webnovel

Serba Salah

Nakula membawa Jane masuk ke apartemen barunya. Terdiri dari dua kamar saja, sangat cocok untuk pekerja single seperti Jane.

"Kau suka tidak apartemen ini?" tanya Nakula. Dia sangat yakin sekali kalau Jane akan menyukainya.

"Suka. Bagus juga, Nakula."

Jane masih membawa matanya menyisir setiap detail istana baru. Dominasi warna putih, membuat tampak sederhana, namun masih terlihat elegan.

"Kalau sama aku?" tanya Nakula lagi.

"Kau kenapa?"

"Ya itu. Kalau sama aku suka tidak?"

Jane menghela napasnya berat. Sudah lelah seperti ini, ada-ada saja kelakuan Nakula yang membuat dirinya emosi.

"Iya suka," jawab Jane akhirnya.

"Kalau begitu, pacaran lagi ya?"

Jane masih sadar dengan pertanyaan Nakula. Yang dia lakukan bukan mengiyakan dan membuat Nakula melayang. Justru sebaliknya. Dia menggeleng, yang artinya permintaan Nakula kembali ditolak.

"Kenapa Jane? Kau tidak ada rasa lagi padaku? Atau kau ternyata suka Julio?"

Jane yang baru saja masuk ke dalam kamar, mendengar ucapan Nakula barusan. Dia berbalik badan, dan mendapati Nakula mengikutinya. Alhasil, mereka saling bertubrukan badan.

"Apa sih Nakula."

Jane buru-buru berbalik badan. Dia duduk di pinggir ranjang dengan jantung yang terasa begitu kencang.

"Kenapa Jane? Tinggal jawab saja."

Nakula menyembunyikan tangan ke saku celana. Menunggu jawaban Jane dengan gugup.

"Ini tidak ada hubungannya dengan Julio. Tapi—"

"Ayahmu?"

Jane mengangkat wajah. Benar apa yang dipikirkannya. Nakula pasti tahu penyebab utama dirinya harus menolak pemuda itu.

"Aku sudah jadi pengusaha. Kenapa Mr. Zhou masih menolak juga."

"Aku rasa Papa bukan menolak karena profesi, Nakula. Kau pasti paham dengan itu."

"Tapi itu hanya masa lalu Jane. Kalian bahkan sudah jalan masing-masing. Papamu bahkan sudah terlihat melupakan ibumu."

"Apa yang terlihat belum tentu yang dirasakan. Itu memang masa lalu. Tapi dari masa lalu itu masa depan ini terbentuk Nakula. Kau memang tidak pernah paham dengan kami—"

"Oke. Maafkan aku."

Nakula langsung menghampiri Jane dan memeluk gadis itu. Dia tidak menyangka Jane masih memendam luka di masa lalu.

"Maafkan aku. Akan aku buktikan, aku pantas mendampingimu," ucap Nakula.

Kepala Jane masih bersemayam di dada Nakula. Terasa sekali basah, yang mana perempuan tersebut pasti sedang menangis.

"Apa aku pantas, Nakula?" ucap Jane dengan isakan tangis kecilnya.

"Kau bicara apa sih? Seharusnya aku yang tidak percaya diri. Lalu kenapa kau yang jadi insecure. Yang tidak disukai kan aku sebagai laki-laki."

Jane menggeleng dalam pelukan. Entah apa yang gadis itu pikirkan saat ini. Bukankah benar apa yang dikatakan Nakula. Yang tidak direstui adalah Nakula oleh ayahnya. Untuk apa Jane yang menyembunyikan diri.

"Em, kau pasti belum makan malam. Keluar yuk makan. Atau mau ke rumah Kak Sandra. Dia minta ajak kau ke rumah. Mereka pasti senang kau datang."

Jane langsung melepas pelukan. "Kak Sandra atau Kak Bara yang bilang begitu?"

"Ya Kak Sandra. Kalau Kak Bara mah hanya menurut dengan sang istri."

Jane menggigit bibirnya. Dia merasa tidak enak dengan keluarga Hernandez tersebut. Ibunya menjadi pengacau dalam kehidupan mereka. Terutama pada Bara. Kakaknya meninggal di tangan Maya— ibu kandung Jane.

"Mereka tidak pernah menyalakan kau Jane. Kak Bara mau pun Sandra, justru sudah menganggap kau adik mereka. Sama juga sepertiku," ujar Nakula meyakinkan Jane.

"Aku masih tidak enak, Nakula. Sungguh aku belum siap. Bertemu tadi saja, karena sangat mendadak."

Nakula tidak mau memaksa. Dia akhirnya mengalah dan lebih memilih pergi ke tempat lain. Asal bersama Jane, tidak apa.

