"Di mana ini?"
Gumam Bima dalam hatinya. Matanya yang perlahan terbuka melihat tanah dan rumput yang berada di antara kedua pahanya.
Bima mengangkat kepalanya sedikit, namun matanya masih buyar. Belum dapat melihat jelas apa yang ada di depannya, apalagi ketika malam tengah menyelimuti. Kegelapan bagai tirai tipis yang menghalangi pandangan.
Lelaki itu berusaha untuk mengadaptasikan pandangannya, sembari menggerakkan tubuhnya yang tampak terbelenggu.
Ketika seluruh inderanya berangsur kembali dan dia bisa merasakan keadaan dirinya. Bima tersentak kaget.
Dirinya telah diikat di sebuah pohon. Sebuah pohon yang sangat dia kenal, karena kali ini dia dapat melihat kegelapan yang menghalangi pandangannya.
Itu bukan kegelapan, melainkan arwah para gadis korban yang berdiri mengitari pohon pinus. Salah satunya berdiri tepat di depan Bima. Berkomat-kamit tidak jelas, membuat pikiran Bima agak terganggu.
Suaranya lebih terdengar cepat dan lantang dibandingkan siang tadi. Bukan itu saja, Bima pun merasa kalau inten negatif yang dikeluarkan dari setiap mulut arwah tersebut lebih kental. Sehingga membuat tubuhnya terasa tertindih oleh sesuatu yang berat dan menusuk tulang.
Bima tidak dapat menghentikan tubuhnya yang mulai merinding. Otaknya dapat berpikir akan alasan para arwah tersebut menjadi lebih agresif. Hal ini sama terjadi seperti Lani di rumahnya.
Sosok pembunuh berada di dekat mereka. Dendam mulai keluar dari setiap lubuk jiwa mereka.
Bima yang harus mendengarkan suara dendam tersebut, mulai terpengaruh. Insting liar bagai mulai menggantikan otak logisnya.
Dia berusaha menekan pikiran negatif dalam dirinya. Lalu memikirkan untuk menjauh dari lingkaran arwah tersebut. Sayangnya, ikatan dia pada pohon terlalu kuat.
Bima lihat tali yang mengikatnya.
"!!"
Seketika melihat hal tersebut, cairan dalam perutnya serta merta naik ke dalam mulutnya.
"Bleergh! Aaa... fu*k!"
Apa yang mengikatnya bukanlah tali atau kawat. Bima bahkan tidak mau memikirkannya karena membuat otaknya otomatis menolak kenyataan.
Pertanyaannya sekarang, darimana iblis itu mendapatkan hal ini?! Karena yang mengikatnya itu hanya ada dalam tubuh manusia!
Ketika Bima berteriak histeris dalam hatinya. Di tengah suara komat-kamit para arwah yang memusingkan, dia samar mendengar suara tawa seorang laki-laki.
Suara yang terdengar tidak jauh darinya. Arwah di depan menghalangi pandangannya, oleh karenanya Bima menggeleng-gelengkan kepalanya dengan cepat, membuat kacamata bulat di depan mata turun hingga menggantung di ujung hidung.
Membuat mata telanjangnya hanya dapat melihat satu dunia saja. Yang mana kini dia dapat melihat sosok lelaki di depan sana, di tempat yang dikelilingi oleh garis polisi, tempat terkuburnya para korban. Lelaki itu, tengah memeluk kepala seorang wanita yang telah terlepas dari badannya.
Lelaki itu tertawa, mencium hingga menjilati kulit wajah wanita itu bagai sebuah permen. Membuat Bima kembali ingin mengeluarkan cairan dalam tubuhnya. Namun dia berhasil menahan, tapi hasilnya dia tersedak dan terbatuk-batuk. Membuat suara lantang di tengah kegelapan, menyadarkan si Penjagal dari kesenangan pribadi.
"Hehehe, kau sudah sadar."
"...hah?"
Penjagal itu semerta berdiri, sambil memeluk kepala di badannya. Berjalan hingga ke depan Bima, lalu menyodorkan kepala itu tepat di depan wajah Bima.
"Sekarang, beritahu aku. Apa dia senang? Apa dia menderita? Katakan padaku, apa yang dia rasakan sekarang? Apa dia menangis? Apa dia tertawa? Hehehe, kau tahu... aku cinta. Aku cinta sama semua ekspresi mereka. Berbeda sekali dengan ternak, mereka lebih ekspresif, lebih nikmat, lebih menggairahkan! Hey hei, beritahu aku... apa yang mereka inginkan?"
"...Kau sudah gila..."
"Gila? Tidak, tidak, tidak, TIDAK! Aku tidak gila! Ini normal, ini cuma hobi, seperti orang yang suka boneka. Aku juga cuma, mengambil sedikit mainan yang ada di jalanan. Apa itu itu tidak boleh? Kenapa? Toh, mereka menyerahkan diri mereka."
"...apa yang kau bicarakan ini?"
"Hehehe..."
Penjagal itu lalu menusuk-nusukkan pisau daging besarnya ke tanah. Tampak sedang berpikir, lalu kepala yang ada satu tangannya makin didekatkan hingga bibir wanita itu mengecup bibir Bima.
