Dalam pelukan laki-laki asing yang baru ia temui seharian ini, Naya nyaris saja berontak dan mendorong dada bidang di depannya. Jika saja kedua tangan Bentala tidak menahan kepala dan punggung Naya dengan erat.
"Diam, jangan ngelawan. Ini buat kebaikan kita berdua," bisik Ben tepat di telinga kiri Naya sehingga gadis itu merasakan kegelian yang tak wajar.
Seperti darahnya mulai berdesir sampai ke perut.
"Mama kamu datang Nika," lanjut laki-laki itu masih dengan posisi mendekap Naya.
Gadis itu belum sempat menjawab, tapi telinganya jelas mendengar suara pintu kamar yang dibuka dengan kasar bebarengan dengan keteplak suara sepatu hak tinggi. Dan saat Bentala melepaskan pelukannya, secara alamiah Naya mundur dan menjaga jarak dengan laki-laki itu. Benar saja, di kamar besar tersebut seorang wanita berkonde dengan wajah antagonis sudah berdiri di sana.
"Loh, Ben ... kamu masih di sini ternyata?" tanya Ratih—mama Nika.
Naya tampak kikuk di antaranya, gadis itu hanya menggaruk ujung telinganya yang masih terasa geli karena helaan napas Bentala tadi.
"Tante kira kamu udah pulang bareng rombongan, ternyata masih di sini."
"Saya mau minta izin untuk bawa Nika buat makan malam di luar, Tan."
"Makan malam?" ulang Ratih dan mendapatkan anggukan dari Bentala dengan sopan.
"Kami berdua sekalian mau bahas persiapan pernikahan nanti."
"Oh, tentu aja boleh," balas Ratih cepat, "nggak usah izin, kalian sudah sama-sama dewasa, Tante percaya kalian bisa jaga diri masing-masing, iya, 'kan, Nika?"
Bersamaan dengan pertanyaan mendadak yang ditujukan kepada gadis yang masih membeo di sana. Naya berhenti menggaruk ujung telinga, ia menggigit pipi bagian dalamnya dan menatap Ben yang memberikan anggukan sangat tipis kepadanya.
"I-iya," balas gadis itu lugu.
"Kalau gitu, aku tunggu di luar. Jangan lama-lama," ujar Ben kepada Naya sembari melangkah pergi setelah menyempatkan untuk menganggukkan kepala kepada Ratih.
Langkah panjang laki-laki itu masih menyita fokus Naya sepenuhnya, sampai kemudian pintu kamar itu tertutup secara perlahan dengan Ben yang masih menatap ke arahnya dengan tatapan datar. Naya juga tau kalau laki-laki itu sedang memberikan isyarat kepadanya agar bergegas untuk keluar, tapi jujur saja Naya mulai merasa tidak nyaman dengan situasi ini. Meski ia telah sepenuhnya sadar bahwa raga yang ia naungi saat ini adalah tubuh Nika.
Akan tetapi, terjebak di situasi pertunangan dan bahkan pernikahan kata Ben. Karakter baru yang jelas tidak ia kenali, orang-orang asing yang sepertinya sangat berbeda jauh dengan dirinya sebagai Naya. Gadis itu mendadak merasa pesimis. Hingga sebuah tamparan mendarat di sebelah pipi kanan Naya dengan sangat mulus.
Cukup kencang, bahkan sekarang kepala Naya terasa pening dalam sesaat. Gadis itu kontan menatap wanita paruh baya dengan lipstik merah tebal dan dandanan yang elegan penuh tanya sambil memegangi pipi yang perih.
"Udah gila, ya kamu?" murka Ratih kepada anak perempuannya itu, "sengaja ya, tadi kamu mau bikin Mama malu di depan semua tamu undangan? Berhenti bersikap kekanak-kanakan, Nika!"
Tanpa sadar, secara alami karena merasakan sakit di pipi juga karena bentakan keras dari Ratih, sepasang mata Naya sudah memerah, nyaris berair dan dalam satu kedipan saja. Sudah dapat dipastikan air mata akan mengalir melewati pipinya. Maka Naya sebisa mungkin bertahan untuk tidak berkedip di depan wanita paruh baya itu.
"Inget, kamu nggak pernah punya pilihan Nika. Selesaikan pernikahan kamu dan Ben secepatnya, kalau kamu nggak mau Mama ikut campur lebih jauh lagi, paham?" tanya wanita itu masih menatap Naya dengan tatapan tajam.
