dinding, hampir jam 11 malam.

Dengan berat Naura membuka pintu. Sarah menyerbu masuk.

"Ada apa, Kak? Ngapain malam-malam kamu ke sini?" dipandangnya Sarah yang langsung meringkuk di sofa.

"Izinkan aku sementara tinggal di sini. Boby terus mencari dan mengangguku. Kemanapun aku pergi, dia bisa menemukanku dan memaksa untuk kembali ke rumah. Aku sudah tidak mau melihat mereka." Sarah berkata dengan emosi.

"Iya, iya …. Terserah kak Sarah aja deh. Dah, aku mau tidur. Capek, hari ini ada event. Kakak tidur di kamar belakang, ya?" Naura memilih mengalah. Berdebat dengan Sarah hanya akan membuatnya semakin lelah.

Tanpa berkata lagi, Naura masuk kamar dan menutup pintu. Sarah pun masuk ke kamar belakang setelah mengunci pintu. Malam semakin pekat menuju puncaknya.