"!!"
"Gimana? Sama kayak boneka, kan? Tapi lebih manis, hehe~"
"Fu*k you!"
Dengan sekuat tenaga, Bima tendang lutut Penjagal di depannya. Membuat pria buncit itu agak miris kesakitan, lalu menatap kembali ke Bima. Namun kali ini dengan tatapan yang lebih menyeramkan. Bagai seekor predator melihat mangsa.
Penjagal itu melepaskan pisau daging di tangannya, lalu menekan kepala Bima ke batang pohon. Dia kembali bertanya tentang perasaan arwah wanita yang baru saja dibunuhnya. Sambil mendorongkan kepala wanita itu terus ke wajah Bima. Menekankannya ke pipi lelaki itu dengan kuat.
Bima tidak menjawab. Atau lebih tepatnya dia tidak mampu menjawab karena tekanan yang diberikan oleh si Penjagal membuat suaranya tidak keluar.
Ketika Penjagal itu mulai kehabisan kesabaran. Dia buang kepala wanita di tangannya, lalu mengambil pisau daging yang tadi dilepasnya.
Bima panik, berusaha menendang pisau daging yang tergeletak di tanah. Ayal kakinya tidak sampai, sehingga dengan pasrah dia hanya bisa melihat pembunuh di depannya memungut pisau tersebut. Menggenggam satu kakinya, lalu mulai mengayunkan pisau untuk memotong kaki kanannya.
"ANJINGGGG!"
"KYAAAAKKKKKK!!!"
Seketika Bima berteriak mengutuk. Para arwah di sekitarnya seketika berteriak melengking. Suaranya sangat nyaring sehingga membuat kepala Bima bahkan si Penjagal tertegun. Dunia bagai meliuk, membuat Bima tidak dapat menahan cairan dalam perutnya keluar lagi.
Sedangkan si Penjagal menjatuhkan pisau daging yang lalu menancap tepat di sela-sela selangkangan Bima. Hanya beberapa senti lagi, pisau itu mungkin menikam langsung ke bagian terpenting bagi dirinya yang seorang lelaki.
Bima mengumpat dalam hati, sembari kedua tangan berusaha meraih gagang pisau. Dalam keadaan dunia bagai terombang-ambing. Bima berusaha sebisa mungkin memotong ikatan yang melilitnya ke pohon.
Ketika berhasil lepas. Dia ingin segera berlari. Bima berdiri, namun kakinya digenggam oleh si Penjagal. Membuatnya tersandung dan menggelinding beberapa meter ke bawah.
"Argh!"
Bak!
Tubuhnya seketika terhenti setelah terbentur oleh sesuatu hal. Ketika Bima berpaling, dia melihat tubuh petugas yang telah tidak bernyawa.
"! Shit! Shit! Shit!"
Bima duduk merangkak mundur dengan cepat. Namun semakin jauh, dia malah semakin banyak melihat tubuh para petugas yang terkulai lemas. Bukan itu saja, tangan dan bagian bawah tubuhnya pun kini telah basah oleh sesuatu yang tidak mengenakkan.
Darah telah menyerap ke tanah dan menggenang di beberapa bagian. Membuat Bima kembali harus menahan isi perutnya keluar. Entah apa dia masih punya isi di dalam perutnya itu.
Bima semerta menoleh ke tempat Penjagal berada. Pemandangan di depan sana membuat Bima termangu dan membeku.
Pria buncit itu kini dikelilingi oleh para arwah wanita. Mereka terbang dan menempel di tubuhnya. Menyuarakan dendam langsung ke telinga si Penjagal.
Terlihat jelas Penjagal itu mengamuk. Dia mengayunkan pisau dagingnya ke sana kemari tanpa arah. Tampak ingin menebas siapapun yang sedang berbisik di telinganya.
Tubuhnya terasa sangat berat. Tenaga bagai monster yang dimilikinya seakan berkurang drastis, membuat Penjagal itu tampak berada dalam suatu penderitaan.
"Aaaargh!"
Teriak Penjagal tersebut, memaksakan tubuhnya berdiri dengan tegap. Dia tidak dapat melihat makhluk astral. Namun saat ini dia dapat merasakan banyak hal yang sedang menindih dirinya.
Kedua mata liarnya seketika memicing ke tempat Bima berada. Dia menyeringai lebar, melihat orang yang dapat memberikan penjelasan tentang kondisinya saat ini.
"A-Apa mereka sedang bersamaku? Apa mereka mencintaiku? Hehe, hei... beritahu aku..."
Tuturnya yang mulai berjalan mendekat kembali ke arah Bima.
Bima kini melihat suatu teror sedang mendatanginya. Penjagal yang bak monster itu dari matanya terlihat telah memiliki belasan bayangan hitam di sekitarnya. Bagai sebuah mantel kegelapan yang membuat auranya menekan siapapun yang ada di dekatnya.
Keringat dingin mulai mengalir deras. Bima berdiri dan berlari secepat mungkin. Melarikan diri tanpa arah di tengah hutan yang menutupi sinar rembulan.
"Haa... haa... haa..."