Begitu mendapat anggukan dari Naya, Ratih berbalik dengan cepat dan meninggalkan anak perempuannya di dalam kamar. Namun, wanita itu berhenti tepat di depan pintu sebelum sepenuhnya keluar.
"Cepat ganti baju, Ben udah lama nungguin kamu."
Bersamaan dengan kalimat dari Ratih berakhir, pintu tertutup rapat. Sehingga dalam sedetik itu Naya menjatuhkan tubuh lagi di atas sofa dengan isakan kecil.
Dunia seperti apa lagi yang akan ia jalani kali ini? Baru saja ia menginjakkan kaki di kamar Nika, cacian serta tamparan sudah Naya dapatkan. Lantas, besok bagaimana?
Dering panjang dari ponsel Nika membuat Naya menghentikan tangis sebentar, ia menatap nama Ben tertera di sana dan segera mengangkat panggilan tersebut. Begitu ponsel menempel di telinga kirinya, Naya mulai menjawab ...,
"Iya-iya! Aku turun sekarang!" sentak gadis itu tanpa sadar langsung memutuskan sambungan telepon secara sepihak.
Sedangkan di dalam mobil yang masih terparkir di area parkir keluarga Ratih itu, Bentala lagi-lagi mengerutkan dahi menatap layar ponsel yang sudah menghitam. Laki-laki itu memiringkan kepala tampak berpikir keras.
"Apa-apaan ini?" gumam Bentala, "kayaknya dia bener-bener lagi sakit."
***
"Tahun depan?" kedua mata Naya nyaris saja melompat dari tempatnya saking terkejutnya dengan dengan ucapan Bentala barusan.
Gadis itu kontan melambaikan kedua telapak tangan sambil menggeleng. "Nggak! Nggak mau," tegas Naya.
"Ini aja udah Agustus, berarti empat bulan lagi? Nggak mau, lagian—"
"Lagian kenapa?" potong Bentala membuat Naya menghela napas panjang sambil meletakkan kepalanya di atas meja makan yang masih kosong.
Pada akhirnya Bentala membawa Naya ke sebuah restoran sushi besar yang tentunya belum pernah Naya masuki sebelumnya.
"Semakin cepat pernikahan kita berlangsung, mama kamu nggak akan curiga atau berani nyakiti kamu lagi," jelas Bentala.
Sedangkan Naya masih bungkam, bingung dengan situasinya saat ini.
"Aku juga nggak suka dengan perjodohan konyol ini, tapi semakin kita menolak, semuanya malah makin runyam. Jadi, kali ini aja, Nika." Laki-laki itu terdengar menghela napas panjang.
Sesaat kemudian menarik sebuah amplop cokelat besar dan selembar kertas dari sana. Kemudian diletakkan benda itu di atas meja bersamaan dengan bolpoin yang sukses membuat Naya mengangkat kepala menatap benda tersebut dan Bentala secara bergantian.
"Pernikahan Kontrak?" cicit Naya hampir tak terdengar.
"Seperti yang kamu mau, 'kan?"
Naya menunjuk dirinya sendiri mendengar ucapan Bentala.
"Baca dulu, kamu boleh tambahin atau kurangi poin lain. Kesepakatan ini harus kita putusin berdua secepatnya," jelas Bentala lagi.
' Jadi, Nika alias pemilik tubuh ini juga nggak setuju sama pernikahan ini? Tapi, beneran, Nika menyetujui pernikahan kontrak kayak gini? Ini bukan novel atau serial film,' kan?' batin Naya menimbang.
"Jadi, Nika sendiri yang menyarankan pernikahan kontrak ini?"
Bentala tak menjawab, ia berdehem pelan mendengar pertanyaan Naya yang agak aneh didengar. Seolah-olah ia sedang mewakili Nika padahal dirinya sedang berhadap-hadapan dengannya.
"Habis ini, kita langsung ke rumah sakit," ujar Bentala, "kamu pasti beneran sakit."
Selang beberapa detik kemudian saat Naya masih menatap isi surat kontrak tersebut dengan pikiran bercabang, dan Bentala yang sedang menyadarkan punggungnya ke sandaran kursi. Makanan yang dipesan oleh Bentala datang.
"Silahkan," ucap Si Pelayan dengan sopan.
Bersambung ....