webnovel

03. Surat Kontrak dan Pelukan Pertama

"Kamu yakin nggak mau ke rumah sakit?"

Wanita yang baru saja keluar dari kamar mandi itu nyaris saja terjengkang saat melihat Bentala sudah bersandar di balik pintu kamar. Sontak saja Naya menoleh ke arah pria itu dan menatapnya kikuk.

"Enggak, nggak perlu. Saya baik-baik aja, kok." Kedua alis Bentala menyatu mendapati reaksi Nika yang terlihat sangat ramah dan hangat.

Seolah-olah Nika sangat menghormatinya sebagai tunangan, tak seperti sebelumnya. Nada bicara yang ketus, lengkap dengan tatapan dingin dari sepasang matanya yang tajam.

"Yakin?"

Wanita itu Cuma mengangguk, sambil berjalan ke arah mini sofa yang berada di dekat jendela kamar. Ia sudah berganti pakaian dan menghapus make up di wajah.

"Harusnya dia nggak masuk kamar orang sembarangan, 'kan?" gumam Naya sesaat, selalu saja ia lupa bahwa tubuh yang ia singgahi kini bukanlah miliknya.

"Ah, bener juga, kamu ini Nika, tunangan Bentala, Nay!"

Melihat gelagat wanita yang sudah berstatus menjadi tunangannya yang tampak tak seperti biasa, akhirnya Bentala mendekati Naya.

"Barusan kamu bilang apa?"

"Ha, enggak ... bukan apa-apa," kekeh Naya, "ada apa? Kok ke sini lagi?"

Bukannya mendapat jawaban dari Bentala, kini pria itu justru menatapnya dengan pandangan yang tak bisa diartikan oleh Naya. Sehingga gadis itu kikuk sendiri, tak tau harus bersikap seperti apa. Lagipula Naya bodoh sekali mempertanyakan hal ini pada tunangannya sendiri.

Manalagi semua ini terjadi secara mendadak dan tiba-tiba, Naya sungguh tidak menyangka akan memiliki tunangan dalam waktu semalam. Naya juga sangat tak menyangka bahwa mulai hari ini kehidupannya akan berubah sepenuhnya menjadi sosok yang sangat asing untuk Naya.

Meski terlalu banyak pertanyaan bercabang dalam kepalanya, Naya tak tau harus menanyakan hal ini kepada siapa dan bagaimana. Orang-orang pasti akan menganggapnya gila.

"Kamu serius nggak apa-apa? Hari ini kamu nggak kayak biasanya," ucap Bentala.

"Daripada kamu nawarin saya ke rumah sakit, mending kita lanjutin pembahasan tadi siang," tawar Naya.

Ia bahkan menatap pria yang duduk di depannya dengan sangat tenang. Dan, hanya berselang sedetik kemudian, Naya cengo menatap selembar kertas kosong beserta pulpen yang di letakkan di atas meja oleh pria bernama Bentala yang kini telah resmi menjadi tunangannya.

Ah ... Lebih tepatnya tunangan Nika.

Gadis itu kemudian menatap Bentala sebentar sebelum kembali menatap kertas kosong yang baru saja diletakkan di atas meja.

"Sekarang kita bisa bahas soal kesepakatan yang kamu mau," ucap Ben sambil menggulung lengan kemeja putihnya sampai sebatas siku, dan membuka dua kancing teratas kemejanya.

"Kesepakatan?" tanya Naya heran.

Mereka baru saja menyelesaikan acara tunangan dan tukar cincin yang disaksikan oleh seabrek tamu undangan. Dan Naya tau pasti, bahwa seluruh tamu undangan itu bukanlah orang biasa. Naya juga tau bahwa keluarga ini, pasti termasuk golongan orang berada. Itu semua sudah terlihat jelas saat ia menyadari kamar yang menjadi miliknya lebih luas daripada kamar kos-nya sendiri.

Dan lagi meski hanya sebuah acara pertunangan yang katanya sederhana, namun deretan mobil mewah, setelan jas dan gaun berkilauan, serta beraneka ragam makanan mewah tersedia. Acara yang digelar dalam sebuah gedung besar itu sukses membuat Naya membatin dan terus menciptakan tanya baru dalam kepalanya. Sejujurnya, sosok seperti apa Nika? Pemilik tubuh yang kini ia tinggali.

Naya ingat, ia nyaris saja melarikan diri ke arah meja tempat segala perjamuan tamu di sediakan. Hampir saja Naya ikut menyantap menu-menu yang sebelumnya jelas tak sanggup ia beli dengan uang jajannya. Namun, beruntung Bentala dengan sigap menggaet lengan Naya sambil menatap gadis itu dengan pandangan yang ... Dingin, yah seperti itu.

"Nika?"

"Ha? Iya?" Ia menelan salivanya kasar dengan keterkejutan yang sukses melenyapkan seluruh lamunannya tentang pesta pertunangan tadi siang.

"Gimana?" tanya Naya sekali lagi.

Bentala yang sejak pagi tadi mendampingi wanita itu juga, kini masih duduk sambil melipat tangannya di dada. Sudah nyaris dua tahun ia mengenal Nika, wanita perfeksionis yang dingin dan kaku. Yang bahkan enggan untuk menatapnya saat bicara, seolah-olah Bentala adalah musuh terbesar dalam hidup Nika, terlebih saat kedua belah pihak keluarga telah mendeklarasikan rencana pertunangan antara mereka berdua. Bentala rasa, Nika bisa saja membunuhnya hanya dengan tatap mata yang sanggup menguliti lawannya itu.

Padahal, Bentala sendiri juga tak menghendaki perjodohan bodoh yang dilakukan hanya untuk menyelamatkan perusahaan kedua belah pihak keluarga ini. Sebisa mungkin Bentala berusaha menghindari pertemuan dengan Nika karena ia menghargai perasaan wanita itu.

Hanya saja, pagi ini saat ia melihat Nika terbangun dari pingsannya sebanyak dua kali, juga dengan bagaimana reaksi wanita itu di acara pertunangan tadi, Bentala cukup bingung dengan perubahan sikap Nika yang cukup, ehm ... manis dari pada biasanya.

"Kita bikin kesepakatan pernikahan."

"No, Om. Jangan bahas itu dulu, say—"

"Om?" potong Bentala menegakkan posisi duduknya sehingga sukses membuat Naya menggantungkan kalimatnya.

Wanita yang rambutnya masih setengah basah itu menggigit pipi bagian dalamnya gemas. Bingung juga bagaimana ia harus memanggil pria di depannya itu.

"Ehm, saya Cuma mau menjaga sopan santun, nggak nyaman kalau saya yang baru dua puluh tahun manggil kamu seenaknya."

"Dua puluh tahun apanya?" ucap Bentala, pria itu tertawa kecil, "gini ya, cara baru kamu menentang kondisi kita sekarang?"

Naya buru-buru menggerakkan kesepuluh jarinya dengan bebas. "Bukan, enggak gitu, Om ... eh, maksud saya, Mas?"

Naya kembali menciut, ia bahkan mengucapkan panggilan terakhir itu dengan sangat lirih dan tatapan tertunduk karena takut salah lagi di mata Bentala.

'Bener, ini pasti akan lebih rumit. Aku bahkan nggak bisa jelasin semuanya ke laki-laki ini,' batin Naya.

"Panggil Ben, aja. Aku dua puluh delapan tahun, dan kita Cuma selisih empat tahun," jelas Bentala kemudian membuat Naya hanya sanggup menganggukkan kepalanya pelan.

Hanya sedetik, sebelum kemudian wanita itu membulatkan kedua mata diiringi bibir yang terbuka.

"Apa? Tiga tahun?" tanya Naya, "berarti aku ... dua puluh empat?" ulang Naya.

Tak ada reaksi lain yang ditunjukkan Bentala selain kedua alis yang menyatu dan dah yang saling bertaut heran. Sungguh, wanita yang kini sedang ada di depannya tak seperti seseorang yang pernah ia temui.

Menyadari tatapan aneh yang ditujukan Bentala kepadanya, Naya kembali tenang. Atau lebih tepatnya, mencoba untuk tenang dan mengingat bahwa kini hidupnya bukanlah sebagai Naya.

'Oke, tenang. Inget, Nay. Kamu Nika sekarang,' batinnya lagi.

"M-maaf, kayak yang tadi saya bilang ... anggap aja saya amnesia atau semacamnya," jelas Naya, "jadi, gimana tadi? Apa yang perlu kita bahas?"

Setelah mengucapkan kalimat itu, Bentala tak langsung menjawab pertanyaan Naya. Pria itu beranjak dari kursi dan turut menarik Naya dalam pelukannya sehingga dengan keterkejutan itu, tubuh Naya sepenuhnya menegang dalam pelukan Bentala.

"Diam, jangan ngelawan. Ini buat kebaikan kita berdua." Bentala menbisikkan kalimat itu tidak tepat di telinga Naya.

Bersambung ...