Secepat apapun dia berlari. Suatu teror yang mengancam tetap mengekor di belakang. Sangat dekat, bagai sabit sang pencabut nyawa telah ada di lehernya.
"BERITAHU AKU!!!"
"!"
Teriakan lantang mengagetkan Bima. Membuat kakinya kehilangan keseimbangan, dan dia pun terjatuh ke permukaan tanah.
Ketika Bima membalikkan badannya, dia melihat Penjagal melompat dengan pisau daging mengarah ke tubuhnya.
Secara refleks Bima memiringkan tubuhnya, membuat pisau tersebut menancap tidak jauh dari pundak kirinya. Bima yang terlepas dari ancaman sesaat, semerta menendang bagian sisi perut dari Penjagal. Namun bagai sebuah batu, malah kakinya yang sakit.
Penjagal itu hanya terkekeh, menyeringai lebar dengan air liur yang menetes dari sela-sela gigi.
Bima mencoba memukul kepala dari musuhnya itu beberapa kali. Tapi bagai tiada guna. Yang ada, dia melihat pria buncit itu mengangkat kembali pisaunya, hendak memotong satu tangan Bima.
"Beritahu, oke? Kau mengerti, kan? Apa mereka mencintaiku? Mereka menyayangiku, ya, kan?"
"..."
Jangankan menjawab, pikiran Bima saat ini hanya penuh oleh cara bertahan hidup!
Swing!
Bagai melihat sabit malaikat kematian. Bima melihat kilau pisau si Penjagal mulai meluncur. Bima menahan napasnya, waktu sungguh terasa lambat. Ketika pikirannya telah merasakan pisau tersebut memenggal tangannya. Seketika suara tembakan menyadarkannya dari ilusi waktu.
Bang!
Sebuah peluru melesat menembus pundak kanan si Penjagal. Membuat genggaman pada pisaunya lepas.
Bima yang melihat pisau tersebut itu kini terjun bebas ke arah kepalanya, langsung meringkuk sambil melindungi kepala dengan kedua tangan. Untungnya, pisau itu jatuh dan menancap tepat di belakang punggungnya.
"..."
Bima kehilangan kata-kata. Dia merasa baru saja terlepas dari dekapan kematian.
"Bobby! Angkat tangan!"
Tiba-tiba suara seorang wanita terdengar menggelegar menggemparkan keheningan hutan. Menyertai suara wanita tersebut, suara beberapa langkah kaki pun terdengar dari kejauhan.
Bima kenal suara tersebut.
'Tiara!'
Di lain pihak, Penjagal yang tertembak sama sekali tidak menuruti perintah Tiara. Dia malah semakin mengamuk. Matanya semakin liar, ketika melihat Tiara di depannya, dia berlari kencang menerjang perempuan tersebut.
Bang! Bang!
Tiara menembakkan pistolnya dua kali. Namun entah bagaimana, seperti tiada guna. Monster tersebut tetap berlari lalu memukul wanita tersebut sehingga terjungkal.
Bima tertegun melihat hal tersebut.
"Tiara!!!"
Teriak Bima, yang kemudian dibalas oleh teriakan lain.
"BIMAAA!!!"
"???"
"Tangkap ini!"
Oki yang tiba di lokasi langsung saja melemparkan sebuah cermin ke tempat Bima.
Bima tangkap cermin tersebut. Lalu bagai suatu sihir, dia seketika menerima suatu memori asing ke dalam otaknya. Memori yang membuat Bima tertegun tidak percaya.
Namun untuk sekarang, dia sangat berterima kasih kepada memori asing tersebut. Bima seketika menyayat sedikit kulit jarinya pada sisi tajam pisau di samping. Lalu meneteskan darah pada permukaan cermin.
Setelah itu dia balikkan cermin. Membuat pantulan cermin memperlihatkan sosok si Penjagal.
"O cermin Dewa Kala yang menjembatani dua dunia. Di sini kupersembahkan rakyatmu yang tersesat. Silahkan ambil dan berikan mereka tempat yang sesungguhnya!"
Cermin seketika bercahaya. Arwah para wanita pendendam itu seketika tersedot ke dalam cermin. Termasuk suatu bayangan gelap dari dalam tubuh si Penjagal. Angin berhembus kencang, menerbangkan daun-daun kering. Membuat orang-orang yang datang terkejut melihat pemandangan di depan mereka.
Setelah semuanya terhisap. Cermin itu meredup dan kembali ke sedia kala.
Bobby si Penjagal yang hendak mencekik mati Tiara seketika kehilangan seluruh tenaga dan tergeletak begitu saja di permukaan tanah. Darah dari tiga luka tembak pun akhirnya keluar, membuat nyawa si Penjagal puluhan manusia itu tidak dapat tertolong.
Teror si Penjagal dalam kegelapan pun berakhir. Bima yang merasa beban teror menghilang dari pundaknya serta merta terbaring lemas. Seluruh tenaga telah tiada. Dia ingin tidur. Mengharapkan kalau semua ini hanyalah sebuah mimpi buruk belaka.
"Bimaaa..."
Suara panggilan temannya itu adalah suara terakhir yang diingatnya malam itu.