***

"Nakula!"

Sampai di restoran dekat apartemen Jane yang baru, seseorang terdengar memanggil Nakula. Gadis itu bahkan mendekati mereka yang baru akan memilih menu.

"Nadine," ucap Nakula dengan ekspresi wajah heran. "Kok bisa ada di sini? Mana Eugene," tanya Nakula.

"Tadi diminta Nyonya beli vitamin. Malah nyasar ke kantor kau. Soalnya asal sebut nama tempat ke sopir. Jadi sekalian mampir ke sini. Sepertinya makanan enak. Aku rindu masakan western," jelas Nadine panjang lebar.

"Oh astaga. Kau perlu hati-hati. Apa lagi ini Jakarta yang masih sangat asing di benakmu," ucap Nakula yang memberi perhatian.

"Ya benar. Salahku juga sih. Tapi tidak apa-apa, aku memang harus banyak beradaptasi lagi," sahut Nadine sambil tertawa.

"Ya benar. Sudah memutuskan ikut ke sini, kau juga harus bisa mengikuti jalan yang akan kau lalui setiap hari. Selamat berjuang kalau begitu."

Nadine terkekeh geli. Tangannya bahkan sampai memukul bahu Nakula lembut.

Yang jelas, interaksi mereka ini tidak lepas dari tatapan Jane. Gadis itu pasti berpikir, betapa dekatnya mereka. Sampai-sampai melakukan kontak fisik seperti ini.

"Oh ya, kau mau makan kan? Mau sekalian?" tawar Nakula.

Nadine berpikir sejenak. Dia lalu memandang ke arah Jane yang memasang wajah datar.

"Aku tidak menggangu kan?" sahut Nadine yang merasa tidak enak pada Jane.

Nakula menatap Jane. Gadis itu tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Bahkan sibuk membolak-balik menu.

"Ya sebenarnya kau memang mengganggu," jawab Nakula yang jelas ucapannya tidak diduga oleh kedua gadis ini.

"Tapi tidak apa-apa. Kau sudah menjaga Eugene dengan baik. Silakan bergabung di meja kami."

Ekspresi Nadine yang semula murung, cepat sekali berubah. Dia bahkan sudah duduk di sebelah Nakula.

"Terima kasih ya," ucap Nadine tersenyum manis ke arah Nakula.

"Iya sama-sama kok." Nakula menjawab dengan senyum lebarnya. Sesekali dia melirik ke arah Jane yang tampak tenang.

"Nakula, kau mau pesan apa?" tanya Jane yang masih saja melihat menu.

"Oh ya. Pesankan seperti biasa deh," sahut Nakula yang pasrah dengan apa yang akan dipesankan Jane.

"Em, Herb Roasted Chicken saja ya. Cocok untukmu."

Tangan Jane sudah menunjuk ke atas, tanda memanggil server untuk mendekat.

"Beef Wellington saja. Kau kan suka dengan itu. Iya kan, Nakula?" ucap Nadine yang sepertinya ingin mengambil alih menu yang bisa disantap Nakula.

"Eh."

Server sudah mendekat. Jane menyebutkan menu yang ingin dia santap, bersamaan dengan pilihan untuk Nakula. Begitu juga Nadine yang ngotot memilihkan Nakula makanan.

"Ada lagi yang mau dipesan?" tanya server yang sepertinya heran dengan meja mereka. Jika ingin bergosip, Nakula terlihat seperti membawa dua istri.

"Sudah itu saja. Terima kasih," ucap Jane pada server sekalian memberikan buku menu.

"Baik. Mohon tunggu sekitar lima belas sampai tiga puluh menit. Kami akan kembali."

Hanya Jane yang mengangguk. Nadine sudah sibuk dengan ponselnya. Sesekali dia menunjukkan pada Nakula apa yang ada di dalam ponselnya tersebut.

"Oh ya Eugene apa sudah tidur? Lalu kau tidak ditunggu Kak Sandra?"

Nakula merasa ada yang aneh dari diri Jane yang terdiam saja. Berhubung teringat dengan Eugene yang tidak dibawa Nadine kali ini. Nakula menanyakan dengan harapan, Nadine sadar dan minta untuk pulang lebih dulu.

"Tenang saja, ini semua aman. Eugene sudah tidur. Sementara vitamin untuk diminum pagi hari. Jadi tidak perlu khawatir," ucap Nadine dengan bangganya.

Nakula hanya meringis saja. Dia menatap Jane yang sama sekali tidak berkomentar. Perasaan gadis itu memang susah dikenali lebih dulu. Jika dia diam, tampak semua baik-baik saja, tapi ada yang lain di sisi hatinya.

Nakula jadi serba salah karenanya